Hukum mengenai apakah Presiden dan Mendagri berwenang memberhentikan kepala daerah sedang ramai diperbincangkan di ruang publik. Hal itu terpicu oleh terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19, selanjutnya disebut Instruksi Mendagri 6/2020.
Salah satu hal yang menarik untuk dicermati dalam Inskruksi Mendagri 6/2020 itu adalah adanya penegasan terkait kewenangan Presiden dan Mendagri sesuai kewenangan masing-masing, untuk memberhentikan kepala daerah yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara pada waktu hampir bersamaan, Gubernur DKI Anies Baswedan dipanggil oleh Polda Metro Jaya untuk memberikan klarifikasi terkait peristiwa kerumunan massa di markas Front Pembela Islam atau FPI di Petamburan Jakarta Pusat, perayaan pernikahan Najwa Shihab, anak dari HRS yang dihadiri oleh banyak orang, dan kehadiran sang Gubernur pada dua momen tersebut.
Rentetan peristiwa tersebut mendorong publik berspekulasi bahwa terbitnya Instruksi Mendagri 6/2020 merupakan sebuah langkah inisiatif Pemerintah Pusat untuk memberhentikan kepala daerah tertentu, termasuk Anies Baswedan (?).
Sebuah pertanyaan besar muncul: apakah Presiden dan Mendagri berwenang untuk memberhentikan kepala daerah? Para akademisi, ahli dan praktisi hukum ternyata mempunyai pendapat yang berbeda terkait hal ini. Prof. Yusril Izha Mahendra (“Prof. Yusril”), misalnya berpendapat bahwa Presiden dan Mendagri tidak berwenang memberhentikan kepala daerah.
Sebagai seorang yang memiliki pengalaman luas dibidang hukum, baik sebagai akademisi/dosen di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia, maupun sebagai mantan pejabat dibidang hukum sekaligus sebagai praktisi hukum ternama, pendapat Prof. Yusril tentu saja dapat dijadikan acuan masyarakat dalam berpikir dan menilai isu publik dari sudut pandang hukum.
Persoalannya adalah apakah pendapat hukum semacam itu benar menurut hukum yang berlaku? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Penulis berpandangan bahwa setiap orang yang berbicara mengenai isu publik di ruang publik berkewajiban secara moral dan intelektual untuk menyampaikan informasi yang benar, jujur dan obyektif kepada masyarakat.
Dasar Hukum
Perihal pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur dalam paragraf 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”), mulai dari Pasal 78 sampai Pasal 88. Namun alasan atas pemberhentian kepala daerah diatur juga dalam Paragraf 3 tentang Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Daerah, khususnya Pasal 67 dan Pasal 68 serta Paragraf 4 tentang Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 76 dan Pasal 77 UU 23/2014.
Alasan Hukum Pemberhentian
Menanggapi Instruksi Mendagri 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19, Prof. Yusril, antara lain berpendapat bahwa “Presiden atau Mendagri tak berwenang copot kepala daerah” (kompas.com 19/11/2020).
Ia menjelaskan bahwa (a) “Proses pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah”; (b) “berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah diserahkan secara langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU di daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan calon sebagai pemenang dalam Pilkada”; dan (c) “Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya. Semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) hutuf d, tetap harus dilakukan melalui DPRD”.
Dengan asumsi bahwa judul tulisan yang dimuat pada kompas.com itu dibuat oleh Prof. Yusril sendiri, lalu dihubungkan dengan beberapa pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Penulis di atas, nampak sekali bahwa Prof. Yusril tidak konsisten dalam berpendapat hukum terkait isu hukum pemberhentian kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, secara substantif, pendapat Prof. Yusril juga tidak tepat karena berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, Presiden dan Menteri mempunyai wewenang untuk memberhentikan kepala daerah.
Berikut penjelasannya. Pertama, Prof. Yusril gagal membedakan antara proses pemberhentian dengan kewenangan final untuk mendapatkan penetapan pemberhentian kepala daerah.
Untuk alasan pemberhentian kepala daerah karena: meninggal dunia atau atas permitaan sendiri atau masa jabatan berakhir atau berhalangan tetap selama 6 (enam) bulan berturut-turut, misalnya (lihat Pasal 78 ayat 1 huruf a dan huruf b dan ayat 2 huruf a dan huruf b), pimpinan DPRD hanya bewenang untuk mengumumkan hal itu dalam rapat paripurna dan mengusulkan kapada Presiden dan Menteri untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.
Bahkan, jika pimpinan DPRD tidak mengusulkan pemberhentian setelah terpenuhinya alasan untuk itu, Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing, dibolehkan mengeluarkan penetapan pemberhentian (lihat Pasal 79 UU Pemda). Artinya, bahwa kewenangan untuk membuat penetapan pemberhentian gubernur atau wakil gubernur ada pada Presdien dan penetapan pemberhentian untuk bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota ada pada Menteri.
Kedua, Presiden dan Menteri juga berwenang untuk memberhentikan kepala daerah yang (a) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; (b) tidak menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h; dan (d) melakukan perbuatan tercela. Dalam ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf e secara jelas dikatakan bahwa Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubenur paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden menerima usul pemberhentian dari pimpinan DPRD.
Sedangkan ayat (1) huruf f menegaskan hal yang sama bahwa Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau akil bupati atau wali kota dan/atau Wakil wali kota dalam tenggang waktu yang sama setelah menerima usulan pemberhentian dari pimpinan DPRD. Bahkan Pasal 80 ayat (2) dan (3) memberikan kewenangan kepada Presiden dan Menteri berwenang untuk memberhentikan kepala daerah jika dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya putusan Mahkamah Agung, pimpinan DPRD tidak mengajukan usulan pemberhentian.
Ketiga, untuk pelanggaran oleh kepala daerah berupa: (a) melanggar sumpah atau janii jabatan, (b) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, (c) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j dan/atau perbuatan tercela, Presiden dan Menteri, bahkan diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang bersangkutan jika DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1). Benar bahwa untuk membuktikan pelanggaran tersebut, Pemerintah Pusat wajib menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap kepala daerah kepada Mahkamah Agung untuk mendapatkan keputusan tentang pelanggaran yang dilakukan, namun kewenangan akhir untuk memberhentikan kepala daerah tetap berada pada tangan Presiden, (lihat Pasal 81 UU 23/2014).
Keempat, untuk pelanggaran oleh kepala daerah terkait penggunaan dokumen atau keterangan palsu sebagai persyaratan pencalonan kepala daerah dalam pemilukada, Pasal 82 ayat (2) UU No. 23/2014 juga memberikan wewenang kepada Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing untuk memberhentikan kepala daerah.
Dalam kasus semacam ini, DPRD mempunyai hak untuk menggunakan hak angket guna melakukan penyelidikan dan hak untuk mengusulkan pemberhentian kepada Presiden atau Menteri, jika kepala daerah terbukti menggunakan dokumen atau keterangan palsu ketika menjadi peserta pemilukada.
Dalam hal ini, Presdien dan Menteri berdasarkan kewenangan masing-masing, bahkan diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan secara langsung kepada kepala daerah yang bersangkutan, jika DPRD tidak menggunakan hak angket guna melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah. (lihat Pasal 82 UU No. 23/2014).
Kelima, untuk kepala daerah yang diduga melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman penjara paling sedikit 5 (lima) tahun, misalnya diduga melakukan kejahatan korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau kejahatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing berwenang memberhentikan sementara kepala daerah tanpa usulan DPRD.
Hak DPRD untuk mengajukan usulan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden atau Menteri baru muncul setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, kewenangan final dan mengikat untuk memberhentikan kepala daerah tetap berada pada Presiden atau Menteri sesuai kewenangan masing-masing. (lihat Pasal 83 UU no. 23/2014).
Keenam, dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, ternyata bahwa pendapat Prof. Yusril yang menyatakan “Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya. Semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d, yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD” terbukti keliru, dan karenanya harus diluruskan demi terpenuhinya hak publik untuk mendapatkan informasi hukum yang benar dan tidak menyesatkan.
Ketujuh, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami dengan benar bahwa DPRD hanya mempunyai hak untuk: (a) membuat pendapat tentang pemberhentian kepala daerah; (b) melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah berdasarkan hak angket atau hak interpelasi, (c) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung RI guna mendapatkan putusan terbukti atau tidaknya pelanggaran yang dutuduhkan kepada kepala daerah. Sedangkan hak untuk memberhentikan kepala daerah mutlak berada pada Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing.
Kedelapan, pendapat Prof. Yusril juga mengandung kelemahan secara fundamental dilihat dari segi hukum ketatanegaraan. Jika pendapat bahwa Presiden dan Menteri tidak berwenang memberhentikan kepala daerah, pertanyaannya adalah “kapankah hak dan kewenangan atau kekuasaan yang melekat pada kepala daerah yang diberhentikan berakhir?
Jawabannya tentu bukan pada saat lahirnya pendapat DPRD tentang pemberhentian kepala daerah, bukan pada saat DPRD selesai melakukan hak angket atau hak interpelasi, bukan pada saat DPRD mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung untuk membuktikan pelanggaran yang dituduhkan kepada kepala daerah yang bersangkutan, bahkan bukan juga pada saat kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman paling kurang 5 (lima) tahun berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap, melainkan pada saat terbitnya Penetepan Pemberhentian kepala daerah oleh Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing, diterbitkan.
Kesembilan, argumentasi bahwa Presiden dan Menteri tidak berwenang memberhentikan kepala daerah karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilukada yang diselenggaran oleh KPUD sebenarnya tidak relevan karena (a) ketentuan tentang larangan bagi kepala daerah untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan justru untuk memastikan pemangku kekuasaan bekerja dengan baik, jujur, bertanggung jawab, taat hukum dalam menjalankan kekuasaan demi terpenuhinya kepentingan rakyat; (b) UU 23/2014 tentang Pemda tidak memberikan kewenangan hukum kepada KPUD untuk membina, mengawasi kinerja calon kepala daerah terpilih atau ambil bagian dalam urusan pemberian sanksi berupa pemberhentian kepala daerah; dan (c) proses pemilukada bukan merupakan jalan bagi calon kepala daerah terpilih untuk mengabaikan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan tertinggi menurut UUD 45.
Kesepuluh, sebagai penutup, Penulis memandang relevan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat teoretis: mengapa pembuat undang-undang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan untuk memberhentikan kepala daerah hanya kepada Presiden? Pernyataan “hanya kepada Presiden” disini tidak bermaksud meniadakan kewenangan Menteri namun karena Menteri adalah pembantu Presiden, maka kewenangan yang diberikan oleh UU Pemerintahan Daerah kepada Menteri untuk memberhentikan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota haruslah dibaca sebagai pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan Presiden (lihat Pasal 4 ayat 1 UUD 45).
Berpijak pada UUD 45, UU No. 23/2014 tentang Pemda menegaskan bahwa kekuasaan pemerintahan adalah kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. (lihat Pasal 1 angka 5 UU 23/2014).
Dalam konteks itulah, maka pembuat undang-undang pmerintah daerah memberikan kewenangan kepada Presiden selaku pemegang kekuasan pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan daerah. Presiden adalah pemegenag tanggung jawab terakhir (baca: tertinggi) atas penyelenggaran urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemeirntah pusat dan daerah, (lihat Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU 23/2014).
KESIMPULANNYA adalah bahwa pendapat yang menyatakan Presiden dan Menteri tidak bewenang memberhentikan kepala daerah adalah keliru. Artinya, Presiden dan Menteri Dalam negeri sesuai kewenangan masing-masing berwenang memberhentikan kepala daerah sejauh alasan-alasan dan mekanisme Hukum untuk itu telah terpenuhi.
oleh: Bonifasius Gunung, S.H. (Advokat; Direktur Eksekutif Institute of Indonesia Law Transformation/ILTRA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H