Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Penguatan DPD RI

27 Januari 2018   08:35 Diperbarui: 27 Januari 2018   08:46 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya posisi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berada di dalam sila keempat Pancasila. DPD RI adalah perwujudan dari permusyawaratan perwakilan yang memimpin kerakyatan berdasarkan hikmah kebijaksanaan.

DPD RI mestinya menjadi lembaga perwakilan yang mampu secara optimal dan akuntabel memperjuangkan aspirasi daerah. DPD RI seyogianya mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Mengacu pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI bahwa sebagai lembaga legislatif DPD RI mempunyai fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Sedangkan tugas dan wewenang DPD RI adalah (1) pengajuan usul Rancangan Undang-Undang; (2) pembahasan Rancangan Undang-Undang; (3) pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang dan pemilihan anggota BPK; (4) pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang.

Apakah DPD RI telah optimal dan akuntabel memperjuangkan aspirasi daerah? Terwujudkah tujuan nasional dengan terbentuknya DPD RI? Sejumlah ahli memaparkan pandangan yang sedikit-banyak berupaya menjawab pertanyaan di atas.

A.M. Fatwa (2012) mengatakan dasar pertimbangan teoritis dibentuknya DPD antara lain adalah untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) antarcabang kekuasaan negara dan antarlembaga legislatif sendiri. Dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 22D UUD 1945 setelah amandemen sulit mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD RI. Demikian juga sulit bagi anggota DPD RI untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya.

DPD RI tidak memiliki kewenangan untuk mengesahkan undang-undang seperti dikatakan Saldi Isra (2010). DPD RI hanya bisa mengusulkan atau memberi saran tentang sejumlah RUU tertentu di DPR. Dengan kekuatan yang terbatas ini, DPD RI hanya bertindak sebagai subordinat DPR. Keterbatasan tersebut menimbulkan anggapan bahwa gagasan untuk membentuk DPD RI demi memberi jalan bagi perwakilan baru dari daerah untuk memasuki dunia pengambilan keputusan di tingkat nasional telah gagal.

Dari pandangan mengenai posisi DPD RI saat ini dan kedudukan idealnya ke depan yang dikehendaki menurut spirit reformasi, tepatlah kiranya misi DPD RI mengusung target utama: memperkuat kewenangan DPD RI melalui amandemen UUD 1945.

Terdapat alur pikir yang patut dipertimbangkan untuk mengidealkan posisi DPD RI berdasarkan rangkuman argumentasi yang dikemukakan sejumlah kalangan. Fungsi legislasi DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia harus ditata ulang secara komprehensif dengan membangun checks and balances berupa ruang untuk DPD RI mengoreksi dan/atau menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR. Bisa saja DPD RI tidak terlibat mengoreksi dan/atau menolak seluruh RUU, melainkan terbatas pada RUU yang menyangkut APBN, otonomi daerah, hubungan kekuasaan dan keuangan antarpusat dan daerah, pemekaran wilayah dan perubahan batas wilayah, serta pengelolaan sumber daya alam yang harus mendapat persetujuan DPD RI sebelum diajukan untuk diundangkan Presiden.

Menurut Isra (2010) MPR khawatir dengan kewenangan legislasi yang seimbang akan memperlambat proses legislasi. Mayoritas anggota MPR beranggapan, memberikan kewenangan legislasi yang kuat kepada DPD bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun kekhawatiran dan anggapan tersebut sebenarnya dapat ditepis dengan meneliti perbandingan terhadap sistem bikameralisme di dalam negara kesatuan lain di seluruh dunia.

Selain menggagas posisi ideal DPD RI di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, DPD RI mesti melahirkan gagasan utama, yakni sudah selayaknya memperjuangkan diri untuk membahasakan ulang kedua lembaga perwakilan ini. Mengapa ini penting? Sebab kedua lembaga, baik DPD maupun DPR, sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemungutan suara di dalam pemilihan umum. Dari aspek keterpilihan tersebut, maka perlu dicermati penamaan dan penyingkatan lembaga tinggi negara ini.

Rakyat yang memiliki hak pilih memberikan suara mereka dalam pemilu bukan mengatasnamakan daerah, melainkan secara satu per satu orang diberikan kertas suara di dalam tempat pemungutan suara untuk memilih perwakilan mereka. Calon-calon anggota DPD dan DPR yang akan dipilih rakyat ialah daftar yang tercantum dalam arena atau gelanggang pemilu yang sama, berbentuk daerah pemilihan tertentu.  

"Rakyat" dalam "R" dari singkatan "DPR" dengan demikian menjadi tidak mangkus dan/atau akurat maknanya sebab DPD dipilih oleh rakyat juga. Betapa cermatnya apabila huruf "R" dalam singkatan "DPR" diganti menjadi "P" yang berarti "Partai" sehingga singkatannya berubah menjadi "DPP" yang kepanjangannya adalah "Dewan Perwakilan Partai". Sebab calon yang didaftarkan memang merupakan anggota partai politik yang akan dipilih rakyat.

Dengan menganulir dan/atau menanggalkan singkatan lama tersebut, maka "Rakyat" bukan dimaknai mutlak berada di dalam perwakilan partai, bukan pula berarti mutlak ada di dalam perwakilan daerah.

Dengan kata lain, "Rakyat" baik yang telah memilih ataupun tidak memilih (karena belum cukup umur atau enggan memberikan hak suara dalam pemilu legislatif) diposisikan kembali berkedudukan di luar lembaga ini setelah pemungutan suara. Bukan otomatis jadinya rakyat yang masuk ke dalam lembaga ini, namun hanya perwakilan yang mereka pilih belaka. Mereka tidak termasuk ke dalam salah satu atau kedua lembaga ini karena "Rakyat" di dalam "DPR" hanyalah representasi dari mereka yang dipungut suaranya ketika mengikuti pemilu. Tentu saja mereka bukan "seluruh rakyat Indonesia" sebagaimana misalnya makna sila kelima Pancasila.

Argumentasi yang melandasi singkatan ini kemungkinan merujuk kepada ilmu tata bahasa di mana terdapat gaya yang disebut "pars pro toto totum pro parte", yakni "sedikit bisa berarti semua, namun semua bisa berarti sedikit saja". Morfologi ini menurut hemat kami tidak pada tempatnya dibawa sejauh mungkin ke dalam ilmu politik sebab jelas pemungutan suara menghasilkan jumlah yang terhitung absolut secara matematika. 

Belum lagi ada yang dikenal secara sosial dalam dunia politik sebagai "Silent Majority" yang di saat-saat sebuah negara dalam keadaan kritis mereka dapat secara cepat unjuk kekuatan untuk menunjukkan bahwa mereka berada di luar lembaga negara dan bisa saja sewaktu-waktu mengambil alih kekuasaan. Seperti diketahui pula, dari 68 negara demokrasi di dunia ini yang menganut sistem bikameral hanya Indonesia, Aljazair, Ethiopa, dan Malaysia saja yang menggunakan istilah "People" atau "Rakyat" sebagai nama salah satu dari dua lembaga tinggi negara.

Sementara Aspinall dan Sukmajati (2016) menyatakan, "For many commentators and participants, the legislative elections of 2014 were the 'money politics' election. Jimly Asshiddiqie, the head of chief body with oversight functions over Indonesia's electoral commissions, described money politics as being the most 'massive' it had ever been in 2014; observers from Indonesia Corruption Watch described the 2014 elections as the most 'brutal' ever, and one Islamic leader colorfully talked of the elections as 'capitalistics, cannibalistic, and corrupt'."

Dalam arti bahwa fakta bagi banyak pengulas dan peserta, pemilihan legislatif tahun 2014 adalah pemilihan 'politik uang'. Jimly Asshiddiqie, kepala badan yang memiliki fungsi pengawasan atas komisi pemilihan di Indonesia atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menggambarkan politik uang sebagai yang paling 'masif' yang pernah ada di tahun 2014; pengamat dari Indonesia Corruption Watch menggambarkan pemilihan 2014 sebagai yang paling 'brutal', dan salah seorang pemimpin Islam secara serius berbicara tentang pemilihan tersebut sebagai 'kapitalistik, kanibalistik, dan korup'."

Jadi suka atau tidak, pada kenyataannya rakyat yang memberikan suara dalam pemilu belum tentu murni memilih berdasarkan hati nurani. Lagi pula dalam setiap pemilu pasti tidak seluruh rakyat mengikuti pemungutan suara. Maka kepastian yang diterima seluruh rakyat Indonesia apabila menyisihkan "R" ("Rakyat") dari dalam nama salah satu dari kedua lembaga tinggi negara ini menunjukkan bahwa "Rakyat" adalah pemilik sah berkedaulatan tertinggi yang di atas dari, baik DPR dan DPD, maupun Presiden dan MPR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun