[caption caption="foto dokpri boyke"][/caption]
Gambar di atas adalah Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid ini berada di jalan Khatib Sulaiman Padang persis persimpangan antara Rasuna Said, Khatib Sulaiman, dan Raden Saleh. Â Walaupun belum rampung 100 persen, tapi tahun ini sudah digunakan secara full untuk kegiatan ibadah. Gimana menurut anda rancangannya? Keren nggak? Bentuknya yang unik mengadaptasi gaya arsitektur Minangkabau membuatnya beda dengan bentuk masjid pada umumnya. Kalau nggak salah arsitektur masjid ini merupakan hasil dari lomba desain masjid yang dimenangkan oleh arsitek lulusan ITB. Walaupun unik dan etnik, tapi tetap saja pernah jadi kontroversi karena ada ornamennya yang berbentuk bintang Daud. Tapi saya tidak akan membahas hal itu.
Yang jelas, masjid ini sudah menjadi ikon baru di Padang kota tercinta. Beberapa bulan sebelum Ramadhan, pagarnya dibangun dan dibuat pulalah sebuah corner yang sebagai penanda yang mungkin terilhami pantai Losari, Makassar. Ada huruf besar-besar yang bertuliskan MASJID RAYA SUMATERA BARAT. Corner ini selesai dibuat sekitar pertengahan bulan Ramadhan. Saking Menariknya, tempat ini menjadi tempat berfoto ria bagi masyarakat. Puncaknya terjadi saat lebaran. Banyak sekali orang-orang yang datang ke sana untuk selfi-selfian. Baik warga kota maupun para pemudik. Ajang swafoto ini menjadi pemandangan menarik bagi pengendara yang berhenti di traffic light perempatan jalan.
Sekarang, anda amati lagi foto tersebut. Ada yang aneh nggak? Tepat sekali. Huruf D untuk kata Masjidnya tidak ada. Belum cukup sebulan dibangun tulisan penanda tersebut sudah ada yang hilang. Sebagai warga kota yang mencintai kotanya jelas saya kesal, karena tiap hari saya melewati masjid itu. Saya tahu huruf D dalam tulisan itu rusak semenjak 2 hari yang lalu (24/7). Awalnya huruf D itu terkulai dan saat saya ambil fotonya hari ini (26/7) sudah hilang entah kemana. Saya bertanya-tanya kenapa bisa begitu? Apakah merupakan aksi yang sengaja atau tidak sengaja? Apakah ada tangan-tangan jahil yang merusaknya?
Semua serba mungkin. Bagaimana saya tidak berburuk sangka, mereka foto-fotoan di sana dengan berbagai aksi sampai-sampai tidak mempedulikan dan merusak taman itu. Duduk-duduk di bandul huruf sembari senderan dan jebret... huruf D-nya pun copot. Ini dugaan saya karena tidak mengetahui persis kejadiannya. Yang jelas aksi mereka kalau saya lihat memang tidak simpatik. Rumput-rumput diinjak. Lihat sendiri kan rumput di depannyanya pada mati karena diinjak?
[caption caption="dokpri boyke"]
[caption caption="dokpri"]
Satu lagi  yang bikin saya kesal yakni mereka  buang sampah sembarangan. Sampah plastik bekas minuman dan makanan di taruh begitu saja di taman. Apa nggak pada mikir ya, kalau kebersihan itu sebagian dari iman? Apalagi ini termasuk tempat ibadah (walupun cuma pelatarannya). Gaya pada waktu selpi-selpian sih boleh, tapi kelakuan amit-amit.
Mohon maaf kalau saya emosi. Soalnya ini sering dan terus saja terjadi di tempat-tempat wisata umum, atau di mana sejumlah manusia Indonesia berkumpul maka yang sering mereka lakukan adalah nyampah dan merusak fasilitas yang ada. Baru saja saya baca di Kompasiana ini ada tulisan dari seorang Kompasianer yang menuliskan betapa joroknya kawasan Pantai Air Manis Padang, dan saya juga seminggu lalu jalan-jalan ke kawasan pantai Gandoria Pariaman. Kondisinya sama. Pantainya kotor banyak sampah. Saya sampai nggak tega mengambil fotonya.Â
Saya pikir ini bukan terjadi di kota saya saja, di tempat-tempat lainnya begitu juga. Apa yang terlihat di jalanan Pantura setelah kemacetan arus mudik berlalu? Sampah yang berserakan di pinggir jalan. Pelakunya siapa lagi kalau bukan orang-orang yang di kendaraan yang seenak perutnya membuang sampah. Seakan-akan yang membuang sampah ke pinggir jalan merupakan hal biasa. Toh, nanti juga ada petugas kebersihan yang membersihkannya! Jadi ngapain mesti repot mengurusi sampah? Itu bukan urusan saya, begitu pikiran di kepala mereka. Pemikiran seperti inilah yang membuat tempat-tempat  umum di negeri ini seringkali kotor, tidak terawat.Â
Merupakan perbuatan yang tak bertanggung jawab sampah yang kita hasilkan dibuang begitu saja. Segala aturan berupa larangan dan ancaman seakan tidak mempan karena karakter masyarakatnya yang ignorant. Kalau dibilangin bukannya merasa bersalah malah balik marah-marah kepada orang yang menegur. Nggak peduli kaya atau miskin sama saja.
Dibilang nggak pernah diajarkan, atau nggak beradab, ya, enggak juga. Di sekolah pasti guru pernah mengajarkan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga fasilitas umum. Dulu namanya PMP, sekarang mungkin Pendidikan kewarganegaraan, atau pelajaran Penjaskes. Kalau membuang sampah, buanglah pada tempat sampah yang disediakan. Kalau tidak ada tempat sampah, simpan saja dulu sampai kita menemukan tempat sampah, bukan dibuang sembarangan. Tapi pelajaran tinggal pelajaran, yang diingat cuma teorinya. Prakteknya nihil. Kalau saya jadi kepala daerah akan saya usulkan siswa-siswa sekolah untuk membersihkan fasilitas umum bersama-sama biar timbul kesadaran untuk menjaga kebersihan, bukan hanya bikin perda kebersihan saja. Kenapa siswa sekolah? Karena usia anak sekolahlah karakter bisa dan mudah dibentuk. Kalau sudah pada dewasa susah.
Membangun fasilitas memang tugas dan tanggung jawab pemerintah, tapi merawat dan menjaganya adalah tanggung jawab semua. Kalau bukan kita yang menjaga kebersihan lingkungan siapa lagi? Apa nggak ngiler melihat negara lain, fasilitas umumnya terlihat bersih dan terawat, tapi di negeri sendiri terlihat kotor? Atau gini deh, saat berada di rumah sendiri nggak mau nyampah dan bikin berantakan, tapi saat berada di luaran jadi masa bodo? Ah, enggak banget... Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H