KOPI I :Perkenalan
Waktu itu, ketika berjalan bersama
Dibawah terik matahari yang membakar kulit.
Birunya langit tersenyum kepada raga yang letih
Awal dari luka yang diwarisinya.
Aku merasa asing diantara senyum dan tawa
Ingin memulai sebuah percakapan
Aku takut keliru seiring turunnya kabut tipis menutupi pandangan
Memecah kehangatan menjadi hening dan dingin
Selamat pagi.
Kopi dan matahari berkolaborasi
Secangkir kopi pertama yang kau suguhkan kepada ku
Ku artikan sebagai petanda alam
Waktu tiba pada perjuangan terberat
Aku dan kamu berjalan berdampingan
saling menggemgam tangan dengan kuat
Sekuat kerasnya angin menerbangkan pasir-pasir
Diantara bebatuan diselimuti  angin dingin
Sampailah pada titik tujuan perjalanan
Ku pandang tajam-tajam keindahan lukisan Rinjani
Ku pandangi ragu-ragu tajam mata mu.
Kisah ini tak cukup sampai disini
Namun waktu hanya berpihak sebatas masa itu
Kenapa kau suguhkan kopi pertama
Jika tidak ada yang kedua, Â ketiga Â
untuk kuÂ
KOPI II : Rindu
Sedia kopi sebelum hujan untuk mengantisipasi rindu yang keterlaluan.
Biarlah kopi yang menemani membendung rindu yang tak kunjung datang.
Biarlah kopi yang menjadi teman ketika rindu dibalik hujan pergi tak mau menetap.
Biarlah kopi yang menghangatkan ketika cinta tak memberi kehangatan.
Biarlah kopi yang mengobati perihnya luka sayatan tajamnya jarak dan waktu.
Biarlah kopi yang membantu untuk melupakan.
Biarlah kopi yang membantu mengikhlaskan .
Biarlah kopi yang menguatkan mengingat kenangan.
Biarpun kopi pahit, namun kopi tak sepahit rindu yang tak bertuan.
KOPI III : Melepaskan
Sebentar dulu jangan buru-buru
Meski kita akan berlalu tunggu dulu
Habiskan dulu secangkir senja itu
Atau kubungkuskan untuk mu Â
Agar kita tidak cepat lupa
Dimasa dulu kita pernah menyeret matahari
Untuk hanya menikmati pagi
Menyesap kopi pada cangkir
Sampai kopi pada bibir
Jika dulu urusan mu adalah urusanku
Urusan ku adalah urusan mu
Urusan kita bersama
Dan sekarang kau berlalu
Adalah urusan mu
Urusan ku adalah
Memenjarakan diri dalam kenang
Nyeri dan ngilu masa laluÂ
KOPI IV : Ikhlas
Aku pernah diajarkan cara merangkaki hidup
Namun hidup yang berjalan memaksaku untuk berlari
Ku putuskan
Mencari inspirasi dari polusi
Dengan selinting tembakau terhimpit jari jemari
Tarik nafas dalam dalam
Hilanglanglah segala problematika
Yang menyesakkan dada
Ada waktu kita harus sendiri
Hanya berbicara dengan secangkir kopi
Kopi selalu jujur dengan kepahitannya
Begitu juga dengan gula
Selalu ikhlas dalam larutan
Tak ada waktu bagi gula meminta bahkan mengiba
Disebutkan namanya sebagai secangkir gula kopi
Tetap saja sebagai secangkir kopi
Merenung sejenak tentang hidup
Memikirkan apa yang telah diperbuat
Bukan meminta untuk dikenang
 dipublikasikan dilayar kaca
Koran-koran, media lainnya.
Bukankah sebagai makhluk hidup
Harus berguna bagi kehidupan
Manusia seperti ku belum pantas
Disebut kopi
Belum bisa seikhlas gula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H