Aku duduk termenung di sudut Kapela
Bangkunya yang keras mengusik,
Hawanya yang panas gerah,
Semua hampir kulupa saat nyanyian sendu "hanya debulah aku" dinyanyikan penuh rindu
Pagi ini,
Setelah ditaburi abu,
Jiwa digauli kalbu,
Tubuh dirubuhi sesal
Aku tersentak dan berkata menebah dada: mea culpa, mea culpa.
Hidup tidak lebih dari debu dipoles kulit
dan aku tak mau mengaduh
Rintih peluh dalam kerapuhan adalah aku yang Picik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!