Mohon tunggu...
Bonardo Paruntungan
Bonardo Paruntungan Mohon Tunggu... -

Hanya saya saja!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Moral Hazard: Uang Negara disimpang jalan!

16 Juli 2015   21:40 Diperbarui: 16 Juli 2015   21:40 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salam untuk semua...

Moral Hazard atau saya terjemahkan sesuai selera saya sebagai ide dan niat jahat dalam diri seseorang yang diduga mudah tumbuh subur di area abu-abu atau remang-remang. Warung remang-remang adalah satu contoh lingkungan dimana moral dan hazardous berkembang pesat. Wajar apabila tempat (area) yang demikian itu ditertibkan supaya lingkungan menjadi lebih baik, lebih indah dan lebih punya masa depan.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pernah dan pasti mengalami perjumpaan dengan area abu-abu, dengan dampak yang berbeda-beda. Tulisan saya dalam konteks isu pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan yang bersinggungan dengan segala jenis hak atau kepentingan atau kepemilikan atau penguasaan Negara. Kita akan menemui berbagai definisi tentang sesuatu hal yang mendeskripsikan tentang Uang Negara.

Apa itu Uang Negara ?

Sepengamatan saya, saat ini masih ada perdebatan sengit tentang seluruh atau sebagian dari penerimaan, pendapatan atau dana yang dikuasai atau diterima atau dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Lembaga, Badan atau Institusi atau Otoritas Negara. Definisi Uang Negara atau Keuangan Negara tersebar di berbagai Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) seperti UURI No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UURI No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan dan Tanggung-Jawab Keuangan Negara, UURI No.31/1999 jo UURI No. 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UURI No. 15/2006 tentang BPK.

UURI sebagaimana diuraikan di atas memberikan definisi yang dapat disimpulkan pada pokoknya sebagai berikut:

1. Seluruh kekayaan dalam bentuk apapun, dipisahkan atau tidak dipisahkan, maupun hak dan kewajiban

2. Penguasaan, pengurusan dan pertanggung-jawaban

3. Pejabat Negara tingkat pusat dan daerah, badan hukum dan perusahaan yang ada modal negara, dan perusahaan pihak ke-3 yang memiliki perjanjian dengan negara

4. Dilaporkan dan dipertanggung-jawabkan kepada DPR/DPRD serta diperiksa oleh BPK RI

Dari definisi atau pengertian yang diberikan oleh undang-undang tersebut, sangat mustahil terjadi kekosongan hukum dalam mengatur uang keluar dan uang masuk yang 'melibatkan' negara dalam suatu transaksi keuangan/bisnis.

Berbagai Ilustrasi, Contoh dan Kasus yang teridentifikasi sebagai Uang Negara Disimpang Jalan

Dalam beberapa kesempatan, kita mungkin pernah bertanya-tanya tentang keheranan kita apabila ada kasus tindak pidana korupsi (tipikor) di satu BUMN yang kegiatannya menerima, menggumpulkan dan mengelola uang dari masyarakat diklaim sebagai Uang Negara. Beberapa waktu lalu, ada perdebatan soal iuran BPJS sebagai Uang Negara atau Uang Pekerja/Buruh sebagai pembayar iuran.

Kasus SISMINBAKUM yang membuat pusing satu ahli hukum pidana dan hampir menyeret seorang mantan menteri. Satu lagi, kasus yang sedang menjerat seorang wakil menteri, akademisi dan penggiat anti korupsi, dan juga soal dana CSR untuk mobil listrik. Saya yakin masih banyak ilustrasi, pertanyaan, dan kasus serupa.

Terkait pengelolaan dana oleh BUMN,  ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 077/PUU-IX/2011 tanggal 25-09-2011,  yang memberi pedoman bahwa dalam penyelesaian piutang BUMN tidak lagi menggunakan UURI No. 49/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sepertinya Putusan MK tersebut telah menggiring opini sebagian kalangan bahwa 'ada sebagian' uang Piutang BUMN yang bukan milik negara.

Saya lebih berpendapat bahwa MK menilai soal mekanisme penyelesaian piutangnya namun tidak memberi arti baru tentang Keuangan Negara dikaitkan dengan BUMN karena soal itu sudah beberapa kali diuji dan ditolak oleh MK. Dengan kata lain, Keuangan Negara masih mempedomani UURI tersebut di atas.

Saat ini, masyarakat sering bingung dan mempertanyakan setiap penindakan hukum di bidang Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kebingungan dan keberatan tersebut setahu saya menggunakan dalil bahwa transaksi tersebut mengandung business to business. Negara dipandang tidak memiliki keterlibatan apapun atas transaksi tersebut sesuai dokumen fisik yang mendasari transaksi dimaksud.

Atas keresehan atau isu yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dibutuhkan alat untuk menjaga ketertiban. Hakim sebagai corong atau penafsir UU (salah satu alat) melalui berbagai putusannya (guna kepastian dan/atau keadilan dan/atau kemanfaatan hukum) belum seirama dan belum ada putusan yang dipedomani secara terus menerus sehingga belum ada yurisprudensi tetap yang menyelesaikan isu ini.

Fakta seperti dipaparkan di atas, sebaiknya menjadi cermin dan disikapi oleh masyarakat secara hati-hati dan cermat, terutama pada saat melakukan transaksi atau tindakan atau perbuatan atau apa-apa yang patut diduga akan bersinggungan dengan hak, kewajiban dan kepentingan negara. Saya mencatat ada beberapa kasus hukum yang mungkin bisa dikualifikasikan sebagai "Uang Negara disimpang jalan" antara lain: kasus bioremediasi chevron, kasus penyewaan pesawat merpati airline, isu CSR dalam program Iptek mobil listrik, NPL Bank BUMN, dan lainnya.

Semoga tulisan ini dapat dikembangkan lagi oleh siapapun karena grey area atau "berada di persimpangan jalan" menimbulkan kesan ketidakadilan dan cerita tidak sedap lainnya. Negara tidak boleh dirugikan sepeserpun demi terjaminnya kesejahteraan rakyat, namun kebijakan yang seperti apakah yang mampu menengahi dan memberi pandangan jelas tentang uang negara atau Keuangan Negara.

Tetap semangat!

Ando Sinaga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun