Mohon tunggu...
Bortiandy Tobing
Bortiandy Tobing Mohon Tunggu... Operational & Service Excellence Consultant -

Trainer, Service and Operational Excellence Consultant, Corporate Motivator

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membenahi Rekayasa Lalu Lintas pada Manajemen Mudik (Catatan Mudik 2016)

27 Juli 2016   11:11 Diperbarui: 27 Juli 2016   11:21 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Macet yang sangat panjang di pintu tol Brebes Timur yang mengular hingga tol Kanci pada mudik lebaran Juli 2016 serta adanya korban jiwa sebanyak 12 orang telah menjadi topik utama dan menjadi bahan kritik dari berbagai pihak kepada pemerintah dalam melaksanakan manajemen mudik. Bahkan mantan Presiden SBY dalam wawancara di CNN Indonesia juga ikut mengkritisi pemerintahan Jokowi dalam penanganan arus mudik 2016.

TRADISI MUDIK DAN PERILAKU PEMUDIK

Kegiatan mudik pada perayaan hari keagamaan, khususnya Lebaran di Indonesia sudah menjadi tradisi sejak lama. Bahkan tradisi mudik secara tidak langsung difasilitasi oleh pemerintah sejak tahun 2002, melalui SKB 2 Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama. Dari tahun ke tahun arus mudik tidak pernah berkurang bahkan cenderung meningkat terus. Pertumbuhan dan peningkatan jumlah pemudik tidak disertai dengan peningkatan jumlah infrastruktur, khususnya jalan raya.

Program dan fasilitas mudik gratis yang dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak swasta akhir-akhir ini ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor. Kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan, titik istirahat dan mobilitas selama di daerah tujuan merupakan faktor utama sebahagian besar pemudik untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. 

Hal ini tentu berbeda dengan perilaku pemudik di luar pulau jawa yang dengan keterbatasan waktu dan jarak, harus menggunakan moda transportasi udara dan laut. Ketiga faktor ini (khususnya kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan dan lokasi peristirahatan), merupakan kendala utama dalam meningkatkan program mudik bareng dan mudik gratis.

MANAJEMEN MUDIK

Sebelum membahas lebih jauh, definisi manajemen mudik harus dipahami dengan baik dan jelas. Manajemen mudik adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan perbaikan (Plan, Do, Check, Action/PDCA) untuk memberikan kelancaran dan kenyamanan dalam arus migrasi  masyarakat dalam perayaan hari raya keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, maka secara umum kinerja dari manajemen mudik dapat diukur melalui 7 (tujuh) indikator, yaitu:

  1. Ketersediaan Logistik (ketersediaan sembako, cash money, BBM, dll)
  2. Kesiapan infrastruktur (Jalan, telekomunikasi, bandara, pelabuhan, stasiun KA, terminal, dll)
  3. Ketersediaan moda transportasi umum (Kereta Api, Pesawat Terbang, Kapal Laut, Bis dan taksi)
  4. Kesiapan aparat terkait (Koordinasi lintas Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah)
  5. Krisis Center (Layanan Keluhan masyarakat, dll)
  6. Keamanan dan Keselamatan (termasuk kecelakaan)
  7. Stabilitas harga (termasuk harga tiket transportasi)

Secara jujur harus diakui bahwa Manajemen Mudik saat ini telah berjalan semakin membaik, seiring dengan perbaikan yang terus dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan logistik, kesiapan infrastruktur (jalan tol, jalur pantura, bandara, pelabuhan, stasiun kereta api, dan terminal telah dipersiapkan melayani arus mudik), Regulasi untuk angkutan barang, dan berbagai hal lainnya telah dipersiapkan oleh semua pihak terkait. 

Kemacetan, sebagai mana yang terjadi di pintu tol Brebes Timur pada arus mudik Juli 2016 memang tidak dapat diabaikan, akan tetapi sesungguhnya tidak dapat dijadikan parameter buruknya kinerja Manajemen Mudik tahun 2016, sebab pengaturan lalu lintas, khususnya kemacetan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Perhubungan mengenai Rekayasa Lalu Lintas, sejak tahun 1993 (PP Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan), yang selanjutnya disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011. Kemudian peraturan ini dilengkapi lagi dengan pedoman pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Perhubungan dan peraturan terbaru adalah Nomor PM 96 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas.

MEMBENAHI REKAYASA LALU LINTAS

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. 

Dalam kenyataannya, setelah 23 tahun sejak terbitnya PP Nomor 43 Tahun 1993, Kemacetan selalu menjadi permasalahan yang rutin ditemui khususnya pada saat mudik, dan berbagai pihak menjadikan hal ini sebagai bahan untuk menyalahkan pemerintah tanpa berupaya memberikan solusi.

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas masih sebatas MENGURAI KEMACETAN bukan MENCEGAH KEMACETAN. Hal ini terlihat dari pelaksanaan konsep “buka tutup jalan” selama ini baik saat liburan di puncak Bogor, Jawa Barat maupun saat arus mudik di daerah Nagreg, Jawa Barat.

Akar penyebab KEMACETAN ini adalah penyempitan jalur kendaraan (bottle neck), terutama pertemuan dari beberapa jalur dan gerbang tol. Penyelesaian masalah bottle neck hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan kecepatan layanan atau aliran pada jalur yang menyempit. Untuk itu, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas harus memiliki teknik dan cara yang mampu mengantisipasi kemacetan secara dini (early warning) agar dapat diambil tindakan awal untuk mencegah terjadinya kemacetan akibat keterlambatan penanganan.

Pada Lampiran I Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 96 Tahun 2015, Bab II.D, tingkat pelayanan pada ruas jalan telah diklasifikasikan ke dalam 6 kategori (Tingkat Layanan A hingga Tingkat Layanan F) dengan penjelasan yang cukup jelas, dimana kategori macet adalah Tingkat Layanan F. Mengacu pada kategori tingkat layanan tersebut, maka langkah pembenahan yang dapat dilakukan untuk terhadap Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah:

  • Penentuan Titik Pantau Kepadatan Kendaraan

Pemerintah harus menetapkan titik pemantauan kepadatan kendaraan (volume kendaraan per satuan waktu) untuk diinformasikan kepada petugas yang berada di ruas jalur penyempitan dapat melakukan tindakan rekayasa/antisipasi yang tepat, sesuai dengan standar Tingkat Layanan. Dari titik pengamatan inilah nantinya akan diperoleh informasi potensi Tingkat Layanan A hingga potensi Tingkat Layanan F.

  • Penetapan Batas Kecepatan Maksimum dan Batas Kecepatan Minimum

Pemerintah harus menetapkan batas kecepatan maksimum untuk setiap kendaraan yang melaju di ruas jalur kedatangan serta batas kecepatan minimum di ruas jalur penyempitan. Dalam hal ini, batas kecepatan minium di ruas jalur penyempitan harus lebih tinggi dari batas kecepatan maksimum di ruas jalan kedatangan.

  • Penetapan Tingkat Kepadatan Ruas Jalur Penyempitan

Pemerintah dalam hal ini, Pemerintah Daerah harus menetapkan tingkatan kepadatan pada ruas jalur penyempitan yang merupakan tindak lanjut dari hasil pengukuran pada titik pantau. Untuk informasi Potensi Tingkat Layanan F, maka Tingkat Kepadatan Ruas Jalur Penyempitan adalah nol atau ruas jalur penyempitan dalam kondisi steril. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga harus mempersipkan skenario jalur alternatif untuk seluruh kendaraan lokal yang berada di luar ruas jalur utama.

  • Pembatasan usia kendaraan

Untuk mendukung penerapan Batas Kecepatan Minimum, maka pemerintah harus melakukan kajian terhadap batas usia kendaraan yang layak dan mampu melaju di atas batas kecepatan minimum tanpa masalah (mogok).

Langkah yang sama juga harus dilakukan oleh Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) dan Operator Jalan Tol untuk mengatasi kemacetan yang terjadi pada jalan tol, khususnya dalam memutuskan pelaksanaan contra-flow serta pemasangan separator di jalur cepat, bagi kendaraan yang jalan terus (tidak singgah ke rest area) dan berbagai strategi lainnya.

Tidak dapat diabaikan, penyebab utama dari situasi macet yang parah di musim mudik selama ini adalah perilaku pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, agar memiliki kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan serta waktu dan lokasi perhentian. Perilaku pemudik inilah yang menimbulkan ketidaknormalan jumlah kendaraan (bahkan bias mencapai jutaan kendaraan dalam satu waktu tertentu. Ketidaknormalan ini bersifat tidak pasti (uncertainty factor) yang hanya bisa diprediksi berdasarkan perhitungan/pengukuran aktual. Perilaku pemudik ini juga yang menjadikan pengembangan transportasi umum berbasis multi moda serta program mudik gratis, tidak akan berdampak signifikan. Dibutuhkan waktu yang lama dan proses rekayasa sosial untuk dapat merubah perilaku pemudik ini.

Keempat langkah di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat di pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Untuk menjamin efektifitas dari keempat langkah ini, pemerintah harus melakukan simulasi secara berkala dengan menggunakan berbagai skenario yang relevan. Dengan penerapan keempat langkah ini, maka permasalahan kemacetan panjang pada saat mudik, akan dapat diminimalisir.

Kemacetan, yang terjadi di pintu tol Brebes Timur pada arus mudik Juli 2016 memang tidak dapat diabaikan, akan tetapi sesungguhnya tidak dapat dijadikan parameter buruknya kinerja Manajemen Mudik tahun 2016. Pembenahan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas mutlak dibutuhkan agar kemacetan panjang yang selama ini terjadi dapat dikendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun