Penggunaan bahasa Jawa yang mendominasi tidak menghalangi niat para pemain untuk totalitas dalam memainkan peran mereka di film ini---kecuali Susan ya, soalnya dia murid pindahan dari Jakarta yang tidak bisa bahasa Jawa sama sekali. Ok, dari kemarin aku uda gemes mau ngomentarin bagaimana mereka---terutama buat pemain yang tidak memilih darah Jawa---berbicara dalam bahasa Jawa.
Memang belajar bahasa baru itu tidak mudah dan cepat,seperti misal Brandon Salim (Nando) dan Arif Didu (Cak Jon), dua tokoh yang perlu aku acungi jempol karena mampu menyesuaikan logat orang Jawa dengan cukup baik. Ini juga merupakan salah satu bentuk kerja keras dari para pemain film Yowis Ben. Karena mengubah kebiasaan bicara dari yang umum, menjadi yang... endemik (hahahaha).. itu sangat susah.
Meski ada beberapa bagian, di mana Nando dan Cak Jon ini aksen Jawanya masih terkesan dipaksakan dan terlihat dibuat-buat, tapi its okay lah. Sebuah pemakluman. Tapi ya gitu lah, gemes dengernya, hahahaha. Seperti kata 'sih', yang biasanya di Jawa ngucapinnya 'seh', tapi ada salah satu dialognya Nando, dia bilang 'sih'. Jadi rada gimana gitu dengernya, hahaha.
Tokoh yang menjadi favoritku, di samping tokoh utama, adalah Yayan---si drummer yang diperankan oleh mas Tutus. Sumpah, ancen guendeng kok arek iku. Ah mbohlah, gak paham ambek coro kerjo utekke, hahahaha. Salah satu adegan favoritku adalah ketika mereka akan kembali ke sekolah karena kepergok akan bolos dengan memanjat pagar, eh tapi ternyata si Yayan ini malah lewat..... hmm ikulah, rahasia cik, kon deloko sik cek ngerti makane, hahahaha. Sumpah, ndagel pol caakkk.
Selain itu, aku juga termat suka dengan bagaimana hubungan anak dan Ibu di film ini. So touch deeply! Banyak pelajarannya, dan seketika membuat kita ikut merasakan bagaimana chemistry keduanya mengalir. Untuk tokoh ceweknya, ada Glenca, Aliyah, sama Devina Aurel kemaren jadi siapa? Haha lupa. Dan yang pasti ada Cut Meyriska---Susan. Sebenarnya, harapanku Susan juga akan berbahasa Jawa sih di sini, hanya penasaran saja, tapi ternyata tidak. But its okay lah, aku udah cukup puas lihat dia di akhir ngomong ******. HAHAHA SUMPAH SEISI STUDIO KETAWA PAS LIHAT SCENE ITU.
Untuk Devina Aurel sendiri, kok hanya muncul di awal ya? Hmm, aku kira akan muncul-muncul lagi setelah itu. Tapi okelah, dia yang bahasa Jawanya paling bagus di antara pemain cewek *iyolah wong jowo kok*
Dan yang perlu diparesiasi besar adalah dagelan khas Jawa Timuran yang dibawakan oleh dua pelawak legendaris, yaitu Cak Kartolo dan Cak Sapari. Memang deh, ketropakan Jawa Timur gak onok tandingane. Kemudian, aku ikut acungi jempol terutama kepada sutradaranya yang bisa memanfaatkan benda-benda sepele/bahkan tidak penting menjadi sebuah bahan tertawaan yang luar biasa. Out of the box. Bayangkan, satu mangkok bakso saja bisa bikin satu studio ketawa pecah. Good job!
KONTROVERSI KATA 'JANCOK'
Sebenarnya, kalau kalian tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya atau mungkin Malang, kata 'Jancok' sudah dianggap biasa. Bahkan jadi sapaan umum. Misal dengan sahabat dekat, pasti pada cak-cok cak-cok, wes biasa. Tapi di kebanyakan daerah, kata Jancok masih dianggap sebagai kata kasar, tidak sopan. Kata yang diucapkan saat marah, umpatan. Jadi, tidak semua kalangan bisa mempersepsikan kata Jancok sebagaimana orang Surabaya atau Malang melakukannya.
Jadi kesimpulannya adalah, buat siapa pun yang menonton film ini, tolong pandai-pandailah untuk mencari nilai baik dan buruknya. Apalagi sepanjang film kita tahu bahwa banyak kata Jancok yang bertebaran. Aku sudah terlalu biasa sebenarnya, tapi untuk mereka yang tidak terbiasa? Mungkin mereka akan merasa terganggu atau bahkan sampai ngelus-ngelus dada? Yah, mungkin inilah yang namanya culture shock. Kita tidak bisa menyalahkannya, tapi cukup menerima dan menghargainya saja.
Bagaimana jika ada anak kecil nonton film ini? Anak kecil tidak mungkin datang ke bioksop sendiri. Mereka pasti 'dibawa' oleh orangtua, atau saudara, atau yang lain. Jadi, buat kalian yang membawa anak atau adik atau siapa pun yang masih kecil, jadilah pendamping yang baik. Karena di satu sisi, sebenarnya target penonton film ini bukan anak kecil.Â