Penulis sangat geram dengan perilaku perusuh yang membuat Negara Indonesia menjadi Kacau. Beberapa bulan ini Indonesia melewati banyak Krisis solidaritas sesama anak bangsa. Mulai dari kerusuhan asrama Papua di Surabaya, aksi tidak kondusif di Papua dan terakhir ini kerusuhan di Wamena, ditambah lagi adanya tindakan pembakaran hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Penulis memiliki keinginan besar untuk menuliskan padangan mengenai itu, tetapi penulis meletakkan harapan besar terhadap Pemerintahan terpilih yang akan dilantik 20 Oktober 2019 untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di antara anak bangsa untuk tetap menjaga bingkai persatuan dan kesatuan NKRI.Â
Penulis kali ini menuliskan pandangan mengenai "Polisi Versus Demonstran". Tujuan penulis adalah ingin memberikan perspektif hukum mengenai tugas dan wewenang polisi berdasarkan UU serta kedudukan Demonstran  yang dijamin konstitusi.
Pengertian  lembaga pranata sipil (POLISI) serta tugas & wewenang kepolisian  dapat kita temukan dasar hukumnya  di dalam UU 2 NO Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pemisahan Polri & TNI 19 Tahun silam menghilangkan peran polisi dlm ABRI serta melahirkan suatu entitas baru yaitu POLRI.
Tugas Polisi adlh menjaga ketertipan, keamanan dan penegakaan hukum di wilayah hukum Indonesia yang  termaktub di dalam UU.Â
Penulis mendefenisikan demonstran adalah sekumpulan orang-orang yang berkumpul untuk menyampaikan protes terhadap sesuatu hal yang mereka anggap tidak memberikan keadilan, mereka lazimnya  di sebut dengan pendemo.
Kegiatan demonstran dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti, (unjuk rasa, pawai, mimbar bebas & rapat terbuka secara bebas). Para demonstran akan melakukan kegiatan-kegiatannya  untuk menyampaikan anspirasi yang mereka miliki, baik secara lisan maupun tulisan.
Kegiatan demo atau unjuk rasa di jamin kedudukannya di dalam  UUD 1945 Pasal 28E yang menjadi konstitusi kita dalam bernegara, selain itu tata cara pelaksanaanya diatur dalam UU No 9 tahun 1998, sehingga penulis menyampaikan  bahwa Demonstran/unjuk rasa adalah  konstitusional.  DEMONSTRASI itu menjadi hak yang melekat terhadap seluruh warga negara Indonesia.
Merujuk pada pertanyaan salah satu Sahabat Penulis yaitu "Cimeng Balpi Siahaan", bagaimana tanggapan saya menanggapi aksi demo yang terjadi sepanjang tanggal 23 September sampai 26 September 2019 yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.Â
Aksi yang di motori oleh Mahasiswa dan beberapa aktivis berdemontrasi menolak pengesahaan revisi UU KPK  yang di anggap akan melemahkan KPK dalam penanganan korupsi dan RUU KHUP yang di klaim beberapa pasal di dalamnya berpotensi menjadi pasal karet atau dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas, sehingga berpotensi merugikan bagi masyarakat Indonesia. Menanggapin hal tersebut Penulis berpendapat bahwa, Aksi mahasiswa tersebut adalah  konstitusional.Â
Kemudian Sahabat Penulis menyampaikan pandangannya  terhadap Polri  yang dianggap tidak adil dalam mengamankan demonstran yang diduga berdasarkan beberapa video yang beredar di media online  bahwa terlihat anggota Polri  melakukan tindakan memukul terhadap demonstran. Sahabat mempertanyakan apakah tindakan polri itu telah melanggar  aturan  yang  berlaku, dan apakah Polri telah  menyalahi aturan ketika menggunakan  water cannon atau gas air untuk meredam aksi dari pendemo.
Penulis sadar betul bahwa citra Polri sedikit buruk di mata masyarakat oleh ulah beberapa oknum polisi, akan tetapi secara kelembagaan penulis meletakkan hormat dan penghargaan yang setinggi tingginya  kepada pihak kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah mampu menertipkan dan mengamankan dan melaksanakan perintah UU sehingga tetap dapat menjaga bingkai  persatuan dan kesatuan NKRI.
Penulis berpendapat bahwa aksi Mahasiswa yang berdemonstran adalah wujud reaksi positif yang harus kita banggakan, karena kita masih dapat melihat semangat positif Mahasiswa dan generasi-generasi muda Indonesia yang tidak luntur dan tetap melibatkan dirinya terhadap proses-proses yang terjadi dalam negara ini .Â
Akan tetapi untuk menjelaskan ektensifikasi judul yang dipilih oleh penulis dan untuk menjawab tentang pandangan sahabat penulis mengenai citra polisi, maka penulis memberikan pandangan terhadap aksi demo mahasiswa dan  aksi perusuh berkedok demonstran, dan untuk itu sebelum penulis menulis pandangan, penulis meminta pengusutan kasus Randi (21), mahasiswa semester VII Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, tewas setelah tertembak peluru tajam di bagian dada sebelah kanan saat berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra), yang berakhir ricuh, Kamis (26/9/2019). Randi terkena tembak di depan BPR Bahteramas, Jalan Abdullah Silondae, Kelurahan Mandonga, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, atau sekitar 500 sampai 600 meter dari Gedung DPRD Sultra. Kapolda Sultra Brigjen (Pol) Iriyanto mengakui bahwa Randi tewas akibat tertembak peluru tajam dan pihak Keluarga menuntut pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Berdasarkan berita Liputan 6 (02/10/2019)
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat dan belangsukawa saya, penulis menyampaikan duka terdalam serta memanjatkan doa terhadap para mahasiswa pejuang yang telah gugur.
Penulis mengamati beberapa video yang beredar serta informasi dari beberapa media mainstream yang  sophisticated, yang memiliki integritas tinggi dan dedikasi terhadap dunia pers yang konsistensinya dalam pemberitaan sudah tidak diragukan lagi dan dengan profesional telah membuat pemberitahaan dari segala pihak termasuk berita klarifikasi pihak terkait tentang DEMONSTRASI yang berakhir rusuh.
Berdasarkan pengamatan penulis merujuk Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum  ("Perkapolri 7/2012"), Kegiatan demonstrasi haruslah terlebih dahulu disampaikan kepada pihak kepolisian selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dilakukan dan memberikan pemberitahuan mengenai waktu kegiatan, tempat, rute, alat alat praga serta jumlah pendemo kepada pihak kepolisian.
Aksi demo yang dilaksanakan oleh mahasiswa konstitusional apabila sesuai dengan aturan yang ada, penulis menilai aksi yang dilaksanakan oleh mahasiswa adalah konstitusional akan tetapi aski itu  ketika sore hingga dini hari berubah menjadi rusuh dan mencekam serta telah membahayakan dan kebebasan orang lain, dugaan polisi itu terjadi ketika ada tindakan provokasi yang dilakukan oleh  oknum yang oleh penulis disebut perusuh yang melempari dan merusak serta  melakukan aksi membakar yang akhirnya  membuat polisi mengambil tindakan preventif dan pengamanan dengan menembakan gas air mata (water cannon) yang tata cara pengunaannya telah di atur dalam perkap nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pihak Kepolisian menjelaskan bahwa tindakannya sudah sesuai dengan UU dan tidak ada yang aturan yang dilanggar. Polisi harus siap dan sigap terhadap segala potensi terjadinya  masalah yang lebih besar. Polisi menyatakan para perusuh yang berkedok demonstran tidak lagi fokus terhadap tujuannya untuk menyampaikan anspirasi  tetapi adanya upaya  memantikkan dan mentrigger keributan. Sehingga pihak kepolisian menyatakan bahwa  anggota Polri melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap perusuh bukan kepada berdemonstran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H