Kuyu. Berbeban berat. Kedua tangan memegang barang perlengkapan sekolah. Ditambah beban dua kali lipat terletak di punggung. Itulah sebagian potret peserta didik di Republik Indonesia. Sejatinya wajah masa depan suatu bangsa tergambar pada anak-anak kini yang bersekolah.
Lalu, lihatlah wajah mereka saat memasuki gerbang sekolah dan kelas. Cukup sukar menemukan wajah-wajah gembira nan ceria pada diri mereka. Penanda pertama dapat dilihat dengan tas sekolah mereka yang berat untuk tataran usianya.
Kini kerap ditemukan tas punggung atau tas seperti koper berisi macam-macam pendukung pembelajaran yang memperlambat gerak anak-anak peserta didik. Penggambaran tentang peserta didik yang dari rumah sudah terbebani dengan ragam barang bawaan yang memberatkan cukup dapat membayangkan wajah-wajah mereka.
Nyaris jarang tersenyum. Berjalan tanpa sempat bertegur sapa dengan teman atau guru yang berpapasan. Barang bawaan sekolah di punggung dan tentengan di tangan sudah menyulitkan awal hari mereka. Penuh beban. Nyaris tiap hari.
Awal yang kurang baik ini terus terbawa hingga mereka masuk belajar di dalam kelas. Keceriaan dan kreativitas mereka semakin menyusut, apabila guru-guru yang mengajar masih menganut pendekatan konvensional. Pendekatan tersebut menganggap bahwa peserta didik sebagai kertas putih yang belum memiliki pengetahuan sebelumnya.
Guru sebagai titik pusat dalam pendekatan pemelajaran tersebut. Guru yang aktif, sedangkan peserta didik pasif semata. Pemelajaran konvensional semacam itu akan semakin membebani peserta didik. Mereka semakin menganggap bahwa sekolah sudah memasung keceriaan dan kreativitas. Waktu pun seolah berjalan lambat yang dirasakan peserta didik dalam suasana pemelajaran konvensional.
Penderitaan Berlipat
      Beban akibat barang bawaan, beban akibat pemelajaran konvensional yang memasung kemerdekaan belajar kadang masih ditambah lagi dengan beban sosial berupa perisakan, atau intimidasi dalam pergaulan di sekolah semakin menambah penderitaan berlipat bagi peserta didik.
      Penulis pernah mendampingi pemelajaran kelas X dan XI di sekolah swasta daerah Tangerang. Selain mengajar di kelas, kadang sebagai guru ada beberapa murid yang sering curhat tentang permasalahan diri. Kadang tentang PDKT ke gebetan, masalah relasi dengan orangtua, kesulitan mengikuti suatu mata pelajaran. Curhat murid kepada guru tidak pernah terencana. Murid memiliki radar siapa saja guru yang layak mendengar curhat mereka. Kebetulan penulis sering bergabung bersama mereka seperti bermain bola basket, futsal, makan/ nonton bareng.
      Kala bersama tersebut para murid yang ingin curhat segera mendekati penulis. Tanpa diminta, mereka akan mulai curhat permasalahannya. Ada satu kasus khusus yang penulis ingat tentang curhat seorang murid. Ia agak terbebani dengan kondisi di rumah. Kedua orangtuanya sering bertengkar hingga mereka saling melontarkan kata bercerai.
      Sesudah mendengar kata bercerai itu, murid tersebut mengalami kemunduran konsentrasi kala pemelajaran. Lambat laun nilai-nilainya melorot. Wajahnya dominan lesu kala sudah berada di sekolah. Berseragam kusut, rambut acak-acakan, dan nyaris tanpa antusiasme.
Krisis Diri
Saluran berkomunikasi kala itu adalah bbm (blackberry messenger). Suatu kali murid tersebut mendatangi penulis untuk bertanya pin bbm. "Saya mau curhat lebih lanjut Pak, ucapnya lirih."
"Saya mau bunuh diri aja Pak, pesan yang ia kirimkan." Isi pesan tersebut sungguh mengagetkan. Segera penulis menenangkan dirinya untuk tidak melakukan tindakan gegabah. Kebetulan penulis pernah berkuliah di STF Driyarkara (Extension Course) sekitar tiga tahun. Bekal ilmu dari STF sungguh berguna saat penulis bergiat di bidang pendidikan. Beragam aliran filsafat yang pernah dipelajari dapat menjadi bekal saat mendampingi murid bertumbuh dan berkembang.
Kasus kehendak bunuh diri seorang murid tersebut membawa memori penulis terhadap pemikiran Arthur Schopenhauer. Dalam buku Kearifan Hidup, Schopenhauer pernah mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia ditentukan oleh kekuatan mentalnya. Meskipun bergelimang harta atau berkuasa atas suatu tahta, semua hal tersebut tidak menjamin kebahagiaan.
Schopenhauer merupakan ahli metafisika Jerman terkemuka dari abad kesembilanbelas. Ia memberikan pengaruh kepada filsuf Friedrich Nietzsche, sastrawan Leo Tolstoy, Richaard Wagner, dan Thomas Mann.
Schopenhauer mengunggulkan keunggulan potensi internal dan kemandirian diri pada diri manusia. Aliran filsafatnya menyuguhkan seni menata hidup demi mencapai kebahagiaan dan kesuksesan tertinggi.
Schopenhauer menegaskan bahwa kebahagiaan bukan tentang hal di luar diri manusia, melainkan terletak di dalam batin atau mental manusia. Untuk kasus murid yang hendak bunuh diri, ia mengalami guncangan hebat sebab orangtuanya selama ini adalah unsur utama kebahagiaannya. Batin murid tersebut terkoyak sangat dalam.Â
Hilang pegangan. Sumber kebahagiaannya (orangtua) selama ini memutuskan untuk bercerai. Si murid otomatis berubah jadi pemurung, cemas, dan lebih imajinatif.
Dalam kekalutannya si murid semakin mengaktifkan imajinasinya. Ia semakin sering berandai-andai. Jika orangtuanya bercerai, lalu bagaimana hidupnya? Semua imajinasi yang berkelebatnya di kepala si murid lambat laun menimbulkan kekacauan permanen hingga berujung pada kelelahan hidup. Mau mati saja!
Kehendak Bunuh Diri
Kelelahan hidup yang dialami si murid berujung pada kehendak bunuh diri. Kehendak tersebut muncul akibat ia merasa tidak bahagia, masa depan yang masih abu-abu, dan bosan menghadapi ketidakpastian hidup.
Kasus si murid ini bercermin menurut teori Schopenhauer bahwa ia mengalami kehendak bunuh diri akibat menguatnya perasaan murung (eksternal). Di titik berbeda, kehendak bunuh diri juga dapat muncul pada seseorang yang sehat dan ceria. Pada seseorang yang sehat dan ceria, kehendak bunuh dirinya terobjektivikasi karena alasan internal.
Sebagian alasan kehendak bunuh diri berdasarkan eksternal, namun kadang ada pula perpaduan antara dorongan ekskternal dan internal. Untuk menepiskan kehendak bunuh diri perlu mencari akar terbesar masalah pendorongnya.
Kasus murid ini lambat laun tergambar jelas apa alasan pendorongnya ia hendak bunuh diri. Penemuan masalah dasar itu memudahkan penulis memetakan solusi untuk membantunya menghapus selama-lamanya kehendak bunuh diri tersebut. Selama tiga bulan penulis rutin mendengar tiap keluh kesahnya baik kala jam istirahat di sekolah ataupun melalui komunikasi bbm.
Penulis menyarankan agar ia keluar dulu dari rumah orangtuanya untuk tinggal di salah satu saudara dari mamanya. Keluar dari rumah perlu dilakukan agar ia menjauhkan diri sementara dari sumber penderitaan dan gangguan emosinya, yakni rumah orangtua. Dengan keluar sebentar dari rumah orangtua, ia dapat belajar tenang dan santai. Kehidupan yang tenang dan santai akan berkontribusi untuk ia belajar melepaskan diri sementara dari kemelekatan.
Schopenhauer mengingatkan bahwa melepaskan kemelekatan berarti manusia belajar untuk semakin banyak melepaskan sesuatu hal yang bergantung di luar dirinya. Semakin manusia dapat lepas bebas, semakin ia dapat merasakan kebahagiaan hakiki dalam diri.
Keluar sementara dari rumah orangtuanya ternyata dapat melepaskan kemelekatan si murid terhadap "kebahagiaan" yang selama ini menjadikannya nyaman.Â
Tindakan keluar sementara tersebut membuat ia belajar mandiri dan belajar mengenali potensi dirinya. Penulis tetap berkomunikasi dengan murid ini hingga ia melupakan kehendak bunuh diri. Ia memutuskan untuk kuliah di bidang musik. Kala keluar sementara dari rumah orangtuanya dulu, ia menemukan ketertarikan besar pada dunia disc jockey (DJ).
Kini murid ini sudah eksis sebagai DJ. Ia pentas di dalam dan luar negeri. Tak ada yang tahu bahwa dahulu ia pernah memiliki kehendak untuk bunuh diri.Â
Bekal ilmu filsafat Schopenhauer menolong penulis untuk membantunya menjadi penyintas. Sebab Schopenhauer menegaskan bahwa syarat kebahagiaan bersumber dalam diri.Â
Si murid sudah menyadari bahwa berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu, maka ia mudah melepaskan kemelekatan. Lambat laun kebahagiaan yang hakiki tetap dapat ia rengkuh, meskipun kabar terakhir bahwa orangtuanya resmi bercerai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H