"Rakyat" dalam "R" dari singkatan "DPR" dengan demikian menjadi tidak mangkus dan/atau akurat maknanya sebab DPD dipilih oleh rakyat juga. Betapa cermatnya apabila huruf "R" dalam singkatan "DPR" diganti menjadi "P" yang berarti "Partai" sehingga singkatannya berubah menjadi "DPP" yang kepanjangannya adalah "Dewan Perwakilan Partai". Sebab calon yang didaftarkan memang merupakan anggota partai politik yang akan dipilih rakyat.
Dengan menganulir dan/atau menanggalkan singkatan lama tersebut, maka "Rakyat" bukan dimaknai mutlak berada di dalam perwakilan partai, bukan pula berarti mutlak ada di dalam perwakilan daerah.
Dengan kata lain, "Rakyat" baik yang telah memilih ataupun tidak memilih (karena belum cukup umur atau enggan memberikan hak suara dalam pemilu legislatif) diposisikan kembali berkedudukan di luar lembaga ini setelah pemungutan suara. Bukan otomatis jadinya rakyat yang masuk ke dalam lembaga ini, namun hanya perwakilan yang mereka pilih belaka. Mereka tidak termasuk ke dalam salah satu atau kedua lembaga ini karena "Rakyat" di dalam "DPR" hanyalah representasi dari mereka yang dipungut suaranya ketika mengikuti pemilu. Tentu saja mereka bukan "seluruh rakyat Indonesia" sebagaimana misalnya makna sila kelima Pancasila.
Argumentasi yang melandasi singkatan ini kemungkinan merujuk kepada ilmu tata bahasa di mana terdapat gaya yang disebut "pars pro toto totum pro parte", yakni "sedikit bisa berarti semua, namun semua bisa berarti sedikit saja". Morfologi ini menurut hemat kami tidak pada tempatnya dibawa sejauh mungkin ke dalam ilmu politik sebab jelas pemungutan suara menghasilkan jumlah yang terhitung absolut secara matematika.Â
Belum lagi ada yang dikenal secara sosial dalam dunia politik sebagai "Silent Majority" yang di saat-saat sebuah negara dalam keadaan kritis mereka dapat secara cepat unjuk kekuatan untuk menunjukkan bahwa mereka berada di luar lembaga negara dan bisa saja sewaktu-waktu mengambil alih kekuasaan. Seperti diketahui pula, dari 68 negara demokrasi di dunia ini yang menganut sistem bikameral hanya Indonesia, Aljazair, Ethiopa, dan Malaysia saja yang menggunakan istilah "People" atau "Rakyat" sebagai nama salah satu dari dua lembaga tinggi negara.
Sementara Aspinall dan Sukmajati (2016) menyatakan, "For many commentators and participants, the legislative elections of 2014 were the 'money politics' election. Jimly Asshiddiqie, the head of chief body with oversight functions over Indonesia's electoral commissions, described money politics as being the most 'massive' it had ever been in 2014; observers from Indonesia Corruption Watch described the 2014 elections as the most 'brutal' ever, and one Islamic leader colorfully talked of the elections as 'capitalistics, cannibalistic, and corrupt'."
Dalam arti bahwa fakta bagi banyak pengulas dan peserta, pemilihan legislatif tahun 2014 adalah pemilihan 'politik uang'. Jimly Asshiddiqie, kepala badan yang memiliki fungsi pengawasan atas komisi pemilihan di Indonesia atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menggambarkan politik uang sebagai yang paling 'masif' yang pernah ada di tahun 2014; pengamat dari Indonesia Corruption Watch menggambarkan pemilihan 2014 sebagai yang paling 'brutal', dan salah seorang pemimpin Islam secara serius berbicara tentang pemilihan tersebut sebagai 'kapitalistik, kanibalistik, dan korup'."
Jadi suka atau tidak, pada kenyataannya rakyat yang memberikan suara dalam pemilu belum tentu murni memilih berdasarkan hati nurani. Lagi pula dalam setiap pemilu pasti tidak seluruh rakyat mengikuti pemungutan suara. Maka kepastian yang diterima seluruh rakyat Indonesia apabila menyisihkan "R" ("Rakyat") dari dalam nama salah satu dari kedua lembaga tinggi negara ini menunjukkan bahwa "Rakyat" adalah pemilik sah berkedaulatan tertinggi yang di atas dari, baik DPR dan DPD, maupun Presiden dan MPR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H