Dengan asumsi bahwa judul tulisan yang dimuat pada kompas.com itu dibuat oleh Prof. Yusril sendiri, lalu dihubungkan dengan beberapa pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Penulis di atas, nampak sekali bahwa Prof. Yusril tidak konsisten dalam berpendapat hukum terkait isu hukum pemberhentian kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, secara substantif, pendapat Prof. Yusril juga tidak tepat karena berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, Presiden dan Menteri mempunyai wewenang untuk memberhentikan kepala daerah.
Berikut penjelasannya. Pertama, Prof. Yusril gagal membedakan antara proses pemberhentian dengan kewenangan final untuk mendapatkan penetapan pemberhentian kepala daerah.
Untuk alasan pemberhentian kepala daerah karena: meninggal dunia atau atas permitaan sendiri atau masa jabatan berakhir atau berhalangan tetap selama 6 (enam) bulan berturut-turut, misalnya (lihat Pasal 78 ayat 1 huruf a dan huruf b dan ayat 2 huruf a dan huruf b), pimpinan DPRD hanya bewenang untuk mengumumkan hal itu dalam rapat paripurna dan mengusulkan kapada Presiden dan Menteri untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.Â
Bahkan, jika pimpinan DPRD tidak mengusulkan pemberhentian setelah terpenuhinya alasan untuk itu, Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing, dibolehkan mengeluarkan penetapan pemberhentian (lihat Pasal 79 UU Pemda). Artinya, bahwa kewenangan untuk membuat penetapan pemberhentian gubernur atau wakil gubernur ada pada Presdien dan penetapan pemberhentian untuk bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota ada pada Menteri.
Kedua, Presiden dan Menteri juga berwenang untuk memberhentikan kepala daerah yang (a) Â dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; (b) tidak menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h; dan (d) melakukan perbuatan tercela. Dalam ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf e secara jelas dikatakan bahwa Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubenur paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden menerima usul pemberhentian dari pimpinan DPRD.Â
Sedangkan ayat (1) huruf f menegaskan hal yang sama bahwa Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau akil bupati atau wali kota dan/atau Wakil wali kota dalam tenggang waktu yang sama setelah menerima usulan pemberhentian dari pimpinan DPRD. Bahkan Pasal 80 ayat (2) dan (3) memberikan kewenangan kepada Presiden dan Menteri berwenang  untuk memberhentikan kepala daerah jika dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya putusan Mahkamah Agung, pimpinan DPRD tidak mengajukan usulan pemberhentian.
Ketiga, untuk pelanggaran oleh kepala daerah berupa: (a) melanggar sumpah atau janii jabatan, (b) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, (c) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j dan/atau perbuatan tercela, Presiden dan Menteri, bahkan diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang bersangkutan jika DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1). Benar bahwa untuk membuktikan pelanggaran tersebut, Pemerintah Pusat wajib menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap kepala daerah kepada Mahkamah Agung untuk mendapatkan keputusan tentang pelanggaran yang dilakukan, namun kewenangan akhir untuk memberhentikan kepala daerah tetap berada pada tangan Presiden, (lihat Pasal 81 UU 23/2014).
Keempat, untuk pelanggaran oleh kepala daerah terkait penggunaan dokumen atau keterangan palsu sebagai persyaratan pencalonan kepala daerah dalam pemilukada, Pasal 82 ayat (2) UU No. 23/2014 Â juga memberikan wewenang kepada Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing untuk memberhentikan kepala daerah.Â
Dalam kasus semacam ini, DPRD mempunyai hak untuk menggunakan hak angket guna melakukan penyelidikan dan hak untuk mengusulkan pemberhentian  kepada Presiden atau Menteri, jika kepala daerah terbukti menggunakan dokumen atau keterangan palsu ketika menjadi peserta pemilukada.Â
Dalam hal ini, Presdien dan Menteri berdasarkan kewenangan masing-masing, bahkan diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan secara langsung kepada kepala daerah yang bersangkutan, jika DPRD tidak menggunakan hak angket guna melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah. (lihat Pasal 82 UU No. 23/2014).
Kelima, untuk kepala daerah yang diduga melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman penjara paling sedikit 5 (lima) tahun, misalnya diduga melakukan kejahatan korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau kejahatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing berwenang memberhentikan sementara kepala daerah tanpa usulan DPRD.Â