Indonesia itu inspirasi. Indonesia itu tempat jiwa bersemi. Kini Indonesia ternodai. Caci, dengki, korupsi hiasi beranda kami. Mayoritas unjuk gigi. Minoritas dibenci. Nyaris tak diberi tempat lagi.
Airmata menetes dari ibu pertiwi. Ada yang bersimpati. Indonesia adalah rumah. Kami tak mau menyerah kalah. Sekuat tenaga kami jaga, karena Indonesia tempat kami menutup mata.
Indonesia itu prasasti. Ragam imajinasi terpatri mewujud dalam satu kata: Indonesia.
Ragam suku melebur demi cita-cita: persatuan Indonesia.
Itu dulu. Kini seolah-olah tiap suku berlomba jadi juara. Juara di atas penderitaan sesama. Ah, tak terasa bola mataku berkaca-kaca.
Persatuan Indonesia kini hanya bualan semata. Sebagai sesama warga bangsa telah lupa cucuran darah para pendiri bangsa. Mereka berjuang tanpa pamrih hingga habis usia.
Sungguh tak mudah mencintai Indonesia kini. Satu sama lain mudah terbersit curiga.
Pajak rakyat dikorupsi tiada henti. Pemimpin bekerja sepenuh hati, justru direcoki.
Tiap kebijakannya dinyinyiri seolah mereka ambil keuntungan pribadi.
Berat memang kini memelihara harapan di tengah segala ketidakpastian melanda Indonesia. Kubergegas merapikan segala kenangan nestapa.
Bersiap menyingsingkan lengan baju, memberikan kontribusi untuk Indonesia semakin maju.