Namun perbedaan tersebut bukanlah tidak bisa dijembatani. Dalam konteks relasi antarnegara, hal-hal yang bersifat universal, seperti prinsip saling menghormati, prinsip humanisme, serta prinsip kesetaraan mutlak dijadikan sebagai pegangan.
Khusus untuk prinsip kesetaraan, sebagai contoh, sekecil apapun negara Vanuatu jika dibandingkan dengan Jerman, tetap saja kedua negara harus memiliki hubungan yang setara sebagai negara berdaulat. Rujukannya jelas, Konvensi Montevideo 1933.
Riak-riak kecil dalam hubungan antarnegara, bahkan perang dan konflik brutal pada dasarnya tercipta karena perbenturan kepentingan nasional. Apa yang menjadi kehendak satu negara, bertentangan dengan kehendak negara lain.
Perbenturan ini menghasilkan beberapa konsekuensi, seperti ketegangan di meja perundingan, aksi spionase, bantuan ekonomi bersayap, perang proksi, bahkan perang total yang banyak memakan korban jiwa.
Dalam menyikapi benturan kepentingan nasional ini, negara kecil kerap membangun aliansi sebagai perimbangan, sedangkan negara besar tak sungkan bersikap lebih represif.
Penulis meyakini, dalam kasus pasang surutnya hubungan RI dan Australia ini, ada semacam unfinished matters antar kedua negara.
Untuk menyikapi dan menyelesaikannya, diperlukan langkah-langkah cermat yang tidak hanya melibatkan kebijakan aparat pemerintah sekarang, tapi juga mengevaluasi kebijakan-kebijakan luar negeri aparat pemerintah di masa lampau. RI juga perlu meluangkan cukup banyak waktu untuk mengidentifikasi pokok-pokok masalah yang kerap membelit kedua negara.
Identifikasi masalah-masalah ini menjadi signifikan mengingat masalah-masalah tersebut adalah sesuatu yang berulang-ulang. Coba perhatikan kasus penerobosan KJRI di Melbourne. Pokok perkaranya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sudah bukan rahasia lagi bahwa baik RI maupun Australia memiliki standing position yang berbeda terkait masalah ini.
Ketegangan hubungan kedua negara terkait pemberantasan narkoba juga bukan satu dua kali terjadi. Kasus Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dihukum mati, sempat didahului oleh kasus vonis 20 tahun penjara oleh PN Denpasar kepada penjahat narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Kasus Timor Timur juga penting dijadikan bahan pokok identifikasi masalah.Â
Pilihan sikap abstain Australia pada 1976-1977 terkait resolusi Timor Timur kembali menjadi konflik ketika pada 1999 kapal-kapal Angkatan Laut Australia berada 50 mil dari Timor Timur pasca referendum. Sebagai konskeuensinya, RI membatalkan persetujuan pemeliharaan keamanan yang diteken pada Desember 1995.
Langkah-langkah cooling down dari Pemerintah Australia, seperti permintaan maaf langsung dari Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Mark Donald Binskin, kepada Panglima TNI, merupakan langkah yang patut diapresiasi.
Namun identifikasi masalah dan perumusan solusi yang lebih komprehensif untuk hubungan bilateral yang lebih baik ke depan adalah suatu keharusan, bahkan mendesak untuk dilakukan. Kita tentu tak mau ketiga masalah tersebut bagai bara dalam sekam bagi hubungan RI -- Australia sehingga menyebabkan hubungan keduanya menjadi panas dingin. Dampak negatifnya tidak hanya berada pada level pemerintahan, tapi juga bagi rakyat kedua negara. Yang tetap harus menjadi pegangan dalam diplomasi nanti adalah bahwa harga diri dan martabat bangsa dan negara Indonesia adalah yang pertama dan utama.