Keindahan Nusa Tenggara Timur sekarang makin dikenal masyarakat Indonesia berkat promosi wisata yang terus digalakkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam bentuk event dan publikasi. Event terakhir yang baru saja diselenggarakan di NTT adalah Tour de Flores (TdF), balap sepeda tingkat internasional yang dibalut dengan promosi wisata.
Event ini tidak hanya menggelar kegiatan balap sepeda internasional saja, tapi ada juga kunjungan ke berbagai tempat wisata alam di NTT. Selain wisata alam TdF 2016 juga berperan dalam membangkitkan kembali keunikan-keunikan budaya NTT. Salah satunya adalah kain tenun ikat khas Flores.
Para wisatawan yang datang di acara TdF tentu ingin mencari keunikan khas dari NTT yang bisa dijadikan kenang-kenangan atau buah tangan. Dan kain tenun ikat khas Flores adalah salah satu produk yang paling dicari. Kain tenun ikat khas Flores merupakan produk budaya masyarakat Flores yang masih dibuat secara tradisional hingga sekarang.
Dahulu kain ini digunakan masyarakat setempat untuk kehidupan sehari-hari sebagai simbol status atau kehormatan. Namun sekarang, seiring perkembangan jaman kain tenun ikat khas Flores hanya digunakan untuk upacara adat atau resepsi pernikahan. Di masyarakat setempat kain tenun ikat digunakan sebagai selendang atau sarung.
Ketika melakukan liputan TdF 2016 saya sempat mengunjungi desa pengrajin kain tenun ikat di Kelurahan Waibalun, Kecamatan Larantuka. Di sana saya bertemu dengan mama Margaretha (70) yang sedang membuat kain tenun Senai Nowing (Nama kain tenun ikat yang digunakan kaum pria). Saat melihat kain tersebut, saya merasa kain tenun Flores berbeda dengan kain modern yang biasa saya temui. Kain ini memiliki tekstur yang lebih kasar dan memiliki motif yang khas.
Untuk membuat motif yang beragam benang-benang tersebut diberi warna lebih dari satu. Supaya warnanya tidak tercampur, benang yang sudah diberi warna dasar ditali dengan jarak tertentu. Setelah benang dikeringkan, tahap terakhir adalah merangkai benang tersebut dengan peralatan tradisional hingga menjadi sebuah kain.
“Ini belah ketupat, simboliknya tanda persatuan. Karena kita dalam hidup adat harus bersatu, sehingga khusus untuk kami di Waibalun ini semuanya dalam motif belah ketupat dan segitiga. Belah ketupat, tanda persatuan antara pemerintah dan rakyat. Kemudian Segitiga mencuat macam gunung ini, karena (lokasi) kita diapit dua gunung” Ucap Ibu Margaretha.
Kain tenun yang menggunakan warna alami harga yang dipatok biasanya satu juta rupiah. Warna dari bahan alami memang tidak secerah dengan warna dari zat kimia, tetapi kain ini lebih unik karena memiliki warna yang khas. Sedangkan untuk kain tenun yang menggunakan warna dari zat kimia beliau menjualnya di kisaran harga lima ratus ribu rupiah.