Mohon tunggu...
Bonaventura Ricky Yosan
Bonaventura Ricky Yosan Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semangat Postmodern dalam Menjawab Kompleksitas Zaman menurut Jean-Francois Lyotard

27 Mei 2024   21:10 Diperbarui: 27 Mei 2024   21:22 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat postmodern yang digaungkan sejak abad 20 hingga saat ini sungguh dipengaruhi oleh situasi perang dunia II atau pasca perang dunia II sebagai titik tolak ajarannya dengan aneka pergolakan dan peperangan yang terjadi pada masa itu. 

Dimana situasi masa itu lebih bertumpu pada narasi besar atau grand narratives yang kalau ditelurusi lebih jauh dan dalam perannya tidak bisa sepenuhnya dipakai pada semua situasi pada masa itu sehingga muncul aneka penolakan yang terjadi masa itu. 

Hal ini sekaligus semakin mengaitkan pikiran dan kerangka pikir kita dengan aneka ajaran filsafat modern yang mendahului postmodern sehingga sembari kita mengetahui keduanya pemikiran kita makin terkoneksi dan mengetahui dengan cukup jelas akan latar belakang dan proses lahirnya dan peralihan antara masa modern ke postmodern dengan aneka ajaran dan filsuf yang saling bertolak belakang antara masa modern dan postmodern.

Ajaran yang bertolak belakang inilah yang menunjukkan bahwa postmodern sebagai jalan pembaharuan bagi aneka ajaran yang terlalu kaku dan memaksa saat dihadapkan dengan realitas dengan alasan bahwa keselarasan, ketertiban, dan kerterjaminan hidup masyarakat itu dapat secara universal sama, padahal tiap kehidupan masyarakat memiliki konteks dan situasi yang berbeda. 

Maka, saya ingin membagikan apa yang saya peroleh dan refleksikan secara khusus berkenaan dengan pembahasan filsuf Jean-Francois Lyotard yang sungguh menekankan adanya penerimaan akan keserbaragaman, pluralitas, lokalitas, imanen, dan lain sebagainya sehingga pembaharuan mesti dilakukan akan suatu pemahaman dan pengajaran yang absolut dengan mempertanyakan dan mengkritisi ajaran yang sudah ada untuk menciptakan ajaran baru yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan masyarakat sehingga hak dan kewajiban mereka terpenuhi dengan aneka usaha yang dilakukan oleh pemimpin. Refleksi ini akan saya bagi dalam tiga poin, yakni terbuka akan keserbaragaman, relevansi "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", dan closing statement "penting bagi kita untuk memahami realitas bukannya justru memaksakan realitas".

Terbuka akan Keserbaragaman. Lyotard dengan ajaran pokok mengenai penolakan akan metanarasi menunjukkan bahwa metanarasi yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang mesti diikuti dan diterima itu ternyata sebuah pemaksaan berlaku secara universal yang nampak dari tidak sepenuhnya terjawab persoalan masyarakat pada masa itu. Hal ini dikarenakan tidak ada sebenarnya kebenaran yang bersifat tunggal sehingga perlu tumbuh kesadaran dan pembaharuan pola pikir bahwa pandangan kebenaran yang lain juga mesti dilihat, dikaji, dan dibandingkan bersama untuk menemukan kebenara yang otentik pada masa postmodern. 

Kesadaran yang tumbuh ini membuat Lyotard menolak adanya metanarasi dengan mengeluarkan ajaran mengenai cerita-cerita kecil (mininarasi) yang menekankan pada pluralitas narasi yang berarti menerima akan adanya keserbaragaman pandangan dengan menyesuaikan konteks, terjadi kesederajatan kedudukan akan aneka cerita yang terbit tersebut karena tidak ada yang mendominasi melainkan saling mempengaruhi dan melengkapi, dan legitimasi cerita kecil itu bersifat lokal dan imanen yang berarti menjawab atau tertuju pada konteks masyarakat tertentu sehingga arah dan tujuannya makin jelas. 

Hal inilah yang saya sadari juga terjadi dalam pihak Gereja dengan semangat aggiornamento yang digaungkan oleh Paus Yohanes XXIII. Hal ini nampak dari pembaharuan yang dilakukan oleh Gereja dengan Konsili Vatikan II yang berusaha terbuka akan situasi zaman, menyesuaikan dengan situasi zaman, dan menyesuaikan dengan konteks masyarakat yang nampak dari semangat inklusivitas dan inkulturasi dalam Gereja untuk menumbuhkan iman umat dan pastoral Gereja. 

Semangat ini kiranya mempengaruhi kehidupan meng-Gereja secara menyeluruh dengan suasana baru nan lebih segar yang secara eksplisit nampak dalam liturgi Gereja yang awalnya hanya berfokus pada imam dan altar dan keterlibatan umat itu kurang diperhatikan dalam semangat kebaruan Gereja inilah mulai diperhatikan partisipasi umat, relasi dalam kebersamaan di luar lingkup Gereja, penggunaan bahasa liturgis yang mulai disesuaikan dengan bahasa setempat atau lokal yang tetap dengan persetujuan otoritas Gereja, lagu-lagu Gereja yang lebih variatif dengan memadukan gaya lokal atau setempat yang nampak dalam lagu-lagu inkulturasi, dan keyakinan bahwa inkulturasi itu ada bagian dari kerja Roh Kudus.

Maka, saya menyadari dan merefleksikan bahwa kesediaan untuk terbuka akan keserbaragaman akan semakin memperkaya wawasan, pengetahuan, dan cara pandang saya akan suatu hal atau pengetahuan karena saya meyakini bahwa satu topik pembahasan dapat dikaji dari aneka sudut pandang sesuai dengan minat dan bakat seseorang yang pastinya khas pikiran masing-masing. 

Hal inilah yang membuat teori ini relevan di masa sekarang ini dengan aneka macam ilmu pengetahuan yang muncul dan lahir dengan kesadaran bahwa saya terbuka akan kemunculan itu sembari mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu akan pengetahuan tersebut apakah sudah terbukti kebenarannya, apakah berguna untuk saya pakai dan terapkan dalam hidup saya, dan apakah teori yang ada membantu dalam menjawab persoalan yang ada.

Semangat "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Kekhasan pengetahuan postmodern yang bersifat plural, lokalitas, dan imanen menunjukkan bahwa mentalitas postmodern ingin mengarah pada penyesuaian dan konkretisasi pada realitas masyarakat sehingga perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa setiap masyarakat memiliki kekhasan masing-masing dengan aneka pengetahuan, paham, dan ajaran yang khas juga pada wilayah tertentu yang mesti kita ketahui, pahami, dan hargai karena ajaran itu bagian dari hidup mereka dan upaya mereka untuk menciptakan hidup yang layak dan tertib. 

Maka, kita diingatkan dan disadarkan bahwa semangat yang nampak dalam peribahasa "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" mesti saya upayakan untuk saya hayati dan hidupi dimanapun saya berada dengan kesadaran bahwa idealis diri bukan serta-merta bisa diterapkan pada semua macam jenis masyarakat dan tempat sehingga mesti tumbuh semangat dalam diri kita untuk mampu menempatkan diri dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada yang teraktualisasi dalam mengikuti aturan setempat dan bijaksana dalam menentukan dan menempatkan diri bukan asal saja berperilaku dan berbicara layaknya di tempat kita sendiri yang seakan-akan semua tempat sama. Hal ini dikarenakan setiap tempat dan wilayah itu memiliki aturan, ajaran, dan tata tertib masing-masing yang khas sehingga nampak lokalitas di dalamnya.

Closing Statement "Penting bagi kita untuk memahami realitas bukan memaksakan realitas". Pemahaman yang saya tangkap dengan ajaran Lyotard dan situasi yang melatarbelakangi ajarannya membawa saya pada suatu pernyataan bahwa penting bagi kita untuk memahami realitas bukan memaksakan realitas. Artinya, realitas tentunya memiliki dinamika masing-masing yang tidak bisa disamakan semuanya sehingga tanggapan atas realitas itu dapat beraneka ragam cara dan bentuk yang sungguh semakin memperkaya dan menjawab realitas tersebut secara kontekstual dan aktual. Hal inilah yang saya lihat dari hadirnya narasi-narasi kecil yang bersifat lokal dan plural sehingga narasi-narasi kecil inilah yang akan menjawab dan menanggapi realitas setempat dengan aneka ajaran dan pedoman hidup yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekitar sehingga fungsi dan nilai gunanya itu semakin baik dan aktual. Hal ini tentunya mesti ditumbuhkan dengan kesadaran dari diri kita untuk memahami realitas dengan mengkaji, menilai, dan menyesuaikan diri yang bukannya malah memaksakan realitas dengan menerapkan aneka idealis diri yang tidak relevan yang justru berujung pada bentrok dan pergolakan terhadap realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun