Lantas mengapa pembunuhan berlandaskan kepentingan nasional dari pihak eksekutor masih sering terjadi? Penulis memiliki hipotesis bahwa black method dalam operasi intelijen yang menggunakan media kekerasan dan penyiksaan terhadap target bahkan pembunuhan yang dilakukan secara brutal dengan melintasi batas-batas negara hanya dilakukan oleh negara-negara yang masih menganut prinsip negara kekuasaan (rechstaat), dipimpin oleh seorang diktator, atau dalam bahasa yang sedikit lebih halus, negara-negara yang belum tersentuh oleh anasir demokrasi.Â
Dalam kasus terbunuhnya Fadi, bila benar Mossad yangmenjadi aktor utama pembunuhan, Â hal ini menjadi hal yang wajar mengingat eksistensi Israel sebagi sebuah negara secara yuridis internasional masih diperdebatkan keabsahannya, alih-alih berbicara tentang demokrasi.
Kasus yang terjadi pada Fadi bukanlah kasus yang pertama. Dengan lokus yang sama, yakni di Malaysia, Kim Jong Nam yang merupakan saudara tiri dari pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong Un, ditemukan tewas karena racun mematikan di bandara internasional Kuala Lumpur Februari tahun lalu. Kematian Jong Nam ini sontak menimbulkan kecurigaan bahwa agen-agen intelijen Korut bermain di belakangnya. Hal ini tercermin dari reaksi pemerintah Korut yang menolak pemeriksaan post-mortem terhadap jenazah dan ketegangan antara Malaysia dan Korut pasca insiden ini yang berujung pada konflik diplomatik kedua negara.
Di Indonesia, kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir pada 2004 dalam penerbangan menuju Amsterdam masih menjadi kabut misteri hingga hari ini. Munir yang semasa hidup sangat getol menyelidiki kasus penculikan aktivis di era Soeharto disinyalir sengaja dihilangkan oleh antek-antek mantan penguasa.Â
Penetapan Pollycarpus Budihari Priyanto yang berprofesi sebagai pilot Garuda Indonesia sebagai pelaku menjadi lelucon paling tidak lucu di republik ini mengingat pengusutan tidak menyentuh pada siapa yang menjadi dalang utama dari tragedi tersebut dan apa yang menjadi basic motive-nya. Apa yang terjadi di Korut dan Indonesia melalui dua sampel kasus tersebut menunjukkan bahwa Korut dan Indonesia (saat dan pasca runtuhnya Soeharto) masih dibebat otoritarianisme sehingga menjadikan intelijen sebagai cakar-cakar pelanggeng kekuasaan rezim.
Kembali pada kasus terbunuhnya Fadi, pemerintah Malaysia melalui kepolisian hendaknya melakukan pengusutan secara tuntas. Tekanan dari pihak luar, baik Israel maupun otoritas Hamas sudah selaiknya diabaikan terlebih dahulu demi kejernihan penyelidikan. Bila memungkinkan, pemerintah Malaysia bisa melibatkan otoritas regional atau global resmi yang berkompeten untuk melakukan penyelidikan.
 Fakta bahwa pembunuhan dilakukan oleh dua orang berkulit terang yang kemungkinan besar berasal dari Eropa atau Timur Tengah (bukan warga lokal Malaysia) berdasarkan sketsa wajah kepolisian dengan merujuk keterangan saksi serta penggunaan sarana motor bertenaga tinggi untuk melarikan diri merupakan argumen pendukung yang cukup kuat utuk membuhulkan kesimpulan bahwa benar pembunuhan ini adalah operasi intelijen taktis dari pihak-pihak tertentu.
Yang perlu digarisbawahi, Malaysia sebagai negara lokus kejadian wajib untuk tidak melokalisir  kasus ini hanya sebagai kasus domestik saja. Kasus ini dapat menjadi preseden untuk dibawa ke lembaga supranasional sekelas PBB agar menjadi rekomendasi regulasi internasional yang bersifat mitigatif dan kuratif di masa yang akan datang. Jangan sampai aksi barbar dan koboi ini terus berlanjut tanpa penegakan hukum yang memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H