Untungnya,saya tidak termasuk dalam kategori kedua.
Masalahnya, lidah saya cenderung kurang cocok untuk tipe masakan manis seperti gudeg.
Gudeg, hidangan ikonik dari Yogyakarta, terkenal dengan rasa manisnya yang khas.
Konon, pada masa kejayaan Kesultanan Mataram Islam, gula merupakan bahan makanan yang berharga dan simbol kemewahan.
Penggunaan gula dalam masakan pun menjadi tren, termasuk pada hidangan nangka muda yang diolah menjadi gudeg.
Selain itu, ketersediaan gula jawa yang melimpah di wilayah Yogyakarta juga turut mendorong penggunaan gula dalam masakan. Gula jawa tidak hanya memberikan rasa manis, tetapi juga membantu mengawetkan makanan, hal yang penting pada masa itu.
Seiring waktu, rasa manis gudeg menjadi ciri khas yang melekat dan digemari masyarakat. Kini, gudeg manis menjadi identitas kuliner Yogyakarta yang digemari banyak orang, dan konon menjadi simbol keramahan dan kekayaan budaya Jawa.
Persoalannya, Jawa bagian mana?
Saya juga lahir sebagai orang Jawa di bagian pesisir utara yang lekat dengan stigma keras dan kasar,terutama dalam berbahasa.
Di tempat kelahiran, rasa asin atau pedas merupakan tradisi kuliner yang telah diwariskan turun-temurun. Hal ini menjadi identitas budaya dan digemari masyarakat setempat.
Sedangkan cita rasa masakan Yogyakarta umumnya lebih manis dan gurih, dengan penggunaan rempah-rempah yang lebih moderat. Ya, gudeg adalah contoh paling konkrit.