Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU Pertanahan: Keniscayaan yang Diramalkan Sendiri oleh UUPA

23 Agustus 2019   11:40 Diperbarui: 23 Agustus 2019   11:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana agar RUU Pertanahan, kelak apabila jadi diundangkan, dapat mewujudkan cita-cita kepastian hukum itu? Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah ketegasan dalam bersikap dan keteguhan dalam menjalani akibatnya.

Kepastian hukum hanya dapat ditegakkan oleh negara---dalam hal ini alat kelengkapan negara dalam bidang administrasi pertanahan---yang tegas dan teguh lahir batin.

Ia harus menjadikan, pertama, perlindungan hukum terhadap hak-hak perorangan warganegara, dan, kedua, kebebasan berusaha, sebagai pedoman utama dalam menjalankan tugas-tugasnya. Artinya, kepentingan bisnis terkait partai politik yang 'mengangkatnya,' misalnya, tidak boleh sampai mempengaruhi keputusan-keputusannya.

Selain itu, semua duplikasi dan tumpang-tindih kewenangan di bidang hukum dan administrasi pertanahan harus diberantas secara terstruktur, sistemik dan masif---artinya, diadopsi sebagai konsekuensi pilihan kebijakan dan diimplementasikan secara amat bersungguh-sungguh.

Kepastian hukum di bidang apapun hanya akan menjadi olok-olok jika ternyata hukum mengenainya bisa dibuat oleh banyak kepala yang sudah pasti akan saling bertentangan isinya, tergantung kepentingan dan kebutuhannya.

Hukum pertanahan Indonesia abad ke-21 harus mengakhiri segala macam duplikasi kewenangan dan kelembagaan, apalagi jika dilatarbelakangi oleh motif 'bagi-bagi lapak' di antara penguasa-penguasa ekonomi-politik.

Sebagai catatan akhir, lantas bagaimana dengan hak-hak komunal atas tanah? Dalam pada itu, kebijakan UUPA kiranya masih relevan: sepanjang pada kenyataannya masih ada, maka diakui dan dilindungi.

Pertanyaannya, seberapa banyak sebenarnya rakyat Indonesia yang hidupnya masih benar-benar melulu bergantung pada apa yang tumbuh dari tanah? Pasti masih ada.

Untuk yang masih ada ini, maka akui dan lindungilah haknya atas sebidang tanah yang menjadi tempat hidupnya. Selebihnya, semua klaim komunal kiranya harus diperiksa dengan teramat seksama.

Jika ternyata sudah mampu hidup secara industrial-komersial, buat apa lagi masih mengaku-ngaku komunal?

Wallahu a'lam bishawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun