Boonaz E mengangguk setuju, "Ya, dengan memahami celaan tersebut, kita bisa mengetahui motif di balik kata-kata tersebut. Ada hikmah yang bisa kita petik darinya."
Boonaz L menambahkan dengan serius, "Betul sekali. Ada alasan yang mendasari seseorang mencela. Mungkin mereka tidak suka dengan apa yang kita lakukan atau mereka sendiri terluka."
Mendengar ini, Boonaz A dengan cepat menyela, "Atau mungkin saja mereka lapar, dan celaan mereka hanyalah ekspresi kelaparan mereka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lain!"
Semua tertawa lagi, kali ini lebih keras. Mereka saling berhadapan, berbagi tawa yang menyejukkan. Dalam keceriaan mereka, mereka memahami bahwa humor adalah alat yang ampuh untuk meredakan ketegangan dan menghadapi celaan dengan bijak.
Dalam sinar matahari senja yang melambai, empat sahabat itu menghabiskan waktu berharga bersama, merenungkan makna puisi dan menikmati momen kebersamaan. Mereka belajar untuk bertahan tanpa mencela, menggali hikmah dari celaan, dan menyikapinya dengan sikap penuh pengertian.
Akhirnya, mereka berdiri dengan semangat baru dan berkata dengan tawa, "Mari kita hadapi dunia dengan humor! Kita tidak perlu merespons celaan dengan marah, tapi kita bisa melawannya dengan senyuman."
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H