Hak DPRD untuk mengajukan usulan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden atau Menteri baru muncul setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, kewenangan final dan mengikat untuk memberhentikan kepala daerah tetap berada pada Presiden atau Menteri sesuai kewenangan masing-masing. (lihat Pasal 83 UU no. 23/2014).
Keenam, dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, ternyata bahwa pendapat Prof. Yusril yang menyatakan “Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya. Semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d, yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD” terbukti keliru, dan karenanya harus diluruskan demi terpenuhinya hak publik untuk mendapatkan informasi hukum yang benar dan tidak menyesatkan.
Ketujuh, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami dengan benar bahwa DPRD hanya mempunyai hak untuk: (a) membuat pendapat tentang pemberhentian kepala daerah; (b) melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah berdasarkan hak angket atau hak interpelasi, (c) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung RI guna mendapatkan putusan terbukti atau tidaknya pelanggaran yang dutuduhkan kepada kepala daerah. Sedangkan hak untuk memberhentikan kepala daerah mutlak berada pada Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing.
Kedelapan, pendapat Prof. Yusril juga mengandung kelemahan secara fundamental dilihat dari segi hukum ketatanegaraan. Jika pendapat bahwa Presiden dan Menteri tidak berwenang memberhentikan kepala daerah, pertanyaannya adalah “kapankah hak dan kewenangan atau kekuasaan yang melekat pada kepala daerah yang diberhentikan berakhir?
Jawabannya tentu bukan pada saat lahirnya pendapat DPRD tentang pemberhentian kepala daerah, bukan pada saat DPRD selesai melakukan hak angket atau hak interpelasi, bukan pada saat DPRD mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung untuk membuktikan pelanggaran yang dituduhkan kepada kepala daerah yang bersangkutan, bahkan bukan juga pada saat kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman paling kurang 5 (lima) tahun berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap, melainkan pada saat terbitnya Penetepan Pemberhentian kepala daerah oleh Presiden dan Menteri sesuai kewenangan masing-masing, diterbitkan.
Kesembilan, argumentasi bahwa Presiden dan Menteri tidak berwenang memberhentikan kepala daerah karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilukada yang diselenggaran oleh KPUD sebenarnya tidak relevan karena (a) ketentuan tentang larangan bagi kepala daerah untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan justru untuk memastikan pemangku kekuasaan bekerja dengan baik, jujur, bertanggung jawab, taat hukum dalam menjalankan kekuasaan demi terpenuhinya kepentingan rakyat; (b) UU 23/2014 tentang Pemda tidak memberikan kewenangan hukum kepada KPUD untuk membina, mengawasi kinerja calon kepala daerah terpilih atau ambil bagian dalam urusan pemberian sanksi berupa pemberhentian kepala daerah; dan (c) proses pemilukada bukan merupakan jalan bagi calon kepala daerah terpilih untuk mengabaikan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan tertinggi menurut UUD 45.
Kesepuluh, sebagai penutup, Penulis memandang relevan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat teoretis: mengapa pembuat undang-undang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan untuk memberhentikan kepala daerah hanya kepada Presiden? Pernyataan “hanya kepada Presiden” disini tidak bermaksud meniadakan kewenangan Menteri namun karena Menteri adalah pembantu Presiden, maka kewenangan yang diberikan oleh UU Pemerintahan Daerah kepada Menteri untuk memberhentikan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota haruslah dibaca sebagai pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan Presiden (lihat Pasal 4 ayat 1 UUD 45).
Berpijak pada UUD 45, UU No. 23/2014 tentang Pemda menegaskan bahwa kekuasaan pemerintahan adalah kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. (lihat Pasal 1 angka 5 UU 23/2014).
Dalam konteks itulah, maka pembuat undang-undang pmerintah daerah memberikan kewenangan kepada Presiden selaku pemegang kekuasan pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan daerah. Presiden adalah pemegenag tanggung jawab terakhir (baca: tertinggi) atas penyelenggaran urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemeirntah pusat dan daerah, (lihat Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU 23/2014).
KESIMPULANNYA adalah bahwa pendapat yang menyatakan Presiden dan Menteri tidak bewenang memberhentikan kepala daerah adalah keliru. Artinya, Presiden dan Menteri Dalam negeri sesuai kewenangan masing-masing berwenang memberhentikan kepala daerah sejauh alasan-alasan dan mekanisme Hukum untuk itu telah terpenuhi.
oleh: Bonifasius Gunung, S.H. (Advokat; Direktur Eksekutif Institute of Indonesia Law Transformation/ILTRA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H