Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadi Al-Batsh dan Sisi Kelam Operasi Intelijen

26 April 2018   18:03 Diperbarui: 26 April 2018   18:12 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 21 April yang lalu, seorang pria Palestina yang lama bermukim di Malaysia bernama Fadi Al-Batsh tewas ditembak mati oleh dua orang pria tak dikenal. Fadi yang bergelar doktor di bidang teknik elektro dan sehari-hari berprofesi sebagai dosen di Kuala Lumpur tersebut menderita 14 tembakan mematikan di kepala dan tubuhnya. Meskipun kasus ini masih dalam proses penyelidikan kepolisian Malaysia untuk mengungkap siapa pelaku dan motif pembunuhannya, menguat dugaaan dari banyak pihak bahwa otak dari kejadian ini adalah agen Mossad, lembaga intelijen milik pemerintah Israel.

Dugaan ini bukanlah asumsi sembarang tuduh. Menilik idiosinkratik yang melekat pada Fadi, dugaan tersebut layak untuk dijadikan sebagai panduan bagi kepolisian Malaysia dalam mengungkap kasus kejahatan politik tingkat tinggi ini. Fadi merupakan anggota dari kelompok Hamas di Palestina. Juru bicara Hamas sendiri membenarkan keanggotaan Fadi dan secara terbuka menyampaikan belasungkawa atas kematiannya. Fadi juga berasal dari keluarga pejuang di Palestina yang secara persisten memperjuangkan kemerdekaan dan menentang kebiadaban Zionis Israel.

Meskipun sudah menyandang status sebagai penduduk tetap Malaysia, Fadi masih memiliki keinginan kuat untuk kembali ke kampung halamannya di Gaza. Motivasinya inilah yang kemungkinan besar menimbulkan kekhawatiran di pihak Israel. Keahliannya dalam membuat roket dan pesawat nir-awak dianggap sebagai ancaman besar bagi militer Israel. 

Selain itu, kepiawaian Fadi di bidang teknik setrum telah menghantarkannya ke berbagai ajang sains bergengsi di banyak negara seperti Jepang, Inggris, Finlandia hingga Turki. Eksistensinya tersebut dianggap sebagai upaya menyiapkan "koneksi berbahaya" bagi kepentingan nasional Israel di kancah diplomasi internasional.

 Sisi gelap intelijen

Pembunuhan Fadi ini tak syak lagi menimbulkan pertanyaan bagi banyak pihak, benarkah black method masih dihalalkan dalam praktik-praktik intelijen? Intelijen secara ontologis pada hakikatnya merupakan suatu aktivitas pengumpulan informasi. Berbeda dengan data yang menekankan pada detil dan akurasi, informasi intelijen menekankan pada faktor relevansi dan ketepatan waktu. 

Menjejak pada aspek aksiologisnya, informasi dalam praktik intelijen merupakan segala hal yang bersangkut-paut dengan rencana, keputusan, termasuk kegiatan yang akan dan sedang dilakukan oleh satu pihak yang dianggap bernilai bagi pengumpul data.

Pada level negara, operasi intelijen dilakukan oleh dinas-dinas intelijen resmi seperti CIA di Amerika Serikat, KGB di era Soviet, Stasi di Jerman Timur, MI6 di Inggris Raya atau BIN di Indonesia. Mereka yang menjalankan operasi ini adalah agen-agen militer dan sipil yang tidak hanya terlatih, tapi juga terdidik baik secara akademik. Ada yang berprofesi sebagai intelijen murni, khususnya dari dinas-dinas militer, ada juga yang memiliki profesi lain. Semuanya diindoktrinasi dengan dogma patriotisme kepada negara. Saking berat tugas yang mereka sandang, ada lelucon di kalangan mereka, "jika berhasil tidak dipuji, kalau gagal dicaci maki hingga dieksekusi mati".

Merujuk pada definisi keakademikan tersebut, tentu saja upaya-upaya penghilangan nyawa terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan oleh agen-agen dari dinas intelijen tertentu bertentangan dengan prinsip ideal intelijen. Operasi intelijen, khususnya yang bersifat taktis dan jangka pendek dengan menghilangkan nyawa target sedikit memiliki justfikasi apabila kita rujukkan pada masa lampau, yakni era perang dunia atau perang dingin.

Pada masa tersebut, suhu politik internasional masih dikepung oleh bahaya laten invasi antarnegara, dilema keamanan yang menguat, ketiaadaan rezim perdamaian dunia yang tangguh, belum dirumuskannya regulasi supranasional yang bersifat komprehensif dan mengikat, serta pola pikir pemimpin dunia yang masih konvensional. Pembunuhan-pembunuhan ala intelijen yang disuguhkan dalam film-film Hollywood seperti James Bond, Jason Bourne atau Red Sparrow baru-baru ini merupakan sekelumit potret nyata operasi intelijen taktis zaman lawas.

Negara kekuasaan

Lantas mengapa pembunuhan berlandaskan kepentingan nasional dari pihak eksekutor masih sering terjadi? Penulis memiliki hipotesis bahwa black method dalam operasi intelijen yang menggunakan media kekerasan dan penyiksaan terhadap target bahkan pembunuhan yang dilakukan secara brutal dengan melintasi batas-batas negara hanya dilakukan oleh negara-negara yang masih menganut prinsip negara kekuasaan (rechstaat), dipimpin oleh seorang diktator, atau dalam bahasa yang sedikit lebih halus, negara-negara yang belum tersentuh oleh anasir demokrasi. 

Dalam kasus terbunuhnya Fadi, bila benar Mossad yangmenjadi aktor utama pembunuhan,  hal ini menjadi hal yang wajar mengingat eksistensi Israel sebagi sebuah negara secara yuridis internasional masih diperdebatkan keabsahannya, alih-alih berbicara tentang demokrasi.

Kasus yang terjadi pada Fadi bukanlah kasus yang pertama. Dengan lokus yang sama, yakni di Malaysia, Kim Jong Nam yang merupakan saudara tiri dari pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong Un, ditemukan tewas karena racun mematikan di bandara internasional Kuala Lumpur Februari tahun lalu. Kematian Jong Nam ini sontak menimbulkan kecurigaan bahwa agen-agen intelijen Korut bermain di belakangnya. Hal ini tercermin dari reaksi pemerintah Korut yang menolak pemeriksaan post-mortem terhadap jenazah dan ketegangan antara Malaysia dan Korut pasca insiden ini yang berujung pada konflik diplomatik kedua negara.

Di Indonesia, kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir pada 2004 dalam penerbangan menuju Amsterdam masih menjadi kabut misteri hingga hari ini. Munir yang semasa hidup sangat getol menyelidiki kasus penculikan aktivis di era Soeharto disinyalir sengaja dihilangkan oleh antek-antek mantan penguasa. 

Penetapan Pollycarpus Budihari Priyanto yang berprofesi sebagai pilot Garuda Indonesia sebagai pelaku menjadi lelucon paling tidak lucu di republik ini mengingat pengusutan tidak menyentuh pada siapa yang menjadi dalang utama dari tragedi tersebut dan apa yang menjadi basic motive-nya. Apa yang terjadi di Korut dan Indonesia melalui dua sampel kasus tersebut menunjukkan bahwa Korut dan Indonesia (saat dan pasca runtuhnya Soeharto) masih dibebat otoritarianisme sehingga menjadikan intelijen sebagai cakar-cakar pelanggeng kekuasaan rezim.

Kembali pada kasus terbunuhnya Fadi, pemerintah Malaysia melalui kepolisian hendaknya melakukan pengusutan secara tuntas. Tekanan dari pihak luar, baik Israel maupun otoritas Hamas sudah selaiknya diabaikan terlebih dahulu demi kejernihan penyelidikan. Bila memungkinkan, pemerintah Malaysia bisa melibatkan otoritas regional atau global resmi yang berkompeten untuk melakukan penyelidikan.

 Fakta bahwa pembunuhan dilakukan oleh dua orang berkulit terang yang kemungkinan besar berasal dari Eropa atau Timur Tengah (bukan warga lokal Malaysia) berdasarkan sketsa wajah kepolisian dengan merujuk keterangan saksi serta penggunaan sarana motor bertenaga tinggi untuk melarikan diri merupakan argumen pendukung yang cukup kuat utuk membuhulkan kesimpulan bahwa benar pembunuhan ini adalah operasi intelijen taktis dari pihak-pihak tertentu.

Yang perlu digarisbawahi, Malaysia sebagai negara lokus kejadian wajib untuk tidak melokalisir  kasus ini hanya sebagai kasus domestik saja. Kasus ini dapat menjadi preseden untuk dibawa ke lembaga supranasional sekelas PBB agar menjadi rekomendasi regulasi internasional yang bersifat mitigatif dan kuratif di masa yang akan datang. Jangan sampai aksi barbar dan koboi ini terus berlanjut tanpa penegakan hukum yang memadai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun