Suatu hari ketika asyik menyeruput kopi panas di sebuah warung kopi di pertigaan jalan Jatinangor, saya dihampiri oleh seorang teman dengan wajah kusut meskipun penampilannya cukup segar dengan setelan jaket dan Lea jeansnya.Â
Dia mengeluh kepada saya bahwa semalan dia berkencan dengan kenalan barunya. Tapi dalam setiap gerik dan laku yang dilalui bersama teman kencannya, dia selalu terbayang wajah kekasihnya di rumah. Saya mengidentifikasi wajah perempuan itu sebagai kekasih saya, katanya polos. Saya hanya bisa tersenyum meskipun kaget bukan alang kepalang mendengarnya. Sebuah aloerotisme, begitu pikir saya seketika.
"Aloerotisme" mungkin terdengan vulgar di telinga mereka yang tidak terbiasa melakukan hal yang agak menyimpang. Tapi percaya atau tidak, setiap orang memiliki peluang untuk melakukan hal tersebut seperti halnya teman saya, bahkan tanpa disadari. Saya kemudian merenung setelah mendengar perkataan teman saya tersebut. Mungkin hal tersebut akan setali tiga uang apabila kita lekatkan pada terma hipokrit atau munafik yang banyak disebut para kiai di masjid. Yah, aloerotisme sedikit banyak akan bersinggungan dengan hipokrisi.Â
Seseorang melakukan sesuatu meskipun ia sadar hal tersebut buruk, namun ia tetap kekeuh melakukannya dengan mengidentifikasi hal tersebut sebagai "benda yang tidak haram" untuk dilakukan. Namun saya juga merasa terlalu masokis apabila langsung memberikan tuduhan seperti itu, mungkin mereka ingin lebih total melakukannya tanpa terikat oleh "tali-tali etik dan moral", begitu saya menduga. Tapi bisa dibenarkankah hal tersebut? Bukannya di sekeliling kita ada etika dan moral yang harus dijaga demi kebaikan bersama?
Tahun 1877, Napoleon Bonaparte melakukan sebuah pemberontakan yang besar dengan sokongan kaum buruh Prancis. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1804, dia mengangkat dirinya sebagai pemimpin Prancis.Â
Tentunya al-kisah akan lurus-lurus saja andaikata dia tetap setia pada kaum buruh yang mendukungnya. Tapi yang terjadi sungguh menyedihkan buat kaum buruh karena mereka diingkari dan Napoleon justru lebih mendekatkan diri pada kaum bourgeoise kala itu. Penderitaan senada juga dialami oleh bangsa Palestina yang sekarang masih terlunta-lunta karena dirampas tanahnya oleh zionis Israel.Â
Permasalahan semakin silang-sengkarut ketika Fatah mengklaim sebagai otoritas resmi Palestina dan pihak yang legal dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Mereka menegasikan Hamas tanpa sadar bahwa yang mereka lakukan dalam perundingan dengan Israel adalah "sesuatu yang tak bergigi" karena perundingan tersebut lebih menguntungkan Israel yang semakin luas wilayahnya. Â
Fatah sadar sesadar-sadarnya bahwa untuk melawan despotis penjajah dibutuhkan persatuan, bukan perpecahan yang melemahkan sendi-sendi sendiri. Tapi mereka sengaja melupakan kunci tersebut karena tak menghendaki "saudara mereka" Hamas, sebuah kekuatan yang muncul tanggal 14 Desember 1987 sebagai reaksi atas kegagalan perjuangan Fatah, tegak berdampingan dengan mereka dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina.Â
Terasa wajar ketika akhirnya Hamas berteriak, "Fatah hanya berdiplomasi tanpa hasil yang konkret. Lihatlah kami, senjata dan selonsong peluru adalah alat yang empuk untuk mengenyahkan penjajah Israel. Hasilnya, Gaza kami bebaskan".
Aloerotisme, lagi-lagi kata tersebut mengiang-ngiang di telinga saya. Sebuah kata yang bagi sebagian orang tabu untuk disebut, tapi tanpa disadari kerap dilakukan dalam kehidupan nyata, sadar ataupun tidak.Â
Saya jadi teringat percakapan dengan teman seperjuangan saya di organisasi -(sebut saja organisasi X), ketika kami berdebat di kamar saya beberapa tahun silam. Dengan menggebu-gebunya dia berkata tentang perubahan dan perlu diakhirinya konflik yang mendarah daging di organisasi tersebut. Tanpa konflik, dia melanjutkan, kita akan kuat dan besar, "Sepakat!", saya berteriak mengiyakan.Â
Tapi setelah 11 tahun berlalu, dan beliau bertengger pada posisi tertinggi, cita-cita tersebut belum terwujud (atau malah tidak akan diwujudkan?). Yang terjadi malah sebaliknya, konflik semakin menghebat meskipun dengan kemasan semenarik mungkin.Â
Masing-masing orang merasa benar, mengedepankan alibi yang tentu saja supaya disebut benar. Tanpa sadar mereka dijangkiti aloerotisme, sadar itu buruk tapi menganggapnya baik dan wajar. Setumpuk masalah yang seharusnya bisa dibereskan akhirnya menumpuk dan membukit, yah lagi-lagi karena konflik itu belum diputus dari sejarah. Aloerotisme, lagi-lagi kata tersebut berdendang kencang di telinga saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H