Pertama-tama sebagai warga negara yang baik saya ucapkan selamat kepada Pak Anies Rasyid Baswedan dan Pak Sandiaga Salahudin Uno (Anies -- Sandi) yang telah dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang ke -- 17 pada hari Senin (16/10). Perhelatan Pilgub telah selesai, the game is over.
Sesuai judul artikel di atas sudah pasti seabrek beban Jakarta akan dipikul oleh gubernur dan wakil gubernur baru. Ditambah luka sosial yang terjadi akibat Pilgub kemarin. Masalah Pilgub kemarin telah membuat masyarakat terpolarisasi karena isu SARA yang masif dihembus bukan perkara remeh temeh. Tapi masalah serius. Jika harus perlu ada rekonsiliasi. Namun jalan menuju  pintu rekonsiliasi makin jauh ketika pidato kemenangan Anies Baswedan menyinggung soal isu pribumi. Pak Anies seolah-olah lupa dan tidak merasa tensi suhu politik yang kental dengan sentimen etnisitas?
Sebenarnya pekerjaan gubernur dan wakil gubernur terasa akan ringan jika mendapatkan dukungan masyarakat luas. Bukan saja 58 persen pemilih yang memenangkan Anies -- Sandi kemarin tapi termasuk yang 42 persen pemilih Ahok -- Djarot itu. Karena apa yang 58 persen itu sebagiannya mengakui kinerja Ahok -- Djarot tapi surat suaranya diberikan kepada pasangan Anies -- Sandi.  Hal ini bisa dilihat dari hasil survei Median : Warga puas kinerja Ahok, tapi pilih Anies. Tepatnya 65,6 persen puas akan kinerja Ahok (detikom,10/4/2017) atau  kita juga bisa lihat hasil survei LSI Denny JA bahwa lebih dari 73 persen warga Jakarta puas terhadap kinerja Ahok -- Djarot (Kompas, 13/4/2017).
Benang Kusut Masalah Jakarta
Jakarta hari ini masih soal banjir, masih soal macet, kemiskinan, pengangguran, premanisme, narkoba, dan prostitusi, dan lain-lain. Masalah ini sampai hari ini menjadi beban Pemprov DKI. Dalam konteks ini gubernur dan wakil gubernurnya.
Banjir dan macet itu menjadi pekerjaan terberat gubernur dan wakil gubernur terpilih. Misalnya, pasca pelantikan (tiga hari berselang) Jakarta kemarin diguyur hujan. Pak Anies -- Sandi mestinya masih menikmati indahnya "bulan madu" akhirnya mereka harus turun ke lapangan. Ini baru banjir "pemanasan" belum saatnya banjir.
Mengatasi banjir dan macet tidak lagi dalam level teori tapi dibutuhkan keberanian. Keberanian mengeksekusi program demi program maksud saya. Karena apa? sudah ada master plan hasil kajian para cerdik pandai yang sudah disiapkan oleh SKPD terkait. Keberanian itu tidak selalu dengan "kekerasan". Â Keberanian secara manajerial. Bagamana menggerakan semua sumberdaya yang ada. Dan seorang pemimpin harus berani menanggung semua resiko yang menjadi keputusannya. Nah ini yang dinantikan dari seorang Anies Baswedan.
Untuk mengurai kemacetan ada 3 mega proyek yang sedang dikebut Pemprov DKI, antara lain : Airport Express Line, Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rapid Transit (LRT). Untuk MRT sendiri setelah 4 tahun dibangun hasilnya sudah mencapai 80 persen. Artinya Beberapa tahun kedepan warga Jakarta akan menikmati proyek-proyek ini. Â Untuk presoalan macet sudah mulai ada jalan keluarnya. Namun untuk mengatasi banjir masih agak sulit bagi gubernur saat ini terkait masalah normalisasi sungai dan waduk. Masalahnya dibantaran sungai dan waduk sudah ada hunian warga. Jika dikeruk warga harus direlokasi. Padahal daerah tersebut telah dihuni warga puluhan tahun silam.
Sikap kubu Anies -- Sandi selama ini menentang kebijakan Ahok dalam hal relokasi warga. Jika gubernur Anies mengikuti gaya Ahok akan menjadi bumerang bagi Anies sendiri. Normalisasi tanpa relokasi rasanya sulit untuk mengentaskan masalah banjir DKI. Padahal masalah banjir dan kondisi struktur tanah di DKI menjadi ancaman serius bagi warga DKI beberapa tahun kedepan.
Bukan saja warga DKI tapi bangsa dan negara Indonesia. Karena apa? Kota Jakarta bukan saja kota bagi warga DKI tapi kota kebanggaan bagi warga negara Indonesia. Â
Ini baru soal banjir dan macet. Belum soal reklamasi. Masalah Alexis, soal korupsi, dan lain sebagainya. Dan ini cukup kompleks. Butuh keseriusan, keberanian, penuh perhitungan, kerja keras dan tentu harus tepat sasaran. Jika tidak pemimpin DKI akan dibully habis-habisan. Jakarta akan diramaikan dengan berbagai aksi demontrasi. Bisa saja berbagai kekerasan akan mewarnai selama perjalan pemerintahan Anies -- Sandi.
Kita harus tahu banyak janji yang terlontar selama masa kampanye kemarin. Dan warga DKI akan segera menagih janji-janji politik itu dengan cara politik. Misalnya, The Jack Mania akan meminta realisasi pembangunan stadion Persija sekelas Old Trafford. Para jomblowan-jomblowati akan meminta kartu Jakarta Jomblo. Pelajar akan menagih KJP Plus. Â Calon pengusaha akan menagih modal usaha berbasis OK OCE. Belum lagi yang sering didengungkan oleh kelompok pendukung Anies -- Sandi terkait tempat-tempat tertentu yang nuansanya bersyariah. Saya pikir hal-hal ini mesti dipenuhi oleh gubernur dan wakil gubernur DKI. Jika tidak Jakarta dibuat rame terus oleh warganya sendiri.
Solusi Walau Tidak Solutif
Mengamati diskusi, komentar, dan perdebatan di jejaringan sosial mayoritas pendukung belum move onwalau masa kampanye telah usai. Jika para pengamat, para analis mengatakan Pilgub DKI kemarin adalah Pilgup terpanas, maka itu benar. Pilgub DKI sudah menyebabkan warga DKI terpolarisasi menjadi dua kubu. Â Untuk itu solusinya adalah rekonsiliasi. Terkait pidato pribumi-nya, Pak Anies perlu meng-clear-kan apa maksud pidato tersebut. Pan Anies Baswedan fokus saja dengan jabatan sebagai gubernur jangan tergoda dengan tawaran capres atau cawapres. Seperti kata Fahri Hamzah, tirulah Ahok, kalau ngomong yang teknis saja.
Kemudian intens membangun komunikasi dengan DPRD DKI Jakarta. Jangan tergoda dengan "kantong-kantong uang" dalam mega proyek Pemprov DKI. Dan terakhir jangan abaikan dengan Mr President Joko Widodo.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H