Mohon tunggu...
Boy Anugerah LUSOR
Boy Anugerah LUSOR Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi / Pemain Ide

Founder Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Poliklenik: Politik dan Klenik

14 April 2021   01:31 Diperbarui: 14 April 2021   01:31 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepekan yang lalu saya bertemu dengan seorang rekan lama di gedung parlemen, Senayan, tempat saya bekerja. Meskipun saya sudah hampir satu setengah tahun bekerja di "rumah rakyat" sebagai tenaga ahli, baru kali ini saya berjumpa langsung dengannya. Maklum, gedung kantor sangatlah luas dengan ribuan anggota parlemen dan pegawai. Dalam pertemuan yang tidak bisa dikatakan singkat tersebut, teman lama saya ini bercerita mengenai santet dan teluh yang ia alami selama bekerja. Konon katanya, ada rekan kerjanya yang dengki. Rekan kerjanya ini staf senior yang takut posisinya tergeser karena merasa minim kapasitas dan tidak siap dengan perubahan melalui hadirnya orang baru. Oleh sebab itu, rekan saya diteluh dan disantet agar merasa tidak nyaman dan keluar dari kantor.

Politik itu kotor, demikianlah pendapat orang-orang yang apatis dengan politik dan ragam praktiknya. Bertambah kelam dan kotor ketika oknum-oknum politik menggunakan cara-cara klenik untuk melanggengkan kekuasaannya, menutupi praktik korupsi yang dilakukan, atau menundukkan atasan agar disayang dan diperhatikan meskipun secara intelektualitas pas-pasan. Pendapat tersebut boleh jadi benar sebagai salah satu fitur empirik dalam praktik politik. Tapi melakukan generalisasi bahwa politik dan pelakunya kotor tentu bukan sikap yang bijak. Sabam Sirait, politikus senior PDI-P, bahkan harus bersusah payah menulis buku berjudul Politik Itu Suci untuk menampik pendapat sinis tersebut.

Produk budaya

Berkelit-kelindannya politik dan klenik dalam dunia politik kontemporer sejatinya bukanlah sebuah fenomena yang mencengangkan. Kultur asli nenek moyang Indonesia yang menganut animisme dan dinamisme tidak sepenuhnya hilang meskipun agama-agama Samawi sudah menjadi agama dan keyakinan resmi yang dijamin oleh konstitusi. Pada masa lalu, raja-raja nusantara konon harus memiliki ilmu kanuragan dan aji-aji yang mumpuni untuk mendukung kekuasaannya. Mereka tak segan-segan melakukan tapa brata dan tirakat di tempat-tempat wingit, serta bersekutu dengan lelembut dan danyang-danyang penguasa wilayah nusantara. Panembahan Senopati dari Mataram misalnya, memiliki hubungan ghaib dengan Kanjeng Ratu Kidul semasa hidupnya guna memperkokoh kekuasaannya.

Eksistensi poliklenik (demikian saya menyingkat politik dan klenik) di masa lalu ternyata memiliki konektivitas dengan era modern. Namanya juga kebiasaan dan budaya, ia berlanjut secara turun-temurun oleh orang-orang yang melanggengkan praktiknya. Di era Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia, ada sebuah kejadian menarik. Dikisahkan dalam buku Soekarno Peonja Tjerita terbitan Bentang tahun 2016, penyerangan terhadap Soekarno terjadi pada 14 Mei 1962. Pada waktu itu, Sanusi mendapat perintah dari Kartosoewiryo, pimpinan Negara Islam Indonesia (NII) untuk mengeksekusi mati Soekarno. Singkat kata, Sanusi mendapatkan momennya untuk membunuh Soekarno pada saat sholat Ied di halaman istana. Di tempat tersebut, Soekarno mengisi baris pertama bersama para personel militer, sedangkan Sanusi mengisi pada baris ketujuh.

Dor! tembakan dari jarak tujuh meter dilepaskan oleh Sanusi pada saat Soekarno rukuk. Ajaib, tembakan Sanusi yang notabene adalah penembak jitu di kalangan DI/TII meleset. Dalam pengakuannya pasca ditangkap, Sanusi bertutur bahwa pandangannya mendadak buram pada saat hendak menembak. Dalam penglihatannya, sosok Soekarno tiba-tiba berpindah dari satu posisi ke posisi lain sehingga mengacaukan konsentrasinya. Peristiwa pada Mei 1962 ini mengentalkan keyakinan banyak kalangan bahwa Soekarno tidak hanya sebagai seorang presiden yang terampil dalam berpidato saja, tapi juga memiliki daya linuwih sebagai seorang pemimpin. Tak heran, banyak orang yang mengaitkan benda-benda yang sering dipakai Soekarno seperti tongkat komando yang terbuat dari kayu pucang kalak yang bertuah dan wesi kuning di sakunya sebagai sumber kesaktiannya.

Oknum kotor

Jika klenik di era Soekarno dijadikan sebagai wasilah kepemimpinannya, lain lagi cerita almarhum Artidjo Alkostar semasa ia hidup. Mantan hakim agung yang kerap disebut sebagai algojo para koruptor karena keputusannya yang sering memperberat hukuman di tingkat kasasi terhadap para koruptor, termasuk jenderal politisi, pengacara, dan kepala daerah yang korup, pernah bertutur bahwa ia kerap dikirimi ancaman oleh pihak-pihak yang berperkara, termasuk ancaman santet dengan mengirim fotonya ke dukun-dukun ilmu hitam di Banten dan Banyuwangi yang kental praktik santet dan teluhnya. Menanggapi ancaman santet tersebut, ia tidak ciut dan malah sempat meledek, "jika mereka hendak menyantet saya pakai foto saya, pastilah santetnya kelas anak-anak TK".

Apa yang diancamkan kepada Artidjo Alkostar semasa ia hidup setali tiga uang dengan apa yang dialami oleh teman saya seperti yang saya ceritakan di awal. Mekanisme klenik melalui santet dan teluh kerap dipakai oleh oknum-oknum kotor untuk menjaga kepentingan mereka. Merasa tak sanggup bertarung secara bersih karena sadar akan kecurangan dan kesalahan yang dibuat, jalan pintas dipilih untuk menyelesaikan perkara dan menghilangkan jejak. Opsi kotor tersebut mereka pilih karena juga didukung oleh ketiadaan kerangka hukum yang mewadahi. Sempat muncul wacana untuk memasukkan pasal santet dalam KUHP, namun sampai sekarang belum terealisasi karena pro dan kontra. Praktik santet dan teluh berada di ranah metafisika yang sulit dibuktikan. Proses legalisasinya juga lumayan panjang karena mungkin Mahkamah Agung harus merekrut hakim ad hoc yang pakar di bidang perdukunan, seloroh seorang teman saya di warung kopi.

Orang-orang Barat, khususnya orang Amerika dan Eropa, terkesan lebih intelektual dan jenius dalam menyingkirkan lawan-lawan politik dan bisnis mereka. Mengutip buku The Confession of Economic Hit Man karya John Perkins tahun 2004, lawan politik kerap disingkirkan dengan tiga cara: infiltrasi bandit ekonomi, mengirim Jackal (pembunuh bayaran), serta invasi militer. Saya jadi teringat dengan kematian Hugo Chavez, pemimpin kharismatik Venezuela yang anti-AS pada 2013. Chavez yang mantan komandan militer sangat terkenal sebagai presiden yang konfrontatif dan tak segan menyerang AS di panggung-panggung internasional. Ia meninggal karena penyangkit kanker misterius yang dideritanya dua tahun sebelumnya. Pada hemat saya, jikapun AS bermain dalam kematian Chavez, pastilah bukan ulah dukun-dukun tenung di negeri Abang Sam tersebut.

Keyakinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun