Mohon tunggu...
Maria Manalu
Maria Manalu Mohon Tunggu... karyawan -

i'm just an ordinary girl who lives in an ordinary world...\r\ngo fearless and stay good...!!\r\n^...kawaii ni naru...^

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yang Kini Sentimen Agama dalam Perpolitikan Indonesia

13 Juli 2018   18:58 Diperbarui: 13 Juli 2018   19:08 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang penguman daftar nama-nama calon presiden dan wakil presiden yang sebentar lagi memasuki tenggat waktu-Agustus 2018, mulai banyak terdengar perbedaan dan saling adu pendapat antar pendukung partai baik itu dari partai pendukung pemerintah yang sah saat ini, partai oposisi bahkan partai-partai yang belum menentukan pilihan akan bergabung dengan koalisi partai pemerintah, oposisi atau malah membentuk poros baru dengan calon mereka sendiri.

Sebenarnya ketegangan antar pendukung partai sudah mulai membara pasca pilkada serentak juni lalu, lalu setelah keluar hasil pilkada elite-elite partai mulai lagi menyusun strategi baru berdasarkan peta kemenangan di wilayah2 yang di anggap bisa menjadi ladang suara bagi calong presiden  usungan partainya.

Kerap kali politik di Indonesia menggunakan sentimen agama dalam menarik dukungan. Indonesia yang 87% penduduknya beragama Islam adalah ladang suara bagi partai berasas Islam, tidak bisa di pungkiri sentimen agama akan selalu dipakai bahkan  ini merupakan senjata utama bagi partai partai yang berafiliasi Islam. 

Sangat mudah memainkan emosi pemilih berdasarkan latarbelakang agama yang sama, tidak hanya Islam, tak terkecuali di kalangan penganut agama lain pun sebenarnya  kadang di dengungkan kampanye partai dalam komunitas nya, mungkin tidak se blak-blak an penganut  agama Islam yang sering  kali terang-terangan mengkampanyekan partai atw tokoh partai tertentu di rumah ibadah lewat ulama2 nya, bahkan banyak ulama2nya memang khusus mengemban tugas partai dengan status pendakwah agama (entah mana profesinya yang utama pendakwah atau petugas partai).

Yang mengecewakan adalah banyak elite partai atau politikus di Indonesia ini tidak benar-benar religius atau tekun menjalankan dan mengaplikasikan ajaran agamanya dalam tugas dan kedudukan nya malah justru berlindung di balik status ke-agamaannya untuk melakukan kejahatan-kejahatan politik dan berpenyakit korup (menggerogoti dana negara yang bukan hak nya). Sebagian lagi hanya  demi ambisi menyelamatkan kelancaran berbisnis pribadi maupun korporasinya, kelangsungan dan memuluskan visi komunitas/organisasinya. 

Intinya belum terlihat kesatuan hati/visi misi para elite partai, politikus, atau pejabat pemerintahan untuk target kemajuan bangsa Indonesia (sifat chauvinis agamis dan kesukuan malah semakin menggila di jaman ini di banding jaman penjajahan dahulu ketika seluruh golongan, organ, masyarakat punya tujuan yang sama yaitu "merdeka" hingga mencetuskan sumpah bersama yakni "Sumpah Pemuda" oleh pemuda-pemudanya yang sangat bergairah) saat ini semua tampak bergairah, tapi dalam hal yang aneh (kegilaan beragama, kegilaan ketokohan, kegilaan status, kegilaan konsumerisme terhadap trend baik sosial media maupun teknologi) yang kesemuanya itu tidak medukung kemajuan bangsa Indonesia.

Elite Politik / Politikus dan Pejabat Yang Haus Kedudukan Adalah Penista Agama Sebenarnya

Di mulai saat pilkada DKI yang lalu politikus penyetir isu Agama melahirkan pendukung-pendukung militan buta rasionalitas, mereka  memanfaatkan emosi masyarakat beragama lewat janji janji manis dan pencitraan basi (bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang adalah berpendidikan rendah, miskin dan hanya punya pengharapan lewat iman agamanya menelan mentah-mentah tanpa mau pusing berpikir mencari kebenaran atau berpikir rasional)

sedih nya banyak dari mereka adalah usia-usia produktif yang harus nya berperan penting dalam kemajuan bangsa, anak-anak usia sekolah 12-21 tahun, pekerja berkemampuan berusia 21-40 tahun, bahkan ibu-ibu berusia 25-50 yang masih aktif di pekerjaan dan penyokong keluarga yang paling aktip dalam komunitas agama dan lingkungan.

Sejak perang politik berisukan agama ini mewabah militan-militan buta rasionalitas ini menjadi korban menyedihkan (yang memuncak saat demo berjilid-jilid oleh partai/organisasi Islam dengan tuntutan untuk memenjarakan seseorang yang disebut menista agama pejabat publik-Ahok  gubernur DKI pada saat itu) memunculkan label Oposan sebagai Kampret dan pendukung pemerintah sah Kecebong - label hewani, sungguh masyarakat Indonesia tak hanya Agamis tapi juga berperikehewanan tinggi. Kedua kubu ini tak berhenti perang tulisan, perang hujatan di semua wadah sosial media bahkan perang di dunia riil dengan munculnya berbagai  kejadian persekusi individu.

Setiap kali ada berita, "ada pejabat beragama Islam ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi " pendukung pemerintah akan menertawakan oposan dengan label "kampret"  kok diam saja tidak berdemo karena se-agama?, "ada penyumbang demo berjilid-jilid  beragama Islam menggelapkan dana haji ribuan umat bahkan sampai ada yang meninggal dunia karena shock tidak terima dana tabungan haji nya tak berbuah perjalanan haji" pendukung pemerintah kembali menertawakan oposan dan militannya  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun