Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Hukum Kita Cukup Kuat Mengatasi Gratifikasi? Solusi dan Harapan Baru

17 Oktober 2024   18:16 Diperbarui: 17 Oktober 2024   18:16 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gratifikasi adalah pemberian hadiah atau fasilitas lainnya yang diterima oleh seseorang karena jabatannya atau kekuasaannya, yang sering kali bertujuan untuk memengaruhi keputusan atau tindakan tertentu. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi tidak selalu dianggap sebagai bentuk korupsi, kecuali jika terbukti ada niat tertentu di balik pemberian tersebut yang bertujuan menguntungkan pihak pemberi secara tidak sah.

Pentingnya membahas gratifikasi saat ini tidak terlepas dari fakta bahwa praktik ini masih banyak ditemukan dalam pemerintahan dan dunia bisnis di Indonesia. Hal ini menciptakan sistem yang tidak transparan dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara. 

Sebagai contoh, Robert Klitgaard dalam bukunya Corrupt Cities menyatakan bahwa korupsi, termasuk gratifikasi, "adalah penyakit yang merusak integritas sistem pemerintahan dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara" (Klitgaard, 2000).

Meskipun regulasi mengenai gratifikasi sudah ada, tantangan dalam penegakan hukum serta budaya pemberian hadiah yang mengakar kuat di masyarakat membuat praktik ini sulit dihilangkan. Ini memunculkan pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: Jika hukum kita sudah ada, mengapa gratifikasi tetap marak? Apakah ada yang salah dalam sistem penegakannya, ataukah kita perlu pendekatan baru untuk mengatasinya?

Gratifikasi dapat dibedakan menjadi legal dan ilegal. Gratifikasi legal adalah pemberian yang tidak terkait dengan tugas atau jabatan penerima, misalnya hadiah ulang tahun atau pemberian dari kerabat dekat yang tidak memiliki kaitan dengan posisi pekerjaan penerima. Di sisi lain, gratifikasi ilegal terjadi ketika pemberian tersebut memiliki maksud untuk memengaruhi kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pejabat yang bersangkutan, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. 

Menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), segala bentuk gratifikasi yang diterima oleh pejabat atau penyelenggara negara harus dilaporkan, kecuali jika pemberian tersebut merupakan bentuk gratifikasi yang dapat dianggap sah dan sesuai dengan aturan hukum.

Gratifikasi dapat menjadi bagian dari praktik korupsi ketika pemberian tersebut mengarah pada tindakan penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi atau kelompok. 

Laode M. Syarif, dalam disertasinya tentang pencegahan korupsi di Indonesia, menjelaskan bahwa "gratifikasi sering kali menjadi langkah awal dalam praktik suap yang lebih besar, di mana penerima merasa berkewajiban untuk memberikan imbalan atas pemberian tersebut, sehingga menciptakan hubungan timbal balik yang koruptif" (Syarif, 2015). 

Oleh karena itu, UU Tipikor secara tegas mengatur bahwa gratifikasi yang tidak dilaporkan dan terbukti berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi, dengan ancaman pidana yang jelas.

Realitas penegakan hukum terhadap kasus gratifikasi di Indonesia menunjukkan tantangan yang kompleks. Meskipun ada regulasi yang cukup jelas dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penegakan hukum dalam praktiknya sering kali menghadapi kendala yang tidak sederhana. 

Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Tahunan 2023, terdapat peningkatan jumlah kasus gratifikasi yang berhasil diungkap, dengan 47 kasus gratifikasi yang diproses hukum, naik dari 38 kasus di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran pelaporan, tetapi juga memperlihatkan betapa masih banyaknya praktik gratifikasi yang terjadi di berbagai institusi.

Namun, penegakan hukum terhadap gratifikasi masih sering terhambat oleh sulitnya proses pembuktian dan adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku. Aulia Pohan, dalam bukunya Pemberantasan Korupsi di Indonesia (2021), menyebutkan bahwa "tantangan terbesar dalam memberantas gratifikasi adalah membuktikan adanya niat atau motif di balik pemberian tersebut, yang sering kali bersifat terselubung dan sulit untuk dilacak secara langsung." 

Banyak kasus gratifikasi yang lolos karena kelemahan dalam pengawasan internal dan eksternal, serta budaya "berterima kasih" yang masih mengakar di berbagai institusi pemerintahan dan swasta. Sehingga, meskipun regulasi sudah cukup memadai, implementasinya masih menghadapi kendala signifikan dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Kelemahan dalam regulasi dan penegakan hukum terkait gratifikasi di Indonesia menjadi salah satu penghambat utama dalam upaya pemberantasan korupsi. Meskipun UU No. 20 Tahun 2001 telah menyediakan kerangka hukum yang jelas, terdapat kelemahan dalam definisi dan ruang lingkup yang diatur, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. 

Menurut Studi Kasus Korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (2022), sekitar 63% responden menyatakan bahwa undang-undang yang ada tidak cukup efektif dalam mengatur gratifikasi dan banyaknya celah hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari sanksi.

 Selain itu, adanya disparitas dalam implementasi antara berbagai lembaga penegak hukum, seperti KPK dan kepolisian, serta kurangnya pelatihan dan sumber daya untuk aparat penegak hukum, memperburuk situasi ini. 

Arief Budiman dalam artikelnya menyatakan bahwa "kurangnya pemahaman dan komitmen dari aparat penegak hukum terhadap substansi hukum dan pentingnya pencegahan gratifikasi menyebabkan rendahnya efektivitas penegakan hukum di lapangan" (Budiman, 2020). Dengan demikian, meskipun terdapat regulasi yang mengatur, tantangan dalam implementasi yang konsisten dan efektif tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. 

Dampak sosial dan ekonomi dari praktik gratifikasi di Indonesia sangat signifikan dan merugikan. Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam sistem pemerintahan, tetapi juga mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. 

Menurut Laporan Korupsi Global 2023 yang dirilis oleh Transparency International, sekitar 76% responden di Indonesia merasa bahwa korupsi, termasuk gratifikasi, menghambat kemajuan ekonomi dan menurunkan kualitas layanan publik.

 Hal ini menciptakan persepsi bahwa akses terhadap layanan dan sumber daya negara tergantung pada kemampuan untuk memberikan gratifikasi, sehingga merusak integritas dan etika dalam pelayanan publik. Dampak jangka panjang dari praktik ini juga berpotensi mengurangi investasi asing dan domestik, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi.

Rekonstruksi hukum terhadap gratifikasi perlu dilakukan untuk menciptakan kerangka yang lebih efektif dan adaptif dalam menanggulangi praktik ini. Perubahan yang diperlukan mencakup penyempurnaan definisi gratifikasi dalam undang-undang, serta penguatan sanksi bagi pelanggar. 

Menurut Siti Aisyah dalam jurnalnya tentang Reformasi Hukum Pidana (2022), "perlu ada pemisahan yang jelas antara gratifikasi yang sah dan tidak sah, serta penegakan hukum yang konsisten untuk memberikan efek jera." Selain itu, penting untuk meningkatkan kapasitas lembaga penegak hukum melalui pelatihan dan peningkatan sumber daya. Dengan memperkuat penegakan hukum dan memperjelas regulasi, diharapkan dapat mengurangi ruang gerak untuk praktik gratifikasi yang merugikan.

Pendekatan non-hukum juga penting dalam upaya mengatasi gratifikasi, yang mencakup pendidikan, perubahan budaya, dan pemanfaatan teknologi. Pendidikan anti-korupsi sejak dini dapat membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang menolak gratifikasi. 

Menurut Pusat Pendidikan Antikorupsi (2019), program-program pendidikan yang mengedukasi masyarakat tentang konsekuensi negatif dari gratifikasi dan korupsi telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran publik. Selain itu, perubahan budaya kerja di lembaga pemerintah dan swasta yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dapat memperkecil kemungkinan praktik gratifikasi terjadi.

Penggunaan teknologi dalam pengawasan dan pelaporan juga dapat menjadi alat yang efektif dalam memerangi gratifikasi. Dengan memanfaatkan sistem informasi dan aplikasi pelaporan yang transparan, masyarakat dapat lebih mudah melaporkan praktik gratifikasi yang mereka saksikan.

 Laporan dari Bank Dunia (2021) menunjukkan bahwa penerapan teknologi dalam pengawasan publik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan memperkuat integritas pemerintah. Integrasi pendekatan hukum dan non-hukum dalam penanganan gratifikasi akan menciptakan sinergi yang lebih kuat dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, sehingga mendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.

Langkah konkret yang perlu diambil oleh pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam memberantas praktik gratifikasi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan transparan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kebijakan anti-gratifikasi, termasuk memperluas program pelatihan bagi aparatur sipil negara tentang etika dan integritas. 

Menurut Laporan KPK 2023, penegakan hukum yang lebih ketat dan transparan dapat mengurangi insentif untuk melakukan gratifikasi. Selain itu, pemerintah harus mendorong partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan melalui platform digital yang memudahkan pelaporan praktik korupsi.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan budaya anti-gratifikasi. Edukasi dan kampanye kesadaran tentang dampak negatif gratifikasi harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda. Sebuah studi oleh UNESCO (2022) menunjukkan bahwa program pendidikan anti-korupsi di sekolah-sekolah mampu menurunkan tingkat toleransi terhadap praktik korupsi.

 Masyarakat juga perlu aktif terlibat dalam diskusi publik dan mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga terbentuk iklim di mana gratifikasi dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.

Sektor swasta juga harus mengimplementasikan praktik bisnis yang transparan dan akuntabel, termasuk kode etik yang melarang gratifikasi dalam semua bentuk. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), sekitar 57% perusahaan di Indonesia mengakui bahwa praktik gratifikasi merugikan daya saing mereka. 

Dengan mengadopsi sistem pelaporan internal yang kuat dan menerapkan audit independen, sektor swasta dapat berkontribusi dalam menanggulangi praktik gratifikasi dan mendukung upaya pemerintahan untuk menciptakan lingkungan yang bersih.

Momen ini menjadi lebih relevan dengan pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih 2024, yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta bersatu dalam melawan gratifikasi, masa depan pemerintahan yang bersih dan transparan masih mungkin dicapai. 

Dengan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan harapan untuk Indonesia yang bebas dari korupsi dan gratifikasi, menjadikan bangsa ini lebih kuat dan lebih baik bagi generasi mendatang. 

Gratifikasi jelas merupakan musuh utama bagi pemerintahan yang bersih dan transparan. Praktik ini tidak hanya merusak integritas lembaga pemerintahan, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh masyarakat. Meskipun regulasi yang ada cukup memadai, tantangan dalam penegakan hukum dan budaya korupsi yang masih mengakar memerlukan perhatian serius dari semua pihak. 

Dalam konteks pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih 2024, saatnya bagi kita untuk mendukung inisiatif pemberantasan gratifikasi dengan sikap proaktif dan kolaboratif.

Masyarakat tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan bebas dari gratifikasi. Apakah kita siap untuk berkomitmen melawan gratifikasi dalam kehidupan sehari-hari? Mari kita bangun kesadaran kolektif untuk menolak praktik yang merusak ini, berpartisipasi dalam pengawasan, dan mendukung kebijakan yang mendorong transparansi dan akuntabilitas. Bersama, kita dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, memberikan harapan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun