Hubungan RI -- Australia sedang memanas. Demikianlah kira-kira kalimat yang pas untuk menggambarkan relasi bilateral kedua negara akhir-akhir ini. Jika sebelumnya publik tanah air dibuat murka oleh laporan seorang instruktur dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI tentang pelecehan yang dilakukan oleh Australian Defence Force (ADF) terhadap Pancasila, serta pendiskreditan Sarwo Edhie Wibowo dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, baru-baru ini kita kembali dikagetkan oleh peristiwa penerobosan gedung Konsulat Jenderal RepubIik Indonesia (KJRI) di Melbourne, Australia.
Tak hanya menerobos, satu dari dua orang penerobos tanpa sungkan mengibarkan bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka (OPM), salah satu kelompok separatis di Indonesia.
Insiden ini terjadi saat KJRI dalam keadaan sepi karena para staf sedang melaksanakan shalat Jumat.
Meskipun polisi Australia langsung menindaklanjuti kejadian ini dan dikabarkan sudah mengantongi identitas pelaku, tak pelak serentetan kejadian yang merugikan kepentingan nasional RI ini membuat hubungan bilateral kedua negara memasuki masa-masa suram.
Ada hipotesis menarik dalam relasi bilateral antarnegara, bahwasanya masalah paling pelik yang dihadapi oleh sebuah negara adalah masalah yang kerap ditimbulkan oleh tetangganya sendiri.
Definisi tetangga di sini adalah negara-negara yang berdekatan secara geografis. Coba tanyakan kepada Malaysia dan Singapura, betapa pusingnya mereka menghadapi kabut asap dari Indonesia akibat pembakaran hutan di tanah air.
Donald Trump, Presiden AS terpilih, bahkan tak segan mengatakan akan menutup perbatasan AS dan Meksiko untuk mencegah masuknya imigran-imigran ilegal dari negara tetangganya tersebut.
Selama empat dasawarsa terakhir, hubungan RI-Australia mengalami pasang surut, kadang harmonis, kadang membara. Tak lekang dalam ingatan kita pada 1976-1977, dua kali Australia abstain dalam pengambilan suara di Majelis Umum PBB tentang resolusi masalah Timor Timur.
Sempat membaik pada 2004, setelah kedua negara bekerja sama mengungkap kelompok teroris yang melakukan pengeboman di kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta, RI kembali dibuat meradang pada 2013.
Pasalnya, Australia melakukan penyadapan terhadap Presiden SBY dan sembilan pejabat lainnya. Ketegangan antara kedua negara kembali meningkat pada 2015 ketika RI tanpa ragu-ragu mengeksekusi dua terpidana mati kasus narkoba asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Perdana Menteri (PM) Australia, Tony Abbott malah sempat mempertimbangkan untuk menarik Duta Besar (Dubes) Paul Grigson dari posnya di Jakarta.
Hubungan antarnegara pada hakikatnya merupakan hubungan formal yang memiliki landasan dan rambu-rambu. Oleh karena itu, setiap pelanggaran terhadap rambu-rambu yang ditetapkan akan membawa pada konsekuensi terhadap hubungan tersebut.
Sebagai contoh, sesama negara anggota ASEAN menganut prinsip non-intervensi dan non-interferensi, yang artinya tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain.
Dapat dimafhumi bahwa hampir 200 negara di dunia ini memiliki kebudayaan dan peradaban yang berbeda satu sama lain, yakni Dunia Barat dengan etika liberalismenya serta Dunia Timur yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur dan hal-hal yang bersifat religi.
Namun perbedaan tersebut bukanlah tidak bisa dijembatani. Dalam konteks relasi antarnegara, hal-hal yang bersifat universal, seperti prinsip saling menghormati, prinsip humanisme, serta prinsip kesetaraan mutlak dijadikan sebagai pegangan.
Khusus untuk prinsip kesetaraan, sebagai contoh, sekecil apapun negara Vanuatu jika dibandingkan dengan Jerman, tetap saja kedua negara harus memiliki hubungan yang setara sebagai negara berdaulat. Rujukannya jelas, Konvensi Montevideo 1933.
Riak-riak kecil dalam hubungan antarnegara, bahkan perang dan konflik brutal pada dasarnya tercipta karena perbenturan kepentingan nasional. Apa yang menjadi kehendak satu negara, bertentangan dengan kehendak negara lain.
Perbenturan ini menghasilkan beberapa konsekuensi, seperti ketegangan di meja perundingan, aksi spionase, bantuan ekonomi bersayap, perang proksi, bahkan perang total yang banyak memakan korban jiwa.
Dalam menyikapi benturan kepentingan nasional ini, negara kecil kerap membangun aliansi sebagai perimbangan, sedangkan negara besar tak sungkan bersikap lebih represif.
Penulis meyakini, dalam kasus pasang surutnya hubungan RI dan Australia ini, ada semacam unfinished matters antar kedua negara.
Untuk menyikapi dan menyelesaikannya, diperlukan langkah-langkah cermat yang tidak hanya melibatkan kebijakan aparat pemerintah sekarang, tapi juga mengevaluasi kebijakan-kebijakan luar negeri aparat pemerintah di masa lampau. RI juga perlu meluangkan cukup banyak waktu untuk mengidentifikasi pokok-pokok masalah yang kerap membelit kedua negara.
Identifikasi masalah-masalah ini menjadi signifikan mengingat masalah-masalah tersebut adalah sesuatu yang berulang-ulang. Coba perhatikan kasus penerobosan KJRI di Melbourne. Pokok perkaranya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sudah bukan rahasia lagi bahwa baik RI maupun Australia memiliki standing position yang berbeda terkait masalah ini.
Ketegangan hubungan kedua negara terkait pemberantasan narkoba juga bukan satu dua kali terjadi. Kasus Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dihukum mati, sempat didahului oleh kasus vonis 20 tahun penjara oleh PN Denpasar kepada penjahat narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Kasus Timor Timur juga penting dijadikan bahan pokok identifikasi masalah.Â
Pilihan sikap abstain Australia pada 1976-1977 terkait resolusi Timor Timur kembali menjadi konflik ketika pada 1999 kapal-kapal Angkatan Laut Australia berada 50 mil dari Timor Timur pasca referendum. Sebagai konskeuensinya, RI membatalkan persetujuan pemeliharaan keamanan yang diteken pada Desember 1995.
Langkah-langkah cooling down dari Pemerintah Australia, seperti permintaan maaf langsung dari Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Mark Donald Binskin, kepada Panglima TNI, merupakan langkah yang patut diapresiasi.
Namun identifikasi masalah dan perumusan solusi yang lebih komprehensif untuk hubungan bilateral yang lebih baik ke depan adalah suatu keharusan, bahkan mendesak untuk dilakukan. Kita tentu tak mau ketiga masalah tersebut bagai bara dalam sekam bagi hubungan RI -- Australia sehingga menyebabkan hubungan keduanya menjadi panas dingin. Dampak negatifnya tidak hanya berada pada level pemerintahan, tapi juga bagi rakyat kedua negara. Yang tetap harus menjadi pegangan dalam diplomasi nanti adalah bahwa harga diri dan martabat bangsa dan negara Indonesia adalah yang pertama dan utama.
*) Penulis Pengurus DPP PA GMNI Bidang Politik Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan 2015-2020. Tulisan ini Opini Pribadi
http://www.jurnalasia.com/opini/panas-dingin-hubungan-ri-australia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H