Saat pulang sekolah dan mendapati burung Pipit itu tidak ada lagi, putriku pun bertanya.
"Ayah, ke mana burung Pipit tadi pagi?"
"Sudah mati dan Ayah buang!"
"Yah..." Ia menghela napas kecewa.
***
Pukul tiga sore. Ketika aku rehat sejenak di depan rumah ditemani segelas kopi dan sebatang rokok, aku memandang ke halaman. Tampak sekawanan Pipit mendarat di halaman mencari remah-remah yang bisa dimakan. Bercicit-cicit dan sebagian mematuk-matuk tanah. Sebagian lagi membasuh bulu-bulu dengan debu tanah.
Sungguh lucu melihat tingkah mereka.
Tiba-tiba aku teringat Pipit yang mati pagi tadi. Kematiannya yang bisu. Ia mati tanpa ada yang tahu. Semua berlalu begitu saja. Seperti tak ada yang berubah.
Apakah di antara Pipit yang mendarat di halaman ada yang tahu? Apakah di antara mereka ada yang merasakan sedih dan kehilangan? Adakah di antara mereka akan mengenang bila mereka pernah bersama?
Menyedihkan bila memang tak ada. Hidupnya pastilah tak bermakna. Lantas apa gunanya ia hidup?
Pikiranku mulai terusik saat mengembuskan asap rokok ke udara. Asap tipis itu melayang-layang selanjutnya hilang. Muncul untuk lenyap ditelan ruang. Persis si Pipit yang malang.