Mohon tunggu...
Boy
Boy Mohon Tunggu... Freelancer - Digital Enthusiast

Do what you cant!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cantiknya Kain Tenun Ikat Khas Flores

23 Mei 2016   23:10 Diperbarui: 29 Mei 2016   05:44 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Margaretha (70) penenun dari desa Waibalun (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)

Keindahan Nusa Tenggara Timur sekarang makin dikenal masyarakat Indonesia berkat promosi wisata yang terus digalakkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam bentuk event dan publikasi. Event terakhir yang baru saja diselenggarakan di NTT adalah Tour de Flores (TdF), balap sepeda tingkat internasional yang dibalut dengan promosi wisata. 

Event ini tidak hanya menggelar kegiatan balap sepeda internasional saja, tapi ada juga kunjungan ke berbagai tempat wisata alam di NTT. Selain wisata alam TdF 2016 juga berperan dalam membangkitkan kembali keunikan-keunikan budaya NTT. Salah satunya adalah kain tenun ikat khas Flores.

Para wisatawan yang datang di acara TdF tentu ingin mencari keunikan khas dari NTT yang bisa dijadikan kenang-kenangan atau buah tangan. Dan kain tenun ikat khas Flores adalah salah satu produk yang paling dicari. Kain tenun ikat khas Flores merupakan produk budaya masyarakat Flores yang masih dibuat secara tradisional hingga sekarang. 

Dahulu kain ini digunakan masyarakat setempat untuk kehidupan sehari-hari sebagai simbol status atau kehormatan. Namun sekarang, seiring perkembangan jaman kain tenun ikat khas Flores hanya digunakan untuk upacara adat atau resepsi pernikahan. Di masyarakat setempat kain tenun ikat digunakan sebagai selendang atau sarung.

Ketika melakukan liputan TdF 2016 saya sempat mengunjungi desa pengrajin kain tenun ikat di Kelurahan Waibalun, Kecamatan Larantuka. Di sana saya bertemu dengan mama Margaretha (70) yang sedang membuat kain tenun Senai Nowing (Nama kain tenun ikat yang digunakan kaum pria). Saat melihat kain tersebut, saya merasa kain tenun Flores berbeda dengan kain modern yang biasa saya temui. Kain ini memiliki tekstur yang lebih kasar dan memiliki motif yang khas.

Ibu Margaretha (70) penenun dari desa Waibalun (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Ibu Margaretha (70) penenun dari desa Waibalun (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Di NTT kain tenun ikat masih dibuat secara tradisional oleh mama-mama di sana. Mulanya mereka membentuk helai demi helai benang secara manual, kemudian supaya warnanya lebih cantik benang dicelupkan ke bahan pewarna yang terbuat dari alam, misalnya daun-daunan, akar, dan kulit kayu. 

Untuk membuat motif yang beragam benang-benang tersebut diberi warna lebih dari satu. Supaya warnanya tidak tercampur, benang yang sudah diberi warna dasar ditali dengan jarak tertentu. Setelah benang dikeringkan, tahap terakhir adalah merangkai benang tersebut dengan peralatan tradisional hingga menjadi sebuah kain.

Benang yang sudah diberi warna dan sebagian ada yang diikat dengan tali (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Benang yang sudah diberi warna dan sebagian ada yang diikat dengan tali (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Selain memiliki motif dan warna yang indah, kain tenun khas Flores juga sarat akan makna. Misalnya untuk kain berwarna agak kecoklatan ini, setiap motifnya memiliki arti tertentu. Untuk motif belah ketupat melambangkan tanda persatuan antara rakyat dengan pemerintah sesuai adat istiadat. Sedangkan motif segitiga melambangkan kondisi geografis Larantuka yang diapit oleh dua gunung.

“Ini belah ketupat, simboliknya tanda persatuan. Karena kita dalam hidup adat harus bersatu, sehingga khusus untuk kami di Waibalun ini semuanya dalam motif belah ketupat dan segitiga. Belah ketupat, tanda persatuan antara pemerintah dan rakyat. Kemudian Segitiga mencuat macam gunung ini, karena (lokasi) kita diapit dua gunung” Ucap Ibu Margaretha.

Kain tenun ikat khas Flores yang menggunakan warna alami (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Kain tenun ikat khas Flores yang menggunakan warna alami (Foto: Lastboy Tahara Sinaga)
Untuk menjadi sebuah kain tenun yang siap pakai waktu pembuatan beragam. Bagi mama yang bekerja secara profesional biasanya bisa diselesaikan selama 3 minggu, namun bila pembuatan kain tenun hanya untuk mengisi waktu bisa jadi hingga satu bulan. Dalam menjual hasil karyanya, Ibu Margaretha membedakannya berdasarkan bahan warna yang digunakan, kerumitan motif, dan lama pembuatan. 

Kain tenun yang menggunakan warna alami harga yang dipatok biasanya satu juta rupiah. Warna dari bahan alami memang tidak secerah dengan warna dari zat kimia, tetapi kain ini lebih unik karena memiliki warna yang khas. Sedangkan untuk kain tenun yang menggunakan warna dari zat kimia beliau menjualnya di kisaran harga lima ratus ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun