Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berasuransi Siapa Takut?

14 April 2015   17:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedia payung sebelum hujan, ungkapan yang kerap didengungkan untuk memberikan peringatan kepada manusia bahwa ada kejadian dalam hidup yang tak terduga dan di luar prediksi. Sedia payung sebelum hujan ibarat melakukan tindakan preventif. Sekitar tahun 2000an seorang teman mendapat kabar mengejutkan bahwa ayahnya masuk rumah sakit. Padahal di pagi hari mereka masih sarapan bersama. Ia langsung mengajak ibunya untuk mengecek keadaan ayahnya. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mereka mendapati ayah tercinta sudah tak bernyawa.

Di rumah sakit petugas kepolisian tampak bingung memulai darimana menceritakan kronologis peristiwa. Singkatnya, sang ayah berangkat bekerja. Di tengah perjalanan terjadi kejadian naas. Sang ayah terlibat kecelakaan. Keterangan polisi, motor sang ayah terserempet dari belakang yang menyebabkan korban terpental sekitar 1 meter. Trauma di bagian kepala yang menyebabkan korban mengalami gegar otak berat. Dalam perjalanan ke rumah sakit korban meregang nyawa. Kisah teman saya tersebut diceritakan, ketika saya menelponnya satu hari setelah kejadian.

Tak tahu apa yang menggerakkan, kala itu saya ingin menelponnya. Kami cukup sering bercakap-cakap dalam telpon. Kami berkenalan dalam acara lintas kampus. Keakraban acara tersebut mampu mencairkan sekat-sekat antar kampus. Sebelum acara usai, banyak dari peserta yang saling bertukar nomor telpon. Rentang antara keakraban acara tersebut, saling bertelpon hingga kabar duka ayahnya tak sampai satu bulan. Begitu cepat kehidupan bergulir. Hidup dan maut betul-betul kuasa sang pencipta. Hal yang cukup menyedihkan dari peristiwa berpulang ayahnya adalah hilangnya tulang punggung keluarga. Ibunya ibu rumah tangga dengan 1 anak yang sedang di jenjang kuliah dan anak bungsu masih di jenjang SMP. Terakhir kabar yang saya dengar kehidupan keluarganya ditanggung secara bergantian oleh kerabat almarhum ayahnya, sedangkan teman saya terpaksa berhenti kuliah. Ia bersedia dinikahkan oleh laki-laki yang sanggup meringankan perekonomian keluarganya.

Pentingnya Asuransi

Kehilangan tulang punggung keluarga yang tak terduga ibarat langit runtuh bagi siapapun yang mengalami. Sedia payung sebelum hujan penting dilakukan apabila hal-hal tak terduga yang merenggut nyawa sang tulang punggung keluarga. Keluarga yang ditinggalkan secara tiba-tiba tanpa pegangan uang ibarat memutus nadi perekonomian keluarga. Hidup seolah berhenti. Perlu mengatur ulang pengeluaran. Pentingnya asuransi baru terpikirkan kala suatu peristiwa tak terduga terjadi.

Kisah salah seorang agen asuransi yang juga merupakan agen asuransi saya perlu disimak. Salah satu kliennya ditinggalkan mendadak oleh sang suami. Dengan anak dua orang yang masih kecil dan status ibu rumah tangga serta ditinggal mendadak tulang punggung keluarga bagai tersambar petir di siang bolong. Dua bulan setelah suaminya berpulang, kehidupan perekonomian mereka morat-marit hingga pada suatu sore seorang laki-laki yang tak dikenal mengetuk pintu rumahnya. Memperkenalkan diri sebagai agen sebuah asuransi ternama sang agen terkejut karena nyaris kosong keadaan dalam rumah.

Perabotan rumah nyaris tak bersisa. Kelemahlembutan sang agen asuransi menghapus kekuatiran si tuan rumah. Selain itu, kabar mengejutkan menghampiri keluarga tersebut bahwa kedatangannya untuk meminta maaf, karena baru mendengar kabar kepergian suaminya sehingga agak terlambat menyerahkan tanggungan asuransi kepada mereka. Tetesan airmata haru membasahi pipi si ibu. Ternyata sang suami sudah “sedia payung sebelum hujan”. Kekuatiran ibu tersebut akan masa depan keluarga perlahan sirna. Sekelumit kisah ibu tersebut merupakan kisah yang diceritakan agen asuransi saya, ketika saya hendak membuka polis asuransi. Kisah tersebut makin membulatkan tekad saya untuk mempunyai asuransi.

Beratnya Berasuransi

Ketakutan terbesar berasuransi dilandasi oleh akan berkurangnya penghasilan tiap bulan akibat kewajiban untuk membayar polis. Selain itu, ada kisah teman saya yang membayar polis asuransi sebesar 300 ribu Rupiah per bulan hangus setelah dua tahun, karena mengalami masalah keuangan sehingga tak dapat lagi secara rutin membayar polis. Saat teman saya ingin menutup asuransi tersebut dan menarik dana asuransinya seolah dipersulit oleh si agen asuransi. Akibat kesal dipersulit, maka teman saya terpaksa merelakan uang asuransi yang sudah dibayar selama kurun waktu 2 tahun.

Calon nasabah enggan berasuransi, karena mendapat informasi bahwa terdapat oknum agen asuransi yang hanya mengejar target semata, namun cenderung mengabaikan relasi dengan pemegang polis, terutama saat pemegang polis asuransi hendak bertanya atau hendak mengajukan klaim. Kabar yang kerap didengar adalah oknum agen asuransi mempersulit pemegang polis untuk mengajukan klaim. Beruntung sekali informasi negatif tersebut tak terlalu memengaruhi saya. Sebelum memutuskan berasuransi saya mencari informasi perusahaan informasi yang ternama, terpercaya dan agen-agen yang lebih mengedepankan relasi kemanusiaan bukan semata relasi ekonomi.

Awal Kisah Berasuransi

Bangsa Eropa termasuk bangsa yang melek asuransi. Untuk menyeleksi calon menantunya sang mertua di Eropa menanyakan apakah mereka memiliki asuransi. Bagi keluarga-keluarga di Eropa asuransi adalah suatu kebutuhan primer. Kegagalan dalam seleksi saat hendak meminang anak mereka dapat disebabkan si calon menantu belum memiliki asuransi. Sebaliknya, asuransi belum menjadi kebutuhan di Indonesia.

Sebagian pemegang polis asuransi di Indonesia berasuransi bukan dilandasi karena kesadaran pribadi. Sebagian besar karena diharuskan oleh bank atau lembaga pembiayaan. Menurut data dari AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia) baru sekitar 20% persen dari total aset di Indonesia yang dilindungi asuransi. Selain itu, menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) terungkap pada kuartal II-2013 total tertanggung asuransi jiwa baru 54,55 (87,19 juta orang). Rekaman data AAUI dan AAJI menandakan kesadaran berasuransi belum mengakar di masyarakat Indonesia.

Kesadaran saya untuk berasuransi mulai tumbuh, karena mendengar kisah keluarga teman yang mengalami kesulitan ekonomi akibat ditinggal mendadak tulang punggung keluarga tanpa bekal atau pegangan yang mencukupi untuk melanjutkan roda kehidupan. Tahun 2006 saya mulai bekerja di institusi pendidikan. Hanya 3 bulan saya menikmati gaji secara utuh. Bulan keempat saya memutuskan mengikuti polis asuransi dari perusahaan asuransi terbesar dan ternama dari dataran Inggris. Perbulan 500 ribu. Kebutuhan memiliki rumah pun muncul setelah bekerja. Tepat di tahun 2014 pengajuan kredit rumah disetujui oleh pihak bank.
Nikmatnya Berasuransi

Masalah muncul, karena uang muka rumah kurang. Teringat pada polis asuransi saya yang sudah lewat dari 5 tahun. Kebetulan polis asuransi saya bukan hanya asuransi jiwa, melainkan juga terdapat instrumen investasi.

Segera saya menghubungi agen asuransi untuk menanyakan apakah bisa mengambil uang asuransi untuk tambahan uang muka rumah. Tanpa bertele-tele ia menanyakan berapa uang yang hendak diperlukan. Lalu, ia mencatat nomor rekening bank untuk pihak asuransi mentransfer. Selang dua hari ada SMS masuk dari pihak asuransi yang memberitahukan sudah mentransfer dana yang saya butuhkan. Akhirnya uang muka rumah dapat saya lunasi.

Selain asuransi pertama, saya juga memiliki asuransi kedua sejak tahun 2012 dari sebuah perusahaan asuransi yang 80% sahamnya dimiliki oleh pihak Australia. Sang agen asuransi berhasil membujuk saya untuk menyisihkan uang 10 ribu perhari dikalikan 30 hari, itulah polis asuransi kedua yang saya beli. Kedua asuransi tersebut merupakan salah satu cara “sedia payung sebelum hujan” alias untuk berjaga-jaga.

Kedekatan sang agen dengan calon nasabah yang berbicara dari hati ke hati merupakan faktor penambah hingga membulatkan tekad saya untuk berasuransi. Masih rendahnya kesadaran berasuransi dan kepemilikan polis asuransi di Indonesia menjadi tantangan industri asuransi. Apakah perusahaan asuransi mampu mengedukasi penduduk di Indonesia untuk lebih menyadari terhadap pentingnya berjaga-jaga? Selain itu, apakah para agen asuransi sebagai ujung tombak terdepan mampu membujuk dan berbicara dari hati ke hati pada para calon nasabah asuransi? Jika mampu, maka bukan hal yang mustahil tiap penduduk di Indonesia memiliki satu polis asuransi. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun