Mohon tunggu...
Boy Anugerah UI
Boy Anugerah UI Mohon Tunggu... Consulting Group (Political, Education and Literacy) -

Literasi Unggul Group adalah sebuah perusahaan swasta yang didirikan oleh Boy Anugerah, mantan pegawai pemerintah dan perusahaan swasta yang mengabdikan dirinya pada dunia literasi, pendidikan dan riset. Literasi Unggul Group menyediakan jasa pendidikan privat di bidang Bahasa Inggris, pengembangan literasi di daerah Jakarta dan Bekasi, riset independen di bidang politik, ekonomi, pertahanan keamanan, serta sosial budaya, serta menerima jasa pembuatan buku, jurnal, serta artikel opini dan ilmiah untuk diterbitkan. Literasi Unggul Group dipimpin langsung oleh Boy Anugerah yang membawahi beberapa periset independen di bidang politik, ekonomi, serta pendidikan dan sosial budaya. Dapat dihubungi di alamat email boy.anugerahsip@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Degradasi Kota

13 Desember 2017   10:35 Diperbarui: 13 Desember 2017   10:44 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lampu lalu lintas menjadi saksi bisu kesantunan masyarakat kota yang sudah tergerus. Belum lagi jika kita menyaksikan semakin banyaknya jasad kucing di jalanan karena terlindas pengendara. Kucing sudah dianggap sama murahnya dengan tikus-tikus selokan.

Kota dilanda sekarat, mungkin kalimat tersebut tidak berlebihan. Coba lihatlah mereka yang hidup di pinggir-pinggir sungai, di dekat rel kereta api, di bawah kolong jembatan. Fakta ini tidak pantas lagi disebut sebagai City Undercover, karena sudah menjadi rahasia umum.

Jumlah merekapun tidak sedikit. Anehnya mereka yang hidup dalam suasana prihatin tersebut dijangkiti masokisme sosial. Sadar kondisi tersebut tidak sehat, namun tetap dijalani, bahkan menarik sanak saudara di pedesaan untuk napak tilas jejak mereka. Laku aparat negara dalam merespon fenomena ini juga lebih ajaib.

Penggusuran, relokasi paksa, bahkan tak segan menggunakan tentara. Semuanya dilakukan dengan dalih mencipatakan keamanan, ketertiban, memangkas sumber banjir dan kemacetan. Masokisme sosial masyarakat dihadapi dengan kebijakan simulakra. Klop. Semakin sekaratlah sebuah kota. Dalam sekaratnya kota, kaum berduit dan berkuasa jadi pemenang, yang lemah jadi pecundang.

Kondisi tersebut di atas terus terang menjadi kerisauan penulis. Benarkah sedemikian sakitnya kota-kota di Indonesia saat ini? Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke negara-negara Asia Tenggara tahun ini, penulis menyempatkan diri untuk memotret kehidupan masyarakat kota di negeri jiran sebagai bahan perbandingan.

Pertama, Kuala Lumpur yang menjadi ibukota Malaysia. Ada satu hal yang membanggakan, meskipun hendak naik bus sekelas Kopaja atau Metro Mini di Jakarta, masyarakat Kuala Lumpur tak sungkan membentuk antrian di jalan agar bus gampang mengakomodasi para penumpang. Ini terjadi di pinggir jalan! Kedua di Singapura.

Dari segala aspek kita kalah apabila dibandingkan dengan negeri ini. Kota dipermak sebagai barang yang sangat mewah dengan ongkos hidup yang tidak sedikit, serta dibungkus kedisiplinan tingkat tinggi. Namun penulis sempat memotret sisi negatif masyarakat kota Singapura.

Kedisiplinan justru menghadirkan ketidakramahan. Di restauran-restauran Singapura, pengunjung rumah makan tidak diperkenankan mencuci tangan di toilet restauran. Pengunjung diminta untuk mencari wastafel terdekat di tempat lain.

Di Ho Chi Minh City Vietnam, penulis sempat mendapatkan pembelajaran menarik. Di tengah kemapanan yang belum menyentuh masyarakatnya, masyarakat Vietnam adalah masyarakat yang ramah. Mereka yang tak cakap berbahasa Inggris berlaku sangat ramah dengan turis. Mereka berusaha sekuat tenaga membantu para turis yang tidak tahu lokasi yang hendak dituju.

Mereka tak kehilangan akal dengan menggunakan gerak-gerik tubuh mereka agar bahasa mereka bisa dipahami. Dalam persepsi mereka, mungkin, mereka tak hendak mengecewakan para pengunjung kota yang mereka diami. Ada harga diri yang mereka pertahankan agar kota mereka dicap sebagai kota yang ramah oleh bangsa lain.

Pengalaman penulis di atas menghadirkan sebuah pemahaman bahwa memang benar kota tak selamanya buruk, ada sisi positifnya. Namun demikian, dalam konteks Indonesia, degradasi kota adalah sebuah permasalahan riil di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun