Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU Pertanahan: Keniscayaan yang Diramalkan Sendiri oleh UUPA

23 Agustus 2019   11:40 Diperbarui: 23 Agustus 2019   11:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Uniformity when you can have it, diversity when you must have it, but in all cases, certainty." --Lord Thomas Babington Macaulay, dalam pidatonya di hadapan House of Commons pada 1883.

Kelemahan Mendasar UUPA

Cita-cita UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, lebih dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) memang luhur. Seperti semua kebijakan modernisasi nasionalis sejak Restorasi Meiji, ia berusaha untuk mendorong seluruh bangsa memasuki alam modernitas tanpa meninggalkan "nilai-nilai luhur" yang menjadi jatidirinya.

UUPA mengakui bahwa pergaulan antarbangsa menjurus ke arah industrialisasi dan komersialisasi di segala bidang, dan menerimanya sebagai keniscayaan yang harus dihadapi Bangsa Indonesia. Meski begitu, demikian UUPA, Indonesia tidak boleh meninggalkan jatidirinya sebagai bangsa yang relijius dan komunal.

Sayangnya, tujuan utama UU ini sekaligus merupakan titik lemahnya. Jarak antara cita-cita relijius-komunal dengan kenyataan mengenai hak-hak perorangan atas tanah modern terbentang sedemikian jauhnya, bagaikan surga dan neraka.

Upaya UUPA untuk menjembatani jarak ini akhirnya terjerembab dalam sinkretisme yang bagi sementara orang membingungkan, sedang bagi lainnya terlihat seperti suatu hipokrisi.

Jika akhirnya UUPA mengakui dan mengatur berbagai hak perorangan atas tanah, yang bagaimanapun mirip dengan yang dikenal di dunia "Barat," mengapa harus "mendasarkannya" pada cita-cita relijius-komunal? Semua tahu bahwa kepemilikan perorangan atas tanah adalah pengejawantahan paripurna dari cita-cita kebebasan perseorangan (individualism-liberalism)

Prof. Budi Harsono, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia pernah menawarkan penjelasan yang lebih 'mengalun' mengenai bagaimana UUPA akan mencapai tujuan ambisiusnya menjembatani cita-cita relijius-komunal khas peradaban agraris-subsisten dan kerangka-pikir industrial-komersial yang diterima sebagai keniscayaan.

Beliau menyebutnya sebagai "kecenderungan alamiah," di mana klausul-klausul relijius-komunal dalam UUPA diadakan untuk mengakomodasi pola-pikir agraris-subsisten, sementara ia berproses secara "alamiah" menuju keniscayaan masa depan yang industrial-komersial. Dalam pada itu, UUPA pun sudah siap memfasilitasi kegiatan industri dan perdagangan dengan klausul-klausul mengenai hak-hak kebendaan absolut dan relatif atas tanah a la hukum tanah "Barat."

Sinkretisme ini segera saja terasa kesulitan-kesulitannya ketika Orde Baru mencanangkan dan menggalakkan "pembangunan nasional" yang pada intinya tidak lain adalah pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan di bawah pimpinan negara. (state-led, growth-oriented economic development) Mengapa UUPA yang relijius-komunal, yang dahulu pernah dijadikan dasar oleh golongan kiri untuk mendesakkan agenda-agenda reforma agraria, (landreform) berjalan baik-baik saja di bawah Orde Baru? 

Jawabannya, karena UUPA, selain menggariskan peraturan dasar pokok-pokok agraria yang bersifat relijius-komunal itu, juga mengandung ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan dan kepemilikan perorangan atas tanah, sesuai dengan tujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi.

Kepemerintahan Neoliberal

Setelah Orde Baru runtuh, mungkin karena UUPA-nya masih sama, maka muncul kembalilah sentimen-sentimen relijius-komunal dan agraris-subsisten dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Namun setelah lebih dari duapuluh tahun, mari tanyakan kembali pada diri sendiri: Apa sebenarnya yang meruntuhkan Orde Baru dan apa pula yang menggantikannya?

Suka tidak suka, harus diakui bahwa suasana seakan-akan relijius-komunal yang dahulu dipaksakan secara otoriter serba-negara kini telah diganti oleh semangat yang jauh lebih individualis dan liberal.

Namun hal ini tidak serta-merta berarti keserba-negaraan itu telah berakhir. Pendek kata, Indonesia kini berada dalam suasana kepemerintahan neoliberal. (neoliberal governmentality)

Alam pikiran kepemerintahan neoliberal menghendaki peran aktif negara dalam memastikan agar tiap-tiap individu warganegara memerintah diri sendiri untuk menjadi insan-insan yang bebas merdeka dalam segala bidang kehidupan, bahkan, dan terutama, bebas dan merdeka dari kebutuhan untuk bernegara dan berpemerintahan itu sendiri; Sungguh suatu suasana kebatinan yang sudah jauh berbeda sekali dari idealisasi relijius-komunal a la masyarakat agraris-subsisten yang diidam-idamkan UUPA. Kini, setelah hampir 60 tahun berlaku, apakah UUPA, karena itu, masih relevan dengan suasana jaman? Jawabannya tentu saja tidak!

Bagaimana caranya agar ia sesuai dengan suasana jaman? Dari awal sebenarnya politik pertanahan Indonesia memiliki 2 (dua) pilihan jelas: pertama, setia pada cita-cita relijius komunal dan mengintroduksi transformasi yang lebih 'sabar' ke arah industrialisasi-komersialisasi, jikapun ingin demikian; atau, kedua, terjun sepenuh hati ke dalam arus industrialisasi-komersialisasi, dengan sepenuhnya memfasilitasi penguasaan dan kepemilikan perorangan atas tanah. UUPA, pada 1960, justru mengambil pilihan ketiga, yakni, setia pada cita-cita relijius-komunal, namun 'main mata' dengan kemungkinan industrialisasi-komersialisasi. Akibatnya, relijius-komunal jelas tidak, industrialisasi-komersialisasi pun seadanya saja.

Apa yang dilakukan oleh RUU Pertanahan baru-baru ini sebenarnya sederhana saja: Ia mengambil pilihan kedua. Lantas, apa sebenarnya konsekuensi dari mengambil pilihan itu?

Secara umum, dapatlah dikatakan bahwa yang akan didapat setidaknya kepastian hukum---dan ini pun mungkin akan didapat juga, seandainya dahulu konsisten dengan pilihan pertama, misalnya, wallahua'lam. Kenyataan mengenai berbagai kesenjangan baik sosial-ekonomi maupun sosial-budaya bagaimanapun akan selalu menjadi keniscayaan dalam masyarakat manusia mana pun.

Namun demikian, jangan sampai keinginan untuk mengakomodasi kedua ekstrem dalam kesenjangan itu lantas mengakibatkan ketidakpastian hukum. Itulah sebenarnya yang terjadi pada implementasi UUPA selama hampir 60 tahun terakhir ini.

Mewujudkan Cita-cita Kepastian Hukum

Bagaimana agar RUU Pertanahan, kelak apabila jadi diundangkan, dapat mewujudkan cita-cita kepastian hukum itu? Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah ketegasan dalam bersikap dan keteguhan dalam menjalani akibatnya.

Kepastian hukum hanya dapat ditegakkan oleh negara---dalam hal ini alat kelengkapan negara dalam bidang administrasi pertanahan---yang tegas dan teguh lahir batin.

Ia harus menjadikan, pertama, perlindungan hukum terhadap hak-hak perorangan warganegara, dan, kedua, kebebasan berusaha, sebagai pedoman utama dalam menjalankan tugas-tugasnya. Artinya, kepentingan bisnis terkait partai politik yang 'mengangkatnya,' misalnya, tidak boleh sampai mempengaruhi keputusan-keputusannya.

Selain itu, semua duplikasi dan tumpang-tindih kewenangan di bidang hukum dan administrasi pertanahan harus diberantas secara terstruktur, sistemik dan masif---artinya, diadopsi sebagai konsekuensi pilihan kebijakan dan diimplementasikan secara amat bersungguh-sungguh.

Kepastian hukum di bidang apapun hanya akan menjadi olok-olok jika ternyata hukum mengenainya bisa dibuat oleh banyak kepala yang sudah pasti akan saling bertentangan isinya, tergantung kepentingan dan kebutuhannya.

Hukum pertanahan Indonesia abad ke-21 harus mengakhiri segala macam duplikasi kewenangan dan kelembagaan, apalagi jika dilatarbelakangi oleh motif 'bagi-bagi lapak' di antara penguasa-penguasa ekonomi-politik.

Sebagai catatan akhir, lantas bagaimana dengan hak-hak komunal atas tanah? Dalam pada itu, kebijakan UUPA kiranya masih relevan: sepanjang pada kenyataannya masih ada, maka diakui dan dilindungi.

Pertanyaannya, seberapa banyak sebenarnya rakyat Indonesia yang hidupnya masih benar-benar melulu bergantung pada apa yang tumbuh dari tanah? Pasti masih ada.

Untuk yang masih ada ini, maka akui dan lindungilah haknya atas sebidang tanah yang menjadi tempat hidupnya. Selebihnya, semua klaim komunal kiranya harus diperiksa dengan teramat seksama.

Jika ternyata sudah mampu hidup secara industrial-komersial, buat apa lagi masih mengaku-ngaku komunal?

Wallahu a'lam bishawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun