Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Akulah si Pencuri Puisi Itu

13 Juli 2016   13:33 Diperbarui: 13 Juli 2016   13:41 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir 4 tahun aku di Kompasiana ini. Lebih banyak sebagai pembaca daripada sebagai penulis. Sebagai seorang pembaca, aku menyukai beberapa penulis di Kompasiana yang menurutku sangat berkualitas. Tulisan-tulisan mereka tidak kalah dengan penulis profesional yang sering wara-wiri di media cetak nasional. Ya, nasional, bukan lagi daerah. Yang bikin aku salut adalah mereka konsisiten menulis tanpa imbalan apa-apa. Hanya sekadar terhubung dan berbagi untuk sesama teman-teman di Kompasiana. Saling menyambangi dan menyapa sehingga tercipta suatu ‘keakraban’.

Keakraban? Ya, tentu saja dalam tanda petik. Kita boleh saja tidak pernah berjumpa secara langsung, bertatap muka, bahkan tidak mengenal wajah. Keakraban itu muncul karena melalui ide dan pemikiran yang tertuang lewat tulisan. Semakin sering kita membaca tulisan-tulisan mereka semakin dekat jarak yang tercipta.

Salah satu penulis di K ini yang aku suka, adalah S Aji. Kenalnya sudah lama, tapi aku baru berani  menyapa setahun belakangan ini. Aku suka tulisannya terutama tulisan yang bersifat humaniora dan fiksi. Seperti penulis favorit aku lainnya, gaya penulisannya, pemilihan kata, dan sudut pandangnya, membuat aku tertarik. Kehebatannya menurutku justru terletak pada kebersahajaan yang tercermin dalam setiap tulisan maupun cara membalas komentar.

Aku punya pengalaman lucu dan mungkin saja  konyol terkait dengan penulis S Aji ini. Tadi malam aku bermimpi tentang dia. Aku telah mencuri puisinya yang sangat berharga. Ya, pencurian, sebuah tindakan hina nan memalukan.  Bukan uang, bukan barang berharga lain, tapi sebuah puisi! Hasil sebuah olah rasa, pemikiran dan karya intelektual seorang penulis. Tidakkah ini sebuah hal memalukan?

Kronologis mimpinya begini:

Tiba-tiba-saja aku sudah berada di sebuah bangunan rumah kayu model lama. Di samping rumah itu bercokol pohon rambutan yang berbuah lebat dan dahannya menjorok ke atap. Ada sebuah tangga kayu lipat yang kalau digunakan dikangkangin dulu. Dalam menjalankan aksi, aku bertiga dengan partner in crime. Aku tidak ingat lagi siapa mereka itu, tapi yang pasti, yang satu sudah berada di atas atap memberi kode menunjukkan akses masuk. Aku orang ke dua yang mencoba menaiki tangga, tapi entah mengapa ketika aku menaiki sisi kiri, aku tidak bisa. Aku coba lagi di sisi kanan tangga dan, hoop! Setelah sukses aku bisa loncat ke atas atap. Kemudian disusul oleh teman ke tiga sebagai orang terakhir yang melihat situasi di bawah sana.

Di atas atap, teman pertama tadi mengajak aku mencicipi rambutan dulu. Ya, sungguh menggoda selera melihat pohon rambutan yang berbuah lebat yang tinggal dipetik sejangkauan tangan, tapi aku tidak mau. Misiku hanya satu. Mengambil sebuah karya mas S Aji, puisi yang sangat berharga miliknya.

Tiba-tiba saja aku sudah berada di kamar S Aji. Sebuah kamar yang cukup lapang. Suasana kamarnya seperti ruangan klasik tradisional juga. Seperti ada aura magis di situ. Di ranjang tergeletak sebuah tas selempang berbentung segi empat dari kulit. Walaupun siang hari, tapi kamarnya agak remang-remang karena tidak ada jendela.

Selain ranjang, ada sebuah lemari kayu agak tinggi yang juga model lama tapi terawat baik. Di atas lemari itu ada beberapa barang yang aku tidak tahu entah apa. Seperti barang yang tidak digunakan lagi, tapi sayang untuk dibuang. Aku yakin, puisi berharga miliknya ditaruh dekat-dekat situ yang tak jauh dari plafon.

Aku tidak bisa menjangkaunya karena tinggi. Tidak ada kursi di kamar yang membantu aksi bejatku. Oke, baiklah, aku tidak kehilangan akal, akan aku panjat meniru aksi pemanjat tebing.

Ketika sedang memanjat, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mas S Aji sudah berdiri di hadapanku dengan wajah murka. Namun ia terlihat tenang. Walaupun aku tidak pernah bertemu muka dengannya, dalam mimpiku itu, Mas S Aji, berperawakan sedang. Tubuhnya sedikit berisi dengan rambut yang agak ikal dengan panjang yang sama dari semua sisi (bukan kribo ya). Dia memakai baju flanel, lengan digulung dengan kancing yang dibiarkan lepas. Di baliknya ada baju oblong polos berwarna gelap.

“Apa yang Uda lakukan di kamar saya?” tanya Mas S. Aji dengan suara sedingin es. Aku gelagapan. Tertangkap basah mencuri, membuatku gugup tidak kira-kira.

“Uda pasti mau mencuri di kamar saya!” tuduhnya langsung.

“Aku tidak mencuri!” aku mengelak.

“Masuk kamar orang tanpa ijin sama artinya mencuri! Uda pasti mau mencuri uang saya. Saya sudah menduganya. Tapi sayang, Uda terlalu terlalu goblok mengira saya menyimpan uang tersebut di atas lemari. Asal tahu saja, uang itu tidak saya simpan di sana, tapi saya taruh dalam tas dan sengaja saya taruh di atas ranjang.”

Kemudian ia meraih tasnya itu dan mengeluarkan uangnya. Bergepok-gepok uang lembaran merah bergambar tokoh proklamator terlihat menyilaukan mata.

“Uda pasti mau mengincar uang ini, kan?” tuduhnya telak.

“Mas Mas Aji. Aku tidak tertarik dengan uang itu. Aku juga tidak tertarik dengan benda-benda berharga di kamar ini. Kalau soal uang, aku juga punya. Kalau tidak percaya, lihat isi dompetku,” jawabku sembari mengeuarkan dompet dari saku belakang celana. Inilah yang membuatku heran. Entah mengapa aku punya dompet. Seumur-umur aku tidak punya dompet dan pantang untuk punya. Aku lebih suka menaruh di saku celana belakang semua uangku. Uang baru seringkali lusuh ditanganku karena terlalu lama diduduki dan kena keringat pantat.

“Lalu, apa tujuan Uda masuk ke kamarku?” cecarnya lagi.

Aku terdiam. Karena tidak punya alasan lagi, akhirnya aku mengaku kalau aku berniat mencuri puisi karya S Aji.

“Untuk apa puisiku Uda curi?”

Haruskah aku jujur padanya? Lama sekali aku terdiam, berusaha mencari dalih. Akhirnya akupun berterus terang kepadanya.

“Aku berniat mencuri puisi Mas Aji, karena mau ikut lomba penulisan puisi. Hadiahnya sangat menarik. Tiket nonton konser musik klasik di Vienna, Austria. Aku ingin sekali memenangkan hadiah itu. Nonton konser musik klasik di Vienna adalah impianku seumur hidup yang ingin aku alami sebelum mati. Selama ini aku hanya bisa mendengar musik karya Johann Sebastian Bach, Mozart, Beethoven, Tchaikovsky, Chopin dan Vivaldi, hanya dari youtube. Itupun hanya bisa aku dengarkan di tempatku bekerja karena ada wifi gratis. Sekarang ada kesempatan memenangkan tiket itu,” jawabku dengan jujur.

“Tapi mengapa dengan mencuri puisiku?”

“Karena aku tidak bisa menulis puisi. Berkali-kali aku mencoba, tapi selalu gagal. Aku tidak punya rasa, aku tidak punya kemampuan mengolah kata dan menyajikannya dengan indah. Maafkan Aku.”

Mas S Aji terdiam. Kemarahan masih terpancar dari sorot matanya. Berulangkali aku mengucapkan maaf, tapi ia masih bergeming. Tiba-tiba aku tersentak dengan beban berat yang menghimpit dada. Aku telah berbuat jahat, mencuri sebuah puisi dari seorang sahabat bernama S Aji, walau hanya dalam mimpi. Segera aku bangkit dan beranjak menuju ruang tengah. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 3. 27 dini hari. Sayup-sayup terdengar deru motor yang melintas di depan rumah.

Aku kembali tidur, mencoba menenangkan pikiran. Pelan-pelan pikiranku mengingat alunan musik yang aku suka. Bibirku tanpa sengaja mencoba menyimak dan ikut berdendang pelan menyanyikan Music of the Night, dari Phantom of the Opera:

.............

Softly, Deftly, music shall surround you

Feel it, hear it, closing in around you

Open up your mind, let your fantasies unwind

In the darkness which you know you cannot fight

The darkness of music of the night

.............

Akhirnya aku kembali tertidur.

Pagi tadi, aku tuliskan mimpiku yang lucu dan konyol ini. Tapi walaupun begitu aku berusaha untuk menakwilkan mimpi itu. Dalam hal apa pun termasuk dalam dunia kepenulisan, jangan pernah mencuri ide dan karya orang lain. Untuk mencapai impian ataupun tujuan jadilah diri sendiri. Gali potensi yang ada pada diri, itu jauh lebih baik. Buat apa terkenal, disukai banyak orang tapi hanya meniru-niru, mencuri ide, ataupun gaya orang lain. Bukan begitu sobat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun