Jelang penguman daftar nama-nama calon presiden dan wakil presiden yang sebentar lagi memasuki tenggat waktu-Agustus 2018, mulai banyak terdengar perbedaan dan saling adu pendapat antar pendukung partai baik itu dari partai pendukung pemerintah yang sah saat ini, partai oposisi bahkan partai-partai yang belum menentukan pilihan akan bergabung dengan koalisi partai pemerintah, oposisi atau malah membentuk poros baru dengan calon mereka sendiri.
Sebenarnya ketegangan antar pendukung partai sudah mulai membara pasca pilkada serentak juni lalu, lalu setelah keluar hasil pilkada elite-elite partai mulai lagi menyusun strategi baru berdasarkan peta kemenangan di wilayah2 yang di anggap bisa menjadi ladang suara bagi calong presiden  usungan partainya.
Kerap kali politik di Indonesia menggunakan sentimen agama dalam menarik dukungan. Indonesia yang 87% penduduknya beragama Islam adalah ladang suara bagi partai berasas Islam, tidak bisa di pungkiri sentimen agama akan selalu dipakai bahkan  ini merupakan senjata utama bagi partai partai yang berafiliasi Islam.Â
Sangat mudah memainkan emosi pemilih berdasarkan latarbelakang agama yang sama, tidak hanya Islam, tak terkecuali di kalangan penganut agama lain pun sebenarnya  kadang di dengungkan kampanye partai dalam komunitas nya, mungkin tidak se blak-blak an penganut  agama Islam yang sering  kali terang-terangan mengkampanyekan partai atw tokoh partai tertentu di rumah ibadah lewat ulama2 nya, bahkan banyak ulama2nya memang khusus mengemban tugas partai dengan status pendakwah agama (entah mana profesinya yang utama pendakwah atau petugas partai).
Yang mengecewakan adalah banyak elite partai atau politikus di Indonesia ini tidak benar-benar religius atau tekun menjalankan dan mengaplikasikan ajaran agamanya dalam tugas dan kedudukan nya malah justru berlindung di balik status ke-agamaannya untuk melakukan kejahatan-kejahatan politik dan berpenyakit korup (menggerogoti dana negara yang bukan hak nya). Sebagian lagi hanya  demi ambisi menyelamatkan kelancaran berbisnis pribadi maupun korporasinya, kelangsungan dan memuluskan visi komunitas/organisasinya.Â
Intinya belum terlihat kesatuan hati/visi misi para elite partai, politikus, atau pejabat pemerintahan untuk target kemajuan bangsa Indonesia (sifat chauvinis agamis dan kesukuan malah semakin menggila di jaman ini di banding jaman penjajahan dahulu ketika seluruh golongan, organ, masyarakat punya tujuan yang sama yaitu "merdeka" hingga mencetuskan sumpah bersama yakni "Sumpah Pemuda" oleh pemuda-pemudanya yang sangat bergairah) saat ini semua tampak bergairah, tapi dalam hal yang aneh (kegilaan beragama, kegilaan ketokohan, kegilaan status, kegilaan konsumerisme terhadap trend baik sosial media maupun teknologi) yang kesemuanya itu tidak medukung kemajuan bangsa Indonesia.
Elite Politik / Politikus dan Pejabat Yang Haus Kedudukan Adalah Penista Agama Sebenarnya
Di mulai saat pilkada DKI yang lalu politikus penyetir isu Agama melahirkan pendukung-pendukung militan buta rasionalitas, mereka  memanfaatkan emosi masyarakat beragama lewat janji janji manis dan pencitraan basi (bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang adalah berpendidikan rendah, miskin dan hanya punya pengharapan lewat iman agamanya menelan mentah-mentah tanpa mau pusing berpikir mencari kebenaran atau berpikir rasional)
sedih nya banyak dari mereka adalah usia-usia produktif yang harus nya berperan penting dalam kemajuan bangsa, anak-anak usia sekolah 12-21 tahun, pekerja berkemampuan berusia 21-40 tahun, bahkan ibu-ibu berusia 25-50 yang masih aktif di pekerjaan dan penyokong keluarga yang paling aktip dalam komunitas agama dan lingkungan.
Sejak perang politik berisukan agama ini mewabah militan-militan buta rasionalitas ini menjadi korban menyedihkan (yang memuncak saat demo berjilid-jilid oleh partai/organisasi Islam dengan tuntutan untuk memenjarakan seseorang yang disebut menista agama pejabat publik-Ahok  gubernur DKI pada saat itu) memunculkan label Oposan sebagai Kampret dan pendukung pemerintah sah Kecebong - label hewani, sungguh masyarakat Indonesia tak hanya Agamis tapi juga berperikehewanan tinggi. Kedua kubu ini tak berhenti perang tulisan, perang hujatan di semua wadah sosial media bahkan perang di dunia riil dengan munculnya berbagai  kejadian persekusi individu.
Setiap kali ada berita, "ada pejabat beragama Islam ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi " pendukung pemerintah akan menertawakan oposan dengan label "kampret"  kok diam saja tidak berdemo karena se-agama?, "ada penyumbang demo berjilid-jilid  beragama Islam menggelapkan dana haji ribuan umat bahkan sampai ada yang meninggal dunia karena shock tidak terima dana tabungan haji nya tak berbuah perjalanan haji" pendukung pemerintah kembali menertawakan oposan dan militannya Â
"kenapa diam saja tidak demo karena se-agama?, ada berita pejabat dan politikus beragama islam yang ketahuan bercabul di tertawakan, kenapa tidak di demo? Karena se-agama?. Dosa dosa politikus dan pejabat busuk ini seolah-olah di benarkan karena se-agama. Sungguh kejam label dosa ini yang seolah di dukung / dibiarkan agama Islam hanya karena  kepentingan jabatan dan kedudukan.
Politikus yang melakukan/ membiarkan ini mewabah di kalangan masyarakat sungguh tak tahu malu dan sudah mati urat takut akan Tuhan nya.
Sebaliknya setiap kali ada berita kecelakaan, kenaikan harga bahan pangan dan bahan bakar, sampai absen nya pesepakbola di pialadunia 2018 adalah salah pemerintah dukungan "kecebong".
Kapan kita bisa teguh membantu meng-edukasi masyarakat agar berpikir rasional dan mau belajar lalu, berfikir bebas tanpa ada tekanan emosi  berlatarbelakangkan agama?.
Loh, ini tulisan kenapa sepertinya berat sebelah ke pendukung pemerintah yah? (Mulai berprasangka). Fakta nya berita yang sering jadi tajuk utama di kanal berita resmi dan timeline sosmed penulis ada lah seperti itu apakah ini menandakan penulis ada lah "kecebong"? why? why? Should have a label?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H