Pagi itu ketika putriku hendak berangkat sekolah, ia menemukan seekor Pipit yang tergeletak di halaman rumah. Tubuhnya lemah bulunya basah.
"Ayah, bolehkah ia kupelihara?" pintanya dengan rasa iba.
"Tidak bisa!" jawabku cuek saja.
"Kenapa?" lagi ia bertanya.
"Untuk apa kamu pelihara Pipit? Burung yang tak berguna! Lagi pula nambah-nambah kerjaanmu saja!" Aku santai saja. Ia berlari ke dalam mencari kardus, bertemulah kotak kecil di balik meja setrika. Ditaruhnya burung kecil itu kedalam kotak.
"Sepertinya ia lagi sakit, kasihan tak ada yang merawatnya." Ia bergumam sendiri.
"Cepat cuci tanganmu, kalau tak ingin tertular sakitnya!" perintahku padanya. Bersungut-sungut ia pergi ke kran di samping rumah.
Bunyi klakson motor mamanya mengagetkan dirinya. Pertanda ia cepat-cepat naik ke boncengan agar tak terlambat masuk sekolah.
"Tolong jagain, ya, Yah! Nanti sepulang sekolah akan aku urus." Ia pun berlalu dibawa mamanya.
"Enak aja!" ujarku seperti ditujukan bukan pada siapa-siapa.
***
Tertegun aku sejenak menatap makhluk kecil itu. Meringkuk lemah di sudut kotak kardus.Â
Aku segera beranjak ke dalam rumah, hendak menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tapi langkahku terhenti seperti ada yang menahanku. Rupanya rasa khawatir yang ada di kepala.
Kalau kubiarkan saja, bisa jadi ia akan dimangsa kucing. Kalau tak kuberi makan, bisa jadi ia akan mati kelaparan. Lihatlah, tubuhnya yang gemetaran, bisa jadi ia kedinginan. Entah mengapa aku melangkah menuju dapur, mengambil sejimpit beras untuk ia makan. Â
Beras itu kuletakkan di dekatnya, dan kemudian kotak itu kutaruh di ketinggian. Di atas pohon mangga yang berbuah ala kadarnya.
Nah, di sana ia akan aman dari kucing pemangsa. Aku bersiul-siul masuk ke dalam rumah. Duduk di depan komputer dengan manisnya. Maksud hati hendak melanjutkan pekerjaan, tapi malah nyasar di Kompasiana.
***
Pukul dua belas aku ingat kewajiban menjemput si putri pulang sekolah. Usai mandi koboi alias cuci muka ala kadarnya, menyisir rambut sekenanya dan memakai celana panjang yang tergantung di balik pintu kamar, aku melangkah mengeluarkan motor.
Tiba-tiba tatapanku tertuju ke pohon mangga. Teringat si Pipit di dalam kardus. Bagaimanakah keadaannya?
Ternyata ia sudah tidak bernyawa. Tubuhnya kaku dengan posisi kaki menghadap ke atas. Butir-butir beras yang kutaruh masih berserakan, mungkin saja tidak berkurang jumlahnya.
Ia telah mati. Telah menyelesaikan semua urusannya dengan dunia. Saat itu aku flat saja. Dari pada dikerubungi lalat atau mengeluarkan bau busuk nantinya, bangkai sekalian kardusnya aku buang jauh-jauh.
Saat pulang sekolah dan mendapati burung Pipit itu tidak ada lagi, putriku pun bertanya.
"Ayah, ke mana burung Pipit tadi pagi?"
"Sudah mati dan Ayah buang!"
"Yah..." Ia menghela napas kecewa.
***
Pukul tiga sore. Ketika aku rehat sejenak di depan rumah ditemani segelas kopi dan sebatang rokok, aku memandang ke halaman. Tampak sekawanan Pipit mendarat di halaman mencari remah-remah yang bisa dimakan. Bercicit-cicit dan sebagian mematuk-matuk tanah. Sebagian lagi membasuh bulu-bulu dengan debu tanah.
Sungguh lucu melihat tingkah mereka.
Tiba-tiba aku teringat Pipit yang mati pagi tadi. Kematiannya yang bisu. Ia mati tanpa ada yang tahu. Semua berlalu begitu saja. Seperti tak ada yang berubah.
Apakah di antara Pipit yang mendarat di halaman ada yang tahu? Apakah di antara mereka ada yang merasakan sedih dan kehilangan? Adakah di antara mereka akan mengenang bila mereka pernah bersama?
Menyedihkan bila memang tak ada. Hidupnya pastilah tak bermakna. Lantas apa gunanya ia hidup?
Pikiranku mulai terusik saat mengembuskan asap rokok ke udara. Asap tipis itu melayang-layang selanjutnya hilang. Muncul untuk lenyap ditelan ruang. Persis si Pipit yang malang.
Aku termenung. Kematian si Pipit menyentak kesadaran. Tak ingin itu terjadi padaku.
Kematian memang suatu kepastian yang akan menyapa semua makhluk yang bernyawa.
Bila hidup seperti si pipit, tidakkah kita sia-sia sebagai manusia?
Ah, Pipit! Engkau yang mati kenapa aku yang sedih?
* Putibungsu 201221
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H