(Tulisan ini terinspirasi sepenuhnya oleh tulisan Tu Wei-ming, “Beyond the Enilightenment Mentality”, dalam Mary Evelyn Tucker et.al. (ed.), Worldviews and Ecology,Orbis Books, 1994, khususnya h. 19 dst.)
“Mentalitas pencerahan” (Enlightenment Mentality) yang berkembang di Eropa pada abad ke-18, menurut para kritikus menjadi penyebab bencana ekologis dewasa ini. Mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya. Hal ini mendorong manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam). Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal – sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi kehidupan manusia secara keseluruhan termasuk dalam relasinya dengan alam. Implikasi dari mentalitas inilah yang membawa kehancuran bagi alam serta mengancam keberlangsungan hidup manusia sendiri.
Mentalitas pencerahan menempatkan manusia sebagai pusat, mendorong manusia untuk terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan dirinya. Eksplotasi yang berlebihan atas alam menyebabkan kerusakan ekologis dan lingkungan hidup yang parah.
Berita bencana alam pada setiap musim yang kita masuki adalah buktinya. Tidak ada musim tanpa bencana. Pada setiap musim hujan media masa baik cetak maupun elektronik menyuguhkan bagi kita santapan pagi yang sudah menjadi kelaziman selama beberapa tahun terakhir yakni berita banjir dan tanah longsor plus daftar panjang para korban. Sementara pada musim kemarau kepada kita disuguhkan berita kebakaran hutan serta asapnya yang dapat menyebabkan penyakit pernafasan juga memacetkan transportasi khususnya transportasi darat dan udara.
Sejalan dengan itu, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi tema obrolan harian kita di mana saja, baik di ruang-ruang kuliah, ruang seminar, kafe-kafe, dunia maya, ruang makan, sampai obrolan dalam bus kota yang selalu macet dan sumpek. Gambaran tentang dampak pemanasan global bagi bumi bahkan menjadi kisah film yang menarik untuk ditonton. Sebut sebagai contoh film the day after tomorrow yang mengkisahkan dampak pencairan es di kutub bagi peningkatan permukaan air laut yang bisa menghancurkan kota seperti New York misalnya.
Banyak orang prihatin dan cemas akan kondisi lingkungan kita. Banyak pula yang dapat mengidentifikasi penyebab banjir dan tanah longsor serta kebakaran hutan-hutan kita, namun tidak sedikit pula orang yang pura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu karena mereka justru mereguk kenikmatan hidup duniawi di tengah segala macam bencana itu.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas dampak mentalitas pencerahan bagi kelangsungan hidup bumi ini beserta seluruh isinya. Untuk meringkas, saya akan membahas topik tersebut denganalur sebagai berikut. Pertama-tama saya akan membahas apa itu zaman pencerahan dan mentalitas pencerahan. Selanjutnya akan dibahas dampak mentalitas pencerahan itu bagi alam semesta. Setelah itu, akan disampaikan usulan Tu Wei-ming dalam rangka menciptakan suatu tata dunia baru, di mana beliau menekankan pentingnya etika dan nilai serta menganjurkan untuk kembali ke tradisi spiritual dan tradisi-tradisi religius primitif yang dapat hidup dalam harmoni dengan alam.Lalu ditutup dengan kesimpulan ringkas
I.Zaman Pencerahan dan Mentalitas Pencerahan[1]
Keyakinan bahwa rasio merupakan kekuatan manusia yang terpenting pada abad ke-18 menggejala dan menjadi gerakan zaman yang mempengaruhi tidak hanya kehidupan akademis, melainkan juga kehidupan sosial, politis dan kultural. Zaman ini disebut zaman “Aufklärung” atau “pencerahan” dalam bahasa Indonesia. Zaman ini dapat dipandang sebagai akumulasi optimisme pemikiran modern terhadap rasio manusia. Optimisme itu juga sangat banyak dipengaruhi oleh kemajuan pesat yang dicapai oleh ilmu-ilmu alam dan teknologi.[2]
Ide yang mendasari zaman pencerahan adalah mewujudkan kebahagiaan di dunia ini. Para pemikir pada zaman ini sangat yakin bahwa umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini sehingga manusia tidak perlu menunggu-nunggu rahmat atau kehidupan akherat sebagaimana yang diajarkan oleh agama Kristen, melainkan mewujudkannya sekarang di dunia. Dasar dari keyakinan itu adalah pengalaman bahwa berabad-abad dominasi religius tidak menghasilkan kebahagiaan duniawi, melainkan berbagai bentuk ketergantungan dan ketakutan karena kepercayaan naif akan takhyul-takhyul. Menurut pandangan zaman itu, rasio merupakan terang baru yang menggantikan iman kepercayaan, dan rasio ini membawa tidak hanya kebenaran, melainkan juga kebahagiaan dalam hidup manusia (Budi Hardiman 2007: 96).
Definisi Kant tentang Pencerahan diakui sebagai salah satu definisi yang mencerminkan mentalitas pada zaman itu. Kant mendefinisikan pencerahan seperti berikut:
“Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidak-dewasaan (unműndigkeit) yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan untuk menggunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. ... penyebab ketidakdewasaan bukan karena kurangnya akal, melainkan lebih pada soal ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain.[3]
Pencerahan lalu dilihat sebagai suatu kesadaran baru akan tanggung jawab untuk memakai rasio itu, karena jika tidak, kebahagiaan yang dicita-citakan itu tidak akan tercapai. Maka itu semboyan zaman pencerahan “Sapere aude!” (Beranilah berpikir sendiri!) memuat suatu keyakinan bahwa rasio merupakan kemampuan manusiawi yang sentral. Namun kemampuan itu baru menjadi aktual kalau dikaitkan dengan suatu keutamaan, yakni keberanian. Pertautan rasio dan keberanian meradikalkan salah satu ciri modernitas, yaitu kritik. Pertautannya dengan kemajuan juga jelas dalam upaya mengejar kebahagiaan di dunia ini, sebab kebahagiaan harus tampil dalam bentuk kemajuan material. Kemajuan dan perbaikan kodrati manusia bisa dilakukan sampai tak terbatas lewat pengetahuaannya. Sains modern yang telah dirintis oleh Isaac Newton dianggap sebagai sarana ampuh untuk mewujudkan optimisme ini. (Budi Hardiman 2007: 97).
Program zaman pencerahan adalah emansipasi dan kebebasan. Emansipasi maksudnya lepasnya manusia dari ketergantungan pada tradisi dan rasa takut akan tabu-tabu religius. Dengan ini pencerahan mendorong sekularisasi, yakni dibebaskannya bidang-bidang kemasyarakatan dari simbol-simbol keagamaan. Tujuan dari emansipasi dan kebabasan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dimaksudkan sebagai perwujudan nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh dan universal di dalam susunan masyarakat yang adil. Arus pemikiran seperti inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai mentalitas pencerahan.
Apakah mentalitas pencerahan itu? Mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang terkait dengan semangat zaman pencerahan, di mana banyak penulis dan ilmuwan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan rasio jauh lebih penting dari agama dan tradisi. Pendeknya, mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang mengagungkan kemampuan rasio.[4]Atau dengan kata lain dapat dirumuskan sebagai berikut: mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu ada dorongan untuk menguasai alam. Semangat untuk menguasai alam ini mendorong manusia untuk memajukan ilmu dan teknologinya. Manusia selalu berusaha untuk berkreasi dan berinovasi. Dan dampaknya adalah ilmu pengetahuan dan tekhnologi terus berkembang, bukan hanya di Barat tetapi akhirnya terus menyebar ke seluruh belahan dunia. Tujuan dari penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi oleh manusia tidak lain untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”.
Faktor-faktor yang penting bahkan menentukan tumbuhnya mentalitas pencerahan[5] adalah tekanan filsafat Yunanai atas rasionalitas, gambaran Kitab Suci mengenai manusia yang “berkuasa atas ikan di laut, dan atas unggas di udara, dan atas setiap makhluk hidup yang bergerak di atas bumi”, dan apa yang disebut etika kerja Protestan yang secara historis melahirkan semangat kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Utara[6].
Semua nilai yang kita anut sebagai definisi kesadaran modern seperti kebebasan, kesamaan, hak asasi manusia, keluhuran individu, hormat terhadap privasi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, dan proses hukum yang adil, semua itu secara genetis tidak dapat dipisahkan dari mentalitas pencerahan. Pencerahan sebagai kebangkitan manusia, sebagai penemuan kemampuan manusia untuk mengubah dunia, dan sebagai kesadaran akan keinginan manusia untuk menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal, masih merupakan tataran moral paling berpengaruh di dalam kebudayaan politis zaman modern.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam). Hal itu telah menjadi ideologi dominan Dunia Barat moden. Kepercayaan akan kemajuan, akal dan individualisme memacu Dunia Barat modern untuk terus bergerak maju menuju modernitas.
II.Dampak Mentalitas Pencerahan
Modernisasi pada dirinya adalah perwujudan dari mentalitas pencerahan. Modernisasi membawa banyak buah yang baik bagi kehidupan manusia dan menjadi warisan dunia yang tidak lagi bisa diklaim sebagai milik suku, agama, atau bangsa tertentu seperti yang telah disinggung di atas. Dia telah menjadi warisan umum umat manusia[7]. Meski pada saat ini negara-negara industri maju masih didominasi oleh belahan bumi bagian barat, tetapi kita tidak bisa menutup mata akan kemajuan-kemajuan yang dicapai belahan bumi lainnya. Penguasaan teknologi hingga tingkat senjata nuklir dan senjata pemusnah masal saat ini menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru bumi. Pembangunan industri-industri berskala multinasional tidak lagi didominasi negara-negara tertentu. Sejalan dengan itu kemajuan yang dicapai dalam bidang perekonomian, pendidikan, militer, komunikasi, juga pertanian menyebar ke berbagai negara di setiap benua. Kondisi ini menopang terbentuknya apa yang oleh J. Baird Callicott sebagai peradaban industrial global.[8] Paparan ini menunjukkan bahwa mentalitas pencerahan yang dibahas dalam tulisan ini telah menyebar ke mana-mana.
Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal – sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi kehidupan manusia secara keseluruhan termasuk dalam relasinya dengan alam. Mentalitas pencerahan yang menyatakan bahwa “pengetahuan adalah kuasa” (Francis Bacon), tidak terhindarkannya secara histories kemajuan manusia (August Comte), atau “humanisasi alam” (Karl Marx), telah menjadi sumber pemikiran kompetisi sosial Darwinisme. Semangat kompetitif, yang didukung oleh cara membaca yang sangat sederhana atas prinsip survival of the fittest (yang paling dapat menyesuaikan diri yang bertahan), selanjutnya memberi dasar kokoh bagi terjadinya imperialisme baik atas suku, bangsa, budaya, maupun alam. [9]
Pada level ini mentalitas pencerahan memmetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan kekuasaan. Maka eksploitasi baik atas sesama manusia maupun atas alam adalah jalannya. De facto, pertumbuhan hebat dari Dunia Barat modern tidak lepas dari wawasan-wawasan pencerahan seperti kepentingan diri, perluasan, dominasi, manipulasi, dan kendali. Dalam konteks inilah kita bisa pahami ekspansi persaiangan bisnis, industri global, militer, teknologi dan lain-lain dewasa ini.
Peradaban industri global selain membawa banyak kemajuan yang berguna bagi manusia juga membawa sertanya dampak buruk. Sebut saja misalnya buangan limbah industri yang telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun sintetik dan unsur-unsur radioaktif, juga mengintensifkan macam-macam perlakuan yang salah terhadap lingkungan yang sebetulnya telah ada dalam kegiatan manusia pra-industrial. Dengan munculnya kebudayaan manusia industrial dengan jangkauan global, pengaruh manusia pada alam telah meningkat dalam kekuatan, intensitas dan di mana-mana, sehingga dalam skenario terburuk yang dapat dibayangkan, manusia benar-benar merusak lingkungan hidup sekaligus dirinya sendiri.[10]
Berikut ini beberapa ciri-ciri peradaban industrial dalam relasi dengan alam yang membawa dampak buruk bagi alam dan manusia sendiri (tidak semuanya saya ambil)[11]:
- Peran manusia: menaklukan alam, dominasi atas alam, individu vs dunia, superioritas dan angkuh, pengaturan sumber.
- Nilai-nilai dalam hubungan dengan alam: alam sebagai sumber, eksploitasi atau menjaga, antroposentris/humanis, alam punya nilai sebagai alat.
- Pendidikan dan penelitian: disiplin spesialisasi, ‘pengetahuan bebas nilai’, pemisahan sains-kemanusiaan.
- Sistem ekonomi: perusahaan multinasional, mengandaikan kelangkaan, kompetisi, kemajuan tanpa batas, ‘pembangunan ekonomi’, tidak memperhitungkan alam.
- Teknologi: ketergantungan pada bahan bakar fosil, teknologi demi keuntungan, beban sampah berlebihan, eksploitasi/konsumerisme
- Pertanian: Pertanian monokultur, agribisnis, perkebunan pabrik, pupuk kimiawi dan pestisida, hibrida dengan hasil banyak tapi rapuh.
Semua yang disebut di atas menunjukkan bahwa dampak mentalitas pencerahan merasuk ke segala aspek kehidupan dan oleh karena itu maka eskalasi kerusakan alam sebagai akibatnya juga akan sangat luas dan intensif. Dari situ kita dapat melihat bahwa keberlangsungan hidup kita, alam beserta seluruh ekosistem di dalamnya benar-benar terancam.
III.Kebutuhan Akan Suatu Tata Dunia Baru
Dengan ungkapan yang sangat menarik Tu Wei-ming menggambarkan dengan baik dilema antara mewujudkan impian manusia dan hasratnya untuk terus maju dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan bidang-bidang lainnya dengan realitas bumi tempat hidup ini berlangsung. Dia mengatakan, “kita dapat menatap bintang-bintang yang jauh, tetapi kita berakar di sini di bumi dan telah benar-benar menyadari kerapuhannya dan semakin hati-hati dengan kerentanannya.” Kemudian dia melanjutkan, “karena cakrawala pengetahuan kita berkembang, kita belajar bahwa ada batas-batas bagi kecepatan dan kuantitas pertumbuhan ekonomi kita, bahwa sumber-sumber alam dapat habis, bahwa kemerosotan lingkugan kita mempunyai akibat-akibat yang menghancurkan bagi keseluruhan masyarakat manusia, bahwa kehilangan gen-gen, spesies-spesies, dan ekosistem secara serius membahayakan keseimbangan sistem penyangga kehidupan kita, dan bahwa syarat minimum bagi keberlangsungan hidup manusia menuntut tindakan nyata atas hidup yang berkelanjutan di dalam masyarakat yang amat terindustrialisasi.”[12]
Kesadaran ini mendorong banyak pihak seperti para ekolog, insinyur, ekonom, dan ahli ilmu bumi yang berwawasan lingkungan (baca: jauh ke depan) untuk mengembangkan suatu kesadaran diri kritis secara komunal untuk “menyelamatkan bumi di ruang angkasa” (saving spaceship earth), telah menghimbau para penyair, rohaniwan, seniman, dan filsuf agar berpartisipasi aktif dalam kerja sama intelektual dan spiritual untuk membuat habitat kita, rumah kita, aman bagi generasi mendatang. Kebutuhan untuk memusatkan perhatian kita pada etika, nilai, dan agama sebagai cara “memelihara planet dan mengurangi tingkat pemiskinannya” sungguh mendesak.[13]
Untuk memelihara planet kita, Tu Wei-ming[14] melihat dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penguatan etika[15] dan nilai, dan kedua, kerja sama spiritual. Dari segi etika Tu melihat bahwa etika yang sama sekali berbeda atau sistem nilai baru yang terpisah atau bebas dari mentalitas Pencerahan tidaklah realistis dan tidak autentik. Artinya kita hanya tinggal membenahi apa yang diabaikan oleh proyek pencerahan karena terlalu fokus pada upaya untuk kepentingan diri. Kemudian kita perlu menyelidiki sumber-sumber spiritual yang dapat membantu kita memperluas jaringan proyek Pencerahan, memperdalam kepekaan moralnya, dan, bila perlu, secara kreatif mengubah kekangan-kekangan turun-temurun untuk seutuhnya mewujudkan kemampuannya sebagai suatu pandangan dunia bagi komunitas manusia secara keseluruhan.
Tu mensinyalir bahwa kerusakan masif yang diakibatkan oleh mentalitas Pencerahan disebabkan oleh tidak adanya ide mengenai komunitas, apalagi komunitas global. Persaudaraan, yang merupakan ekuivalen fungsional komunitas dari ketiga keutamaan utama dari Revolusi Prancis, kurang diperhatikan di dalam pemikiran ekonomis, politik, dan sosial Dunia Barat modern. Kesediaan untuk membiarkan ketidaksamaan, kepercayaan akan kekuatan demi kepentingan diri, dan egoisme yang merajalela telah meracuni kehendak baik kemajuan, akal, dan individualisme. Maka itu, Tu melihat bahwa untuk menciptakan suatu tata dunia baru pertama-tama perlu dirumuskan maksud universal bagi pembentukan suatu komunitas global. Maksud universal bagi pembentukan suatu komunitas global dapat mengganti prinsip kepentingan diri dengan suatu perintah emas yang baru (yang sejatinya sudah tercantum dalam Alkitab): “Janganlah melakukan bagi orang lain apa yang anda tidak ingin orang lain lakukan bagimu”. Perintah emas yang dirumuskan secara negatif ini perlu ditambahkan dengan prinsip positif: “Untuk menegaskan diri, saya harus membantu orang lain menegaskan dirinya; untuk membentuk diri, saya harus membantu orang lain membentuk dirinya.” Dalam konteks penyelamatan lingkungan dari bahaya tambang di Manggarai dapat dirumuskan demikian, “untuk merasakan nikmatnya hidup di alam yang sejuk, kaya akan air minum, pantainya yang indah, adatnya yang terjaga, saya harus membantu orang lain untuk merasakan nikmatnya hidup di alam yang udaranya sejuk, kaya akan air minum, pantainya indah, dan adat-istiadatnya yang terjaga”. Merasa menjadi bagian komunitas, berdasar kesadaran moral yang kritis dan reflektif serta berperhatian ekologis, mungkin muncul sebagai hasilnya.[16]
Tu menunjukkan tiga sumber spiritual[17] yang dapat menjamin visi sederhana tadi. Sumber pertama, meliputi tradisi-tradisi etik-religius Dunia Barat modern, khususnya filsafat Yunani, Yudaisme, dan Kristianitas. Kenyataan bahwa ketiganya telah membantu melahirkan mentalitas pencerahan mendorong mereka memeriksa kembali hubungan mereka dengan munculnya Dunia Barat modern untuk menciptakan ruang lingkup publik baru dalam penilaian nilai-nilai khas Barat. Konsekuensi-konsekuensi negatif yang tidak diinginkan dari munculnya Dunia Barat modern sangat merongrong makna komunitas yang implisit di dalam ide Helenistik mengenai warga negara, dalam ide Yudais mengenai perjanjian, dan dalam ide Kristiani mengenai kasih universal yang secara moral berbentuk perintah bagi tradisi-tradisi besar ini untuk merumuskan kritik mereka atas antroposentrisme yang sangat mencolok melekat dalam proyek Pencerahan.
Sumber spiritual kedua, peradaban Hinduisme, Jainisme, Taoisme di Asia Timur, dan Islam. Tradisi-tradisi etik-religius ini menyediakan sumber-sumber yang lengkap dan dapat dipraktekkan dalam pandangan-dunia, upacara, lembaga, model pendidikan, dan pola hubungan manusia. Asia Timur yang industrial, di bawah pengaruh budaya Konfusian, telah memperkembangkan suatu peradaban modern yang kurang bermusuhan, kurang individualistik, dan kurang berkepentingan diri.
Sumber spiritual ketiga, melibatkan tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi religius Amerika Asli, Hawai, dan sejumlah suku asli, termasuk di sini tradisi dan adat-istiadat Manggarai secara khusus filosofi hidup orang Manggarai “mbarun one lingkon pe’ang”. Filosofi ini dengan sangat jelas menekankan pentingnya membangun kehidupan yang harmoni dengan alam. Orang Manggarai tidak bisa lepas sama sekali dari alam, dari uma bate duat-nya. Cara berada orang Manggarai di bumi ini adalah keterikatan antara rumah dan lingko sebagai tempat dari mana mereka memperoleh kehidupan[18]. Tradisi-tradisi ini telah menunjukkan dengan kekuatan fisik dan keindahan estetik bahwa hidup manusia dapat bertahan sejak Zaman Neolitik.
Bentuk khas tradisi-tradisi asli adalah suatu pemahaman mendalam dan pengalaman keberakaran. Masing-masing tradisi religius asli ditanamkan pada tempat konkret yang menyimbolkan suatu cara pemahaman, gaya berpikir, cara hidup, dan sikap, serta pandangan-dunia. Hasil dari keberakaran orang-orang primitif pada lokalitas yang konkret adalah pengetahuan mereka yang akrab dan detail mengenai lingkungan mereka; bahkan batas antara habitat manusia dan alam ditiadakan. Di dalamnya ada kesadaran akan ketimbal-balikan dan saling menerima atara dunia antropologis dan kosmos. Maka, yang kita perlu pelajari dari mereka adalah penataan kembali secara mendasar cara menangkap, berpikir, dan hidup kita; kita sangat membutuhkan suatu sikap baru dan suatu pandangan-dunia baru.
Selain itu, aspek lain yang dapat kita petik dari cara hidup primitif adalah penyatuan di dalam interaksi manusiawi sehari-hari. Megikuti karakterisasi Huston Smith, apa yang mereka tunjukkan adalah partisipasi bukannya kendali dalam motivasi, pemahaman empatik bukannya pemahaman empirisis dalam epistemologi, hormat terhadap yang transenden bukannya dominasi atas alam dalam pandangan-dunia, dan kepenuhan bukannya keterasingan dalam pengalaman manusia.[19]
Dengan menjalankan praktek hidup yang mengombinasikan etika dan nilai serta unsur-unsur spiritualitas maka diharapkan manusia secara mendalam disatukan dengan alam: bersaudara dengan semua makhluk hidup di planet Bumi dan secara sistematik saling terkait dengan mereka.
IV.Kesimpulan
Saya ingin menutup tulisan ini dengan membuat beberapa kesimpulan ringkas seperti berikut:
Pertama, Mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu ada dorongan untuk menguasai alam. Semangat untuk menguasai alam ini mendorong manusia untuk memajukan ilmu dan teknologinya. Maka, ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam).
Kedua, Mentalitas pencerahan seperti yang digambarkan di atas memetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan kekuasaan. Jalan menuju persaiagan demi kekayaan dan kekuasaan adalah eksploitasi baik atas alam beserta isinya maupu atas sesama manusia. Eksploitasi pada dirinya tidak pernah adil terhadap objek yang dieksplotasi.
Ketiga, Eksplotasi yang masif dan ekskalatif atas alam terang saja menyebabkan ketidak-seimbangan ekosistem alam dan kerusakan alam yang parah. Sebagai contoh, buangan limbah industri telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun sintetik dan unsur-unsur radioaktif; Perusakan hutan atau usaha pertambangan meninggalkan kehancuran atas alam dan komunitas manusia sendiri.
Keempat, Untuk memulihkan alam, atau paling tidak untuk mempertahankan eksistensinya seperti sekarang ini diperlukan adanya suatu upaya konkret untuk penguatan kesadaran akan komunitas (global) dan hubungan kesaling-tergantungan antara alam beserta seluruh isinya dengan manusia. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran akan etika dan nilai dalam relasi dengan alam serta kerja sama spiritual antara berbagai tradisi spiritual seperti tradisi spiritual Yunani kuno, Yudaisme dan Kristianitas di Barat dengan Asia dan Asia Timur yakni peradaban Hinduisme, Jainisme, Taoisme, dan Islam serta tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi religius masyarakat lokal seperti Manggarai, Timor, Dayak, Amerika Asli, Hawai, dan sejumlah suku asli lainnya.
Kelima, Secara kasat mata memang mentalitas pencerahan mempunyai andil yang sangat besar atas terjadinya bencana ekologis selama beberapa dekade terakhir. Hal itu terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam penghayatan nilai-nilai modernisme akibat egoisme dan nafsu untuk berkuasa dan menguasai dari manusia.
Keenam, Secara filosofis kebebasan yang didiperjuangkan semenjak Aufklärung akhirnya menjadi kebebasan semu manakala dampak dari penerapan kebebasan itu membawa manusia kepada penderitaan dan penghancuran diri akibat kerusakan atas alam sebagai rumah tempatnya hidup. Maka itu, kebebasan harus pula ditransformasi dari kebebasan untuk menguasai dan eksploitasi atas alam menjadi kebebasan untuk menyelamatkan bumi rumah kita dari kehancuran demi generasi sekarang dan yang akan datang.
Ketujuh, Kesadaran untuk menyelamatkan semesta alam harus menjadi kesadaran bersama umat manusia. Selama kesadaran itu hanya menjadi kesadaran parsial para korban dan pencinta lingkungan maka impian untuk menyelamatkan bumi dari kehancurannya akan tetap tinggal impian. Kolaborasi tradisi spiritual yang diusulkan Tu tidak akan berpengaruh bila kesadaran spiritual para penganut tidak dikonversi menjadi praksis spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu saya melihat bahwa proyek penyelamatan semesta alam dan seluruh ekosistem di dalamnya termasuk manusia bukanlah proyek sederhana melainkan proyek besar yang memerlukan ketahan fisik dan konsistensi dalam memwujudkannya.
REFERENSI
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Huston Smith, The World’s Religions. New York: Harper Collins, 1991
J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994.
Ralph Metzener, The Emerging Ecological Worldview, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994
Tu Wei-ming, “Beyond the Enilightenment Mentality”, dalam Mary Evelyn Tucker et.al. (ed.), Worldviews and Ecology,Orbis Books, 1994
Supriyadi, Yohanes. Filsafat Dayak. http://wacananusantara.org/6/362/filsafat-dayak/p/3?PHPSESSID=20db216a3bfc012028ed33195b4a5b85. Diunduh pada hari Selasa, 19 Mei 2009, jam 15.30.
[1] Bagian ini mengacu pada buku F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia 2007, terutama hal 94- 127.
[2] Lih. F. Budi Hardiman, ibid.
[3] Teks Kant ini diabil dari kutipan F. Budi Hardiman, ibid., yang beliau kutip dari Bahr, Ehrhard (ed.), Was ist Aufklärung, Reclam, Stuttgart, 1974.
[4] Lih. Budi Hardimana, ibid.
[5]Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm. 21-22
[6]Prinsip dasar etika protestan dapat dirumuskan seperti berikut: umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini, sehingga manusia tidak perlu menunggu-nunggu rahmat atau kehidupan akherat untuk mewujudkannya. Kebahagiaan itu tidak sekedardinantikan, melainkan diwujudkan dalam kehidupanmaterial danuntuk itu orang menyandarkan diri pada kekuatan rasionya. (Lih. F. Budi Hardiman. Op cit. hlm. 95).
[7]Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm 23.
[8] Lih. J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994.
[9] Lih Tu Wei-ming, ibid., hlm. 22.
[10] Bdk. J, Baird Callicott, op.cit., hlm. 33.
[11] Dielaborasi dari tulisan Ralph Metzener, The Emerging Ecological Worldview, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994, hlm. 170-171.
[12]Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm. 20
[13] Lih. Tu Wei-ming, ibid., hlm 20-21.
[14] Selanjutnya akan disebut Tu saja.
[15] Mengenai pentingnya aspek etika dan bagaimana etika dapt turut membantu untuk mengatasi dampat mentalitas pencerahan bagi lingkungan dapat dibaca pada tulisan J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994.
[16] Ibid., hlm. 25.
[17] Ibid., hlm. 25-27
[18] Di sini patut dimasukan juga misalanya pandangan salah satu suku asli di Indonesia, seperti suku Dayak. World-view (pandangan dunia) Orang Dayak memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.(Lih. Yohanes Supriyadi, Filsafat Dayak, http://wacananusantara.org/6/362/filsafat-dayak/p/3?PHPSESSID=20db216a3bfc012028ed33195b4a5b85, diunduh pada hari Selasa, 19 Mei 2009, jam 15.30)
[19] Huston Smith, The World’s Religions (New York: Harper Collins, 1991), 365-83 seperti yang dikutip Tu Wei-ming, ibid., hlm. 27-28.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H