Belum puas rindu itu terobati karena ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Ibrahim segera pergi melanjutkan perjalanannya untuk mengabarkan kebenaran dan memberi peringatan pada kaumnya. Beberapa tahun kemudian barulah Ibrahim bisa berkumpul kembali  bersama keluarganya di dekat Baitullah Mekah.
Ujian dan cobaan belumlah usai diterima oleh Ibrahim dan Hajar. Ketika sang anak menjelang dewasa bermimpilah Ibrahim menyembelih anaknya. Dia begitu terkejut dan ragu-ragu apakah itu perintah dari Tuhannya. Bagaimana mungkin dia akan membunuh anaknya sendiri yang telah lama dinanti-nanti hingga tumbuh dewasa.
Lama dia merenungkan mimpi itu hingga datang lagi mimpinya tiga kali berturut-turut. Ibrahim segera menyadari akan kebenaran mimpinya. Tapi dia tidak serta merta memaksakan perintah itu pada anaknya. Dengan bijak lelaki penyayang dan berhati lembut itu memanggil anaknya.
"Wahai Ismail, sesungguhnya aku telah bermimpi untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu tentang mimpiku itu, anakku?"
"Ayah, aku yakin mimpi itu benar. Maka kerjakanlah perintah itu. Semoga aku termasuk orang-orang yang sabar dan berserah diri."
Lega perasaan dan hati Ibrahim mendengar jawaban dari anaknya meskipun masih ada sedikit rasa berat menggelayut di hatinya. Dan tumpahlah air mata dari lelaki agung ini saat membawa Ismail menuju tempat penyembelihannya. Dia harus merelakan sesuatu yang selama itu sangat diharapkan dan dicintainya.
Demikianlah Sang Khalilullah ... ketaatan dan cintanya yang begitu tinggi pada Tuhannya dapat mengalahkan segalanya. Tidak ada lagi tempat untuk bergantung. Tidak ada lagi tempat untuk berserah diri kecuali pada Alloh, Tuhan pemilik seluruh alam ini.
Solo.14.08.2019
*) Cerpen ini diadaptasi dari kisah nabi agung Ibrahim Alaihissalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H