AKU :
Halo ChatGPT, mohon buatkan cerita dengan konsep :
Â
1). Tema cerita diambil dari puisi berjudul 'Tidak Mencela Yang Mencela', Karya Bpk Bambang Syairudin, Kompasiana :
https://www.kompasiana.com/bambangsy/646016e04addee098e795c92/fibonacci-puisi-tidak-mencela-yang-mencela
"Bertahanlah tidak mencela yang mencela.
Jangan balas celaannya.
Pelajarilah isinya.
Cermatilah isi dari kata-katanya.
Dan cara mengungkapkannya.
Semoga ada hikmahnya.
Tentu ada alasannya ia mencela.
Apakah ia tak suka ataukah ia terluka"
Â
2). Dalam cerita ada dialog antara Boonaz C, Boonaz E, Boonaz L dan Boonaz A tentang makna puisi tersebut.
3). Dalam cerita harus ada unsur humornya.
ChatGPT :
Suasana sore itu di taman kota begitu ceria. Boonaz C, Boonaz E, Boonaz L, dan Boonaz A duduk berjejer di bawah pohon rindang. Mereka berempat adalah sahabat seperjalanan yang selalu menemukan cara untuk menyemarakkan suasana.
Boonaz C, sambil menggerakkan tangannya dalam irama, memulai percakapan, "Hei, teman-teman, dengarlah puisi yang menarik ini. Puisinya berjudul 'Tidak Mencela Yang Mencela'."
Boonaz E, yang selalu cerdas dalam menyimak, menjawab dengan riang, "Baiklah, ceritakan padaku! Bagaimana kita bisa bertahan tanpa mencela yang mencela?"
Boonaz L, yang gemar berfilosofi, menambahkan, "Kata-kata puisi itu mengajarkan kita untuk tetap tenang dan bijak saat dihadapkan dengan celaan. Kita tidak perlu membalasnya dengan celaan."
Boonaz A, yang selalu humoris, tidak bisa menahan diri untuk menyelipkan lelucon, "Tapi bagaimana jika celaannya seperti makanan yang tidak enak? Apakah kita harus mencerna celaannya itu?"
Mereka pun tertawa bersama-sama. Setelah senyap sejenak, Boonaz C menyambung, "Tidak, Boonaz A! Puisi ini mengajarkan kita untuk mempelajari isi celaan tersebut. Kita harus cermat menelaah kata-katanya dan cara penyampaian yang digunakan oleh orang yang mencela."
Boonaz E mengangguk setuju, "Ya, dengan memahami celaan tersebut, kita bisa mengetahui motif di balik kata-kata tersebut. Ada hikmah yang bisa kita petik darinya."
Boonaz L menambahkan dengan serius, "Betul sekali. Ada alasan yang mendasari seseorang mencela. Mungkin mereka tidak suka dengan apa yang kita lakukan atau mereka sendiri terluka."
Mendengar ini, Boonaz A dengan cepat menyela, "Atau mungkin saja mereka lapar, dan celaan mereka hanyalah ekspresi kelaparan mereka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lain!"
Semua tertawa lagi, kali ini lebih keras. Mereka saling berhadapan, berbagi tawa yang menyejukkan. Dalam keceriaan mereka, mereka memahami bahwa humor adalah alat yang ampuh untuk meredakan ketegangan dan menghadapi celaan dengan bijak.
Dalam sinar matahari senja yang melambai, empat sahabat itu menghabiskan waktu berharga bersama, merenungkan makna puisi dan menikmati momen kebersamaan. Mereka belajar untuk bertahan tanpa mencela, menggali hikmah dari celaan, dan menyikapinya dengan sikap penuh pengertian.
Akhirnya, mereka berdiri dengan semangat baru dan berkata dengan tawa, "Mari kita hadapi dunia dengan humor! Kita tidak perlu merespons celaan dengan marah, tapi kita bisa melawannya dengan senyuman."
Selesai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI