***
Tertegun aku sejenak menatap makhluk kecil itu. Meringkuk lemah di sudut kotak kardus.Â
Aku segera beranjak ke dalam rumah, hendak menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tapi langkahku terhenti seperti ada yang menahanku. Rupanya rasa khawatir yang ada di kepala.
Kalau kubiarkan saja, bisa jadi ia akan dimangsa kucing. Kalau tak kuberi makan, bisa jadi ia akan mati kelaparan. Lihatlah, tubuhnya yang gemetaran, bisa jadi ia kedinginan. Entah mengapa aku melangkah menuju dapur, mengambil sejimpit beras untuk ia makan. Â
Beras itu kuletakkan di dekatnya, dan kemudian kotak itu kutaruh di ketinggian. Di atas pohon mangga yang berbuah ala kadarnya.
Nah, di sana ia akan aman dari kucing pemangsa. Aku bersiul-siul masuk ke dalam rumah. Duduk di depan komputer dengan manisnya. Maksud hati hendak melanjutkan pekerjaan, tapi malah nyasar di Kompasiana.
***
Pukul dua belas aku ingat kewajiban menjemput si putri pulang sekolah. Usai mandi koboi alias cuci muka ala kadarnya, menyisir rambut sekenanya dan memakai celana panjang yang tergantung di balik pintu kamar, aku melangkah mengeluarkan motor.
Tiba-tiba tatapanku tertuju ke pohon mangga. Teringat si Pipit di dalam kardus. Bagaimanakah keadaannya?
Ternyata ia sudah tidak bernyawa. Tubuhnya kaku dengan posisi kaki menghadap ke atas. Butir-butir beras yang kutaruh masih berserakan, mungkin saja tidak berkurang jumlahnya.
Ia telah mati. Telah menyelesaikan semua urusannya dengan dunia. Saat itu aku flat saja. Dari pada dikerubungi lalat atau mengeluarkan bau busuk nantinya, bangkai sekalian kardusnya aku buang jauh-jauh.