Agama memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila menegaskan tentang fakta tersebut, Ketuhanan yang Maha Esa. Faktor agama di Indonesia dapat menjadi pemersatu, namun kadang menjadi hal sensitif yang dapat menyinggung suatu kalangan dalam masyarakat. Salah satu contoh betapa dahsyatnya kekuatan agama terjadi saat Fatwa Jihad pada 17 September 2017. Fatwa tersebut dikeluarkan, karena Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Kekuatan agama dalam kehidupan rakyat Indonesia disadari oleh Bung Karno. Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum agar rakyat Indonesia siap membela tanah air hingga titik darah penghabisan. Tepat 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah. Berkat fatwa tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dilandasi oleh fatwa tersebut membuat rakyat semakin berani untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.
Betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang, bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi. Resolusi Jihad berisi bahwa hukum membela tanah air adalah fardhu ain bagi setiap umat Islam di Indonesia. Selain itu, Resolusi Jihad juga menegaskan bahwa muslimin yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tidak dapat dipisahkan dari Resolusi Jihad. Dua minggu setelah Resolusi Jihad tersebut terjadilah pertempuran 10 November 1945. Berkat Resolusi Jihad, rakyat Surabaya penuh semangat dan siap bertaruh nyawa untuk melawan penjajah Belanda. Resolusi Jihad lahir kala Rais Akbar NU, Hasyim Ashari memanggil konsul NU se-Jawa dan Madura untuk rapat besar pada 21 dan 22 Oktober 1945. Kekuatan Resolusi Jihad sebagai penggerak bagi rakyat kala itu, karena dipengaruhi budaya santri. NU dengan dukungan pondok pesantren yang tersebar hingga ke pelosok pedesaan mampu mengelorakan pesan Resolusi Jihad tersebut.
Dalam budaya pondok pesantren masih terdapat sebagian besar masyarakat muslim Indonesia yang menganggap pondok pesantren dengan kyainya sebagai acuan utama dalam kehidupan keberagamaan maupun kemasyarakatan. Maka kala lahir Resolusi Jihad masyarakat dengan sukarela berjuang hingga titik darah penghabisan, para santri dan pemuda berjuang dalam barisan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sedangkan, para kiai berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH. Wahab Abdullah.
Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan. Tepat sekali sila pertama dalam Pancasila menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa. Landasan keimanan atau keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam konteks kehidupan rakyat Indonesia.
Contoh Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme, bahkan agama bisa menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antar warga dalam memperjuangkan agenda bangsa atau agenda yang memaslahatkan umat.
Santri Zaman Now
 Pencapaian pondok pesantren dalam mewarnai kehidupan bangsa Indonesia hingga kini tetap kemilau. Untuk menginformasikan beragam pencapaian dalam konteks kekinian, maka digelarlah Pameran Pendidikan Islam Internasional (International Islamic Education Exhibition). Pameran IIEE berlangsung dari 21 -- 24 November 2017 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang. Pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI menyuguhkan beragam pencapaian pendidikan diniyah dan pondok pesantren.
Dalam Kompasiana Coverage di ajang IIEE, para Kompasianers meliput dengan fokus stan pondok pesantren (pontren). Penulis berdecak kagum dengan beragam hal yang dipamerkan dalam stan-stan pontren. Pontren sungguh adaptif dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi. Dalam pameran tersebut, penulis dibukakan pengetahuannya bahwa santri milenial sungguh sudah berbeda dengan pemahaman yang pernah diungkapkan oleh antropolog Clifford Geertz. Ia menjelaskan makna santri masih dalam konteks sempit, yakni sebagai seorang pelajar sekolah agama yang bermukim di suatu pondok. Selain pemaknaan santri yang masih dalam konteks sempit, terdapat penjelasan yang diperluas tentang makna santri dari KH. Mustofa Bisri, mantan Rais 'Aam PBNU, yakni santri bukan mereka yang mondok saja, tapi siapa pun yang berakhlak seperti santri, dialah santri.
Melalui pameran IIEE 2017 di ICE BSD masyarakat dapat melihat beragam perkembangan pontren dan menyaksikan ragam program pontren yang semakin adaptif terhadap perkembangan zaman. Kebetulan dalam Kompasiana Coverage di IIEE, Kompasianers berkesempatan mewawancarai Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) Kementerian Agama RI, Dr. Achmad Zayadi mengungkapkan bahwa dalam hal kuantitas, setidaknya jumlah pondok pesantren di Indonesia tersebar hampir di setiap penjuru tanah air dari Sabang sampai Merauke kurang lebih 30.000 pontren, dengan jumlah santri tidak kurang dari 4.000.000 orang. Selain itu, ia menegaskan pun masih ada pontren yang tidak terdata di daerah-daerah terpencil dan pelosok.
Dalam wawancara tersebut, Dr. Zayadi juga menyampaikan beragam kekhasan program pontren. Ia menyinggung tentang Santri Writing Summit (SWS) di Universitas Indonesia yang berlangsung dalam memeriahkan Hari Santri Nasional. Acara SWS menyeleksi ratusan esai para santri dari seluruh Indonesia. Para finalis dibekali beragam teknik menulis di UI. Penentuan pemenang SWS melalui penilaian isi dan presentasi esai di hadapan dewan juri. Penulis berkesempatan melakukan wawancara dengan perwakilan stan Santri Nulis. Santri Nulis merupakan penyelenggara SWS. Kegiatan SWS 2017 didukung sepenuhnya oleh PD-Pontren Kemenag RI.
Dalam sesi wawancara, Pak Zayadi sungguh antusias menyampaikan apa saja yang menjadi tujuan dari pameran IIEE. Menurutnya pameran IIEE adalah strategi kebudayaan zaman 'now' dalam mengenalkan kekhasan pontren kepada masyarakat. Beragam acara diselenggarakan agar semakin banyak masyarakat mengetahui tentang pontren. Acara yang mendapat sambutan hangat seperti lomba komik santri, santri writing summit. Selanjutnya, Dr. Zayadi menyampaikan bahwa masyarakat perlu mengetahui beragam stan dalam pameran IIEE bermuara pada Islam ramah. Program-program pontren yang semakin adaptif terhadap dunia digital siap menegaskan posisi Indonesia sebagai destinasi studi-studi keislaman untuk kalangan internasional.
Bila kau bukan anak raja,
juga bukan anak ulama besar,
maka menulislah.
(Imam Al Ghazali)
Santri Nulis bermula dari komunitas yang diinisiasi oleh para santri Pontren Modern Ummul Quro, Bogor. Dari sebuah komunitas lalu Santri Nulis menjelma jadi sebuah penerbitan. Program SWS dari Santri Nulis bahkan tahun 2017 didukung penuh oleh PD-Pontren Kemenag RI. Gerakan literasi dari Santri Nulis yang bermula dari pontren semakin mendapat sambutan hangat baik dari pemerintah maupun para santri se-Indonesia.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Minat literasi para santri semakin membuncah hingga berani dan mampu menerbitkan buku. Gerakan kecil dari Santri Nulis untuk penyadaran literasi di kalangan santri dan pontren semakin berkembang pesat di stan Santri Nulis pada pameran IIEE 2017 sungguh mengundang mata untuk berkunjung dan berlama-lama melihat beragam buku yang sudah diterbitkan oleh Santri Nulis. Beragam buku karya para santri berbaris rapi di rak stan Santri Nulis. Penulis berkesempatan bertanya seputar Santri Nulis kepada Mbak Esa. Ia merupakan salah satu yang menjaga stan Santri Nulis dan siap menjelaskan beragam program kepada para pengunjung. Ia pun mengungkapkan di balik ide kreatif Santri Nulis adalah Ustad Saiful Falah.
- Santrinulis Training Center merupakan pusat pelatihan yang memiliki visi mencetak generasi muslim yang bermanfaat dan bermartabat.
- 30 Hari Menulis Buku (HMB) merupakan pelatihan menulis daring (online) di santrinulis.com. Selama 30 hari peserta dituntut menulis.
- Kelas Menulis Intensif (KMI) merupakan pelatihan menulis untuk menghasilkan buku. Peserta pelatihan dibimbing perpaduan antara luring (offline) dan daring.
- Santri Writer Summit (SWS) merupakan ajang literasi santri nasional terbesar. Peserta diseleksi dari seluruh Indonesia.
- Santrinulis Publishing merupakan penerbitan dengan sistem self publishing.
Selain lima program tersebut, Santri Nulis pun telah memberikan pelatihan baik kepada santri maupun umum di berbagai tempat seperti Yogyakarta, Banten, Aceh, hingga Malaysia.
Gerakan literasi yang dilakukan oleh Santri Nulis sungguh memiliki prospek cemerlang. Ragam kegiatan Santri Nulis semakin menunjukkan bahwa para santri siap berkarya dalam era digital. Kelak dari Santri Nulis, puan dan tuan pembaca jadi saksi terlahirnya penulis-penulis luar biasa yang mewarnai jagat literasi di Indonesia.
verba volent scripta manent
(Apa yang terkatakan, akan segera lenyap.
Apa yang tertulis akan menjadi abadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H