Hukum Kesetimbangan, Pertumbuhan Semu dan Gejolak Harga Minyak Mentah.
(Equilibrium Law, Fake Growth and Crude Oil Shocking)
2015: Year of Business Evolution - Rapidly Changed or Eliminated
Pada postingan ini saya akan menjelaskan mengenai 3 (tiga) hal yang luput dari perhatian banyak pihak, yang merupakan penyebab terjadinya gejolak ekonomi saat ini, sekaligus melengkapi postingan saya sebelumnya: "Menanti Rupiah Menyentuh 15.000" serta "Rupiah menyentuh 14.000, So What?".
- Apakah Hukum Kesetimbangan atau Equilibrium Law?
Pada postingan saya di facebook pada awal Agustus 2015 yang lalu, saya telah menjelaskan hukum kesetimbangan kimia dan sekaligus kaitannya dengan kesetimbangan ekonomi. Mengacu pada hukum kekekalan energi, reaksi bolak-balik, satu hal yang sangat mendasar adalah: "Partikel A akan menerima energi, apabila partikel B melepas energi". Dalam sudut pandang ekonomi, "suatu industri atau negara akan bangkit dam bertumbuh jika pasar yang ada belum diisi oleh industri/negara negara lain". Jika pasar sudah mulai terpenuhi, (stagnan/stable) maka pertumbuhan akan berjalan lambat. Demikian juga yang terjadi dalam gejolak ekonomi global saat ini. Pertumbuhan industri yang tinggi terutama di Cina, (sejak tahun 2009 rata-rata pertumbuhan 7%) telah memicu pertumbuhan industri dan entrepreneur besar-besaran, baik di negara Cina, maupun negara lain tujuan investasi. Sementara rata-rata laju pertumbuhan penduduk dunia adalah 2%. Pertumbuhan industri yang jauh melebihi pertumbuhan penduduk dunia, menimbulkan pasar yang jenuh, sehingga menyebabkan over stock berbagai industri di dunia. Hal ini juga yang mendasari Cina melakukan devaluasi mata uang Yuan, agar memiliki daya saing ekspor (nilai jual yang lebih kompetitif), dan membangkitkan kembali aktivitas industri di negaranya. Namun, sesuai dgn hukum kesetimbangan, maka hal ini akan berdampak pada potensi bangkrutnya industri dan ekonomi negara lain, yang harus bersaing dengan produk Cina. Berbagai ilmu dan strategi dari para ekonom, tidak akan mampu melawan hukum kesetimbangan. Saat ini ekonomi dunia sedang menuju titik kesetimbangan dan memaksa semua pihak mengikutinya.
- Apakah Pertumbuhan Semu atau Fake Growth?
Pertumbuhan semu atau Fake Growth telah saya jelaskan pada tulisan "Fake Growth (2015:Year of Business Evolution - Rapidly Changed or Eliminated)” di www.scribd.com. Tanpa gejolak ekonomi dunia saat ini dan siapapun Presiden yang terpilih, sesungguhnya Indonesia harus mengalami gejolak ekonomi, sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang semu selama 5 (lima) tahun terakhir. Pertumbuhan semu sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi pada sektor konsumsi bukan sektor produktif. Beberapa indikator dan faktor penyebab pertumbuhan semu nasional adalah:
a. Pertumbuhan sektor logistik, sebagai dampak dari carut marut kondisi infrastruktur logistik nasional. Sebagai contoh: Meningkatnya penjualan kendaraan bermotor di Jakarta adalah faktor dari semakin macatnya jalanan ibu kota, sehingga, yang seharusnya keluarga dapat sekalian berangkat kantor dan mengantar anak sekolah, akhirnya membeli kendaraan bermotor tambahan, agar seluruh anggota keluarga tidak terlambat ke tempat kerja dan ke sekolah. Demikian juga bagi peningkatan penjualan truk adalah dampak dari semakin macetnya jalanan di Jabodetabek, sehingga memperpanjang delivery time. Dan untuk mengatasi kontak muat barang dari pelabuhan, maka pengusaha transportasi membeli unit truk tambahan, untuk demand yang tetap.
b. Kenaikan UMR. Kenaikan UMR di atas 10% telah memicu kenaikan ongkos produksi, yang akhirnya seluruh pengusaha berupaya mengatasi kenaikan biaya produksi dengan meningkatkan kapasitas produksi agar cost/unit produk bisa dikendalikan. Peningkatan kapasitas produksi, membutuhkan belanja modal (capital expenditures/capex) telah memicu pertumbuhan ekonomi. Namun sesungguhnya demand ataupun pasar masih tetap.
c. Panic Buying. Pembangunan property yang cukup pesat, membutuhkan belanja material yang cukup besar, secara tidak langsung telah memberikan dampak pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, demand akan produk property, tidak meningkat. Para pembeli property, bukanlah mereka yang membutuhkan unit property tersebut, melainkan orang-orang yang bertujuan melakukan investasi dan termotivasi membeli (panic buying) akibat pengaruh iklan “kenaikan harga” oleh pihak pengembang.
Ketiga faktor di atas (dan masih banyak lagi), seakan-akan menggambarkan pertumbuhan ekonomi selama 5 (lima) tahun terakhir, namun dari ketiga faktor tersebut, di atas terdapat kesamaan, bahwa pertumbuhan tersebut tidak didasarkan pada pertumbuhan demand.
- Crude Oil Shocking
Fenomena yang unik dari gejolak ekonomi dunia saat ini adalah anomali dari menguatnya mata uang USD, yangberbanding terbalik dengan harga minyak mentah dunia yang merosot tajam, hingga berada di bawah USD 40/barel. Jika mengacu pada hukum supply dan demand, maka penyebab dari turunnya harga adalah berkurangnya demand/konsumsi atau berlebihnya supply/produksi. Dengan melihat kondisi saat ini, apakah penurunan harga disebabkan oleh konsumsi minyak mentah di dunia menurun tajam? Atau apakah disebabkan oleh produksi minyak mentah dunia meningkat tajam? Berdasarkan data yang ada, tidak ditemukan produksi minyak mentah dunia yang meningkat tajam, demikian juga, tidak terjadi penurunan konsumsi minyak mentah yang menurun secara signifikan. Fenomena ini disebabkan oleh sikap spekulasi dan sikap panic buying dari perusahaan broker minyak mentah dunia yang telah melakukan kontrak pembelian minyak mentah untuk jangka waktu yang panjang disaat harga turun pada tahun lalu untuk mengantisipasi kenaikan harga pada tahun ini. Sehingga, seluruh hasil produksi minyak mentah dari berbagai kilang minyak saat ini telah ada pemiliknya sebagai konsekuensi dari pemenuhan kontrak yang telah ada. Sementara itu, untuk kontrak masih sepi, sebab para pelaku masih menunggu kepastian harga minyak mentah yang stabil.
Fenomena gejolak minyak mentah ini juga mempengaruhi gejolak harga dari berbagai komoditas saat ini seperti bahan tambang lainnya, sawit, dll. Sifat “tamak” pelaku usaha/broker yang ingin menguasai berbagai produk komoditas dunia telah memicu perilaku panic buying untuk melakukan kontrak pembelian dalam jangka waktu panjang agar dapat memperoleh yield keuntungan yang sangat besar.
Ketiga (3) hal fenomena yang luput dari perhatian di atas, merupakan faktor utama terjadinya gejolak ekonomi global saat ini. Sikap “tamak” yang merupakan sikap alami manusia telah memicu munculnya perilaku panic buying yang pada satu saat dapat memberikan dampak keuntungan dari kenaikan harga, tetapi pada saat selanjutnya, alam dan sistem akan memaksa seluruh pihak untuk patuh dan taat pada hukum kesetimbangan (equilibrium law). Sikap untuk membenci dan menghujat kebijakan pemerintah saat ini, sama sekali tidak membantu. Sebab siapapun presiden terpilih pasca Pilpres 2014 yang lalu, akan menghadapi gejolak ekonomi saat ini sebagai rangkaian dari hukum kesetimbangan yang harus berjalan.
Salah satu jalan yang dapat dilakukan pemerintah, adalah mengambil kebijakan makro dengan menghidupkan kembali rantai ekonomi internal (dalam negeri), agar dana APBN dapat terserap secara maksimal di dalam negeri, yang akan memicu efek domino, secara perlahan seperti dalam pembangunan infastruktur dan pembangunan sektor pertanian. Kondisi terburuk seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perusahaan yang collaps atau bangkrut, adalah realita yang harus dihadapi oleh pelaku usaha saat ini, sebagai konsekuensi dari fake growth (kenaikan UMR yang dibarengi dengan Kenaikan jumlah produksi) yang diciptakan secara bersama-sama, baik oleh pihak pelaku bisnis maupun tenaga kerja. Bahkan resiko untuk memusnahkan atau mendaur ulang produk adalah salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha agar rantai ekonomi dapat kembali normal dari kondisi over stock saat ini. Sementara tugas pemerintah adalah untuk mengendalikan agar kondisi gejolak ekonomi saat ini tidak semakin buruk bagi ekonomi nasional, serta memastikan agar kondisi perekonomian Indonesia tetap dalam keadaan terbaik, pasca krisis ekonomi global saat ini. Sebab keberhasilan suatu perusahaan dan suatu negara pada tahun mendatang, sangat ditentukan dari seberapa mampu perusahaan dan negara tersebut pulih (recover) dan berlari kencang.
Blessing in disguise, gejolak ekonomi dunia saat ini, telah memberikan perubahan yang singifikan dalam industry dan ekonomi negara-negara ASEAN, sehingga Indonesia masih memiliki peluang kompetisi yang cukup signifikan pada saat pemberlakukan Kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015 ini.
Mari selalu menyebarkan semangat positif, menuju esok yang lebih baik dan menyambut tahun 2016 sebagai tahun pemulihan dan tahun pembaharuan ekonomi nasional (2016: Year of Recovery and Rejuvenation Business).
Salam Perubahan dan #Salam_Pemenang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H