Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siap Kalah dalam Pilkada

14 Desember 2017   16:02 Diperbarui: 14 Desember 2017   16:09 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sampai dua bulan lagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan segera digelar. Pesta demokrasi ini akan menjadi saringan yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pilihan rakyat. Mereka yang mencalonkan diri, baik sebagai gubernur, walikota, maupun bupati, berjuang habis-habisan untuk menarik simpati dan dukungan rakyat. Tanpa segan mereka menggelontorkan uang dalam jumlah yang tak sedikit untuk kepentingan pemenangan Pemilu. Di Jakarta, Cawagub DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno, dikabarkan telah mengeluarkan uang sebesar 34 miliar untuk kampanye. Apa yang dikeluarkan oleh para calon tersebut semuanya untuk satu tujuan, yakni keluar sebagai kampiun.

Ada satu kekhawatiran besar yang menggelayuti benak penulis, siapkah para calon tersebut untuk kalah dalam Pemilu? Pertanyaan ini sangatlah sederhana, namun merupakan sebuah keniscayaan untuk terjadi. Dalam sebuah kompetisi, selalu ada pihak yang keluar sebagai pemenang, pun akhirnya menjadi pecundang. 

Para pemenang akan menjalankan mandat rakyat untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan periode yang telah ditentukan. Sebaliknya, bagi yang kalah dalam Pemilu, mereka memiliki banyak alternatif sebagai langkah ke depan. Pihak-pihak yang kalah bisa menjadi oposisi atau pengontrol dan penyeimbang pemerintah, bisa juga menyatakan dukungan dan berbalik menjadi koalisi. Semuanya tergantung kalkulasi dan kepentingan politik.

Dalam studi politik, klasik maupun kontemporer, dikenal istilah "there is no permanent enemy and friend, but there is just permanent interest". Ujar-ujar politik yang digaungkan oleh Lord Acton ini secara implisit bermakna bahwa semuanya bisa terjadi dalam politik. Dari kawan menjadi lawan, pun sebaliknya. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana kontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 kemarin. 

Partai-partai seperti Golkar, PAN, dan PPP begitu ngotot mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, bahkan tak segan menyerang personality pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun lihatlah sekarang, baik Golkar, PAN, maupun PPP, akhirnya menjadi partai pendukung pemerintah. Entahlah, apa benar keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam pemerintahan demi melayani rakyat, atau sekedar mendapatkan kursi kekuasaan. Yang pasti, fenomena ini riil terjadi di negeri ini.

Fenomena pasca Pemilu merupakan sebuah aspek yang menarik untuk dicermati. Hal ini bukan saja sekedar sebagai output atau keluaran Pemilu, tapi lebih dari itu, dapat berdampak pada stabilitas politik dan keamanan, serta kelancaran pelaksanaan pemerintahan beberapa tahun ke depan. Para pihak yang berkontestasi saat ini sudah pasti berorientasi pada pemenangan. Indikasinya sangat jelas, dari dana jumbo yang digelontorkan untuk kampanye, hingga tak segan melakukan berbagai pelanggaran. Sulit untuk mencari kesiapan mereka penjadi pihak yang kalah dalam Pemilu.

Bisa dimaklumi jika frasa "menang"  terpatri di benak para calon dan seluruh tim suksesnya. Hal ini tidak terlepas dari status mereka sebagai politisi yang selalu berorientasi kepada "power politics". Hal ini akan berbeda apabila motif para calon adalah semata-mata untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Frasa "menang" bukanlah sebuah azimat sakti yang harus dicapai. 

Menang dan kalah bukanlah soal karena apa yang mereka lakukan adalah meminta restu dan izin dari rakyat untuk menerima mandat dalam menjalankan pemerintahan. Jika belum mendapatkan restu, proses Pemilu akan dijadikan sebagai saran dan masukan dalam perbaikan visi dan misi pada Pemilu yang akan datang atau dalam berjuang secara ekstraparlementer, tidak melulu berjuang di dalam sistem. Inilah yang secara ideal diharapkan dari para peserta Pemilu. Mereka menjadi negarawan yang menempatkan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara jauh di atas ambisi pribadi dan pemenuhan syahwat kekuasaan.

Kita tentu tak ingin muncul beragam ekses negatif setelah hajatan politik usai. Rakyat Indonesia sudah lelah dengan segala hiruk-pikuk menjelang dan pada saat pemilihan. Bahkan mereka harus ikhlas dikoyak-moyak dengan beragam isu SARA oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab hanya untuk mengail suara mereka dalam Pemilu. 

Kepenatan itu janganlah ditambah dengan kebisingan pasca Pemilu seperti sengketa Pemilu, tudingan-tudingan penggelembungan suara, demo-demo tim pendukung yang menyatakan ketidakpuasan, saling hujat dan caci maki di media sosial, serta kegaduhan-kegaduhan lainnya yang mengancam persatuan dan kesatuan.

Para kontestan Pemilu disarankan tidak hanya siap untuk menang, tapi juga siap untuk kalah. Ini mutlak dicamkan, bahkan hingga ke seluruh tim pendukung. Sudah saatnya para calon pemimpin di negeri ini membiasakan diri dan belajar sebagai negarawan dan meninggalkan status sebagai poli-tikus, agar mereka bisa naik kelas, dan derajat demokrasi di republik ini semakin meningkat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun