Menurut Siti Aisyah dalam jurnalnya tentang Reformasi Hukum Pidana (2022), "perlu ada pemisahan yang jelas antara gratifikasi yang sah dan tidak sah, serta penegakan hukum yang konsisten untuk memberikan efek jera." Selain itu, penting untuk meningkatkan kapasitas lembaga penegak hukum melalui pelatihan dan peningkatan sumber daya. Dengan memperkuat penegakan hukum dan memperjelas regulasi, diharapkan dapat mengurangi ruang gerak untuk praktik gratifikasi yang merugikan.
Pendekatan non-hukum juga penting dalam upaya mengatasi gratifikasi, yang mencakup pendidikan, perubahan budaya, dan pemanfaatan teknologi. Pendidikan anti-korupsi sejak dini dapat membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang menolak gratifikasi.Â
Menurut Pusat Pendidikan Antikorupsi (2019), program-program pendidikan yang mengedukasi masyarakat tentang konsekuensi negatif dari gratifikasi dan korupsi telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran publik. Selain itu, perubahan budaya kerja di lembaga pemerintah dan swasta yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dapat memperkecil kemungkinan praktik gratifikasi terjadi.
Penggunaan teknologi dalam pengawasan dan pelaporan juga dapat menjadi alat yang efektif dalam memerangi gratifikasi. Dengan memanfaatkan sistem informasi dan aplikasi pelaporan yang transparan, masyarakat dapat lebih mudah melaporkan praktik gratifikasi yang mereka saksikan.
 Laporan dari Bank Dunia (2021) menunjukkan bahwa penerapan teknologi dalam pengawasan publik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan memperkuat integritas pemerintah. Integrasi pendekatan hukum dan non-hukum dalam penanganan gratifikasi akan menciptakan sinergi yang lebih kuat dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, sehingga mendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
Langkah konkret yang perlu diambil oleh pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam memberantas praktik gratifikasi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan transparan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kebijakan anti-gratifikasi, termasuk memperluas program pelatihan bagi aparatur sipil negara tentang etika dan integritas.Â
Menurut Laporan KPK 2023, penegakan hukum yang lebih ketat dan transparan dapat mengurangi insentif untuk melakukan gratifikasi. Selain itu, pemerintah harus mendorong partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan melalui platform digital yang memudahkan pelaporan praktik korupsi.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan budaya anti-gratifikasi. Edukasi dan kampanye kesadaran tentang dampak negatif gratifikasi harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda. Sebuah studi oleh UNESCO (2022) menunjukkan bahwa program pendidikan anti-korupsi di sekolah-sekolah mampu menurunkan tingkat toleransi terhadap praktik korupsi.
 Masyarakat juga perlu aktif terlibat dalam diskusi publik dan mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga terbentuk iklim di mana gratifikasi dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.
Sektor swasta juga harus mengimplementasikan praktik bisnis yang transparan dan akuntabel, termasuk kode etik yang melarang gratifikasi dalam semua bentuk. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), sekitar 57% perusahaan di Indonesia mengakui bahwa praktik gratifikasi merugikan daya saing mereka.Â
Dengan mengadopsi sistem pelaporan internal yang kuat dan menerapkan audit independen, sektor swasta dapat berkontribusi dalam menanggulangi praktik gratifikasi dan mendukung upaya pemerintahan untuk menciptakan lingkungan yang bersih.