Tentara Jepang berusaha membalas serangan tersebut. Baku tembak pun berlangsung sengit. Kondisi medan yang sulit dan tidak menguntungkan membuat tentara Jepang berusaha mati-matian untuk bertahan. Tetapi korban dari rombongan pembesar Jepang semakin banyak. Dan sebuah ledakan dari meriam kecil pejuang pribumi mengakhiri perlawanan tentara Jepang di sana. Semua anggota rombongan itu pun tewas terbunuh di tempat kejadian.
Tetapi Mbah Kakung tidak mengetahui peristiwa penyerangan dan penembakan rombongan pembesar Jepang dan kekasihnya itu. Dia masih berharap dapat bertemu kembali dan merajut cintanya dengan Ran. Karena hingga saat pertemuan terakhir di padang ilalang dulu tidak pernah terucap kata perpisahan di antara mereka. Ran pergi membawa cintanya yang terkubur begitu dalam di hatinya.
Suasana kembali sepi. Pagi itu bau anyir darah dan asap kebakaran menyelimuti ruas jalan di tengah hutan kecil itu. Terlihat bangkai tubuh manusia bercampur dengan bangkai mobil militer Jepang yang hancur dan terbakar. Dan sesosok tubuh seorang gadis Jepang berkimono tertelungkup di tepi hutan. Pakaiannya basah oleh darah. Dia adalah Ran. Tetapi perlahan-lahan Ran membuka matanya dan berdiri.
"Do shita no (apa yang telah terjadi)?" Dia terkejut melihat keadaan di sekelilingnya.
Ran kemudian berlari menuju bangkai-bangkai mobil yang sedang terbakar. Dilihatnya mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya bermandikan darah. Sebagian ikut hangus terbakar karena berada di atas bangkai-bangkai mobil yang terbakar. Diperhatikan satu per satu mayat-mayat tersebut.
"Otōsan ... Okāsan!" teriak Ran ketika melihat dua sosok mayat ayah dan ibunya. Dia mengenali mayat kedua orang tuanya dari pakaian hakama dan kimono yang dipakai oleh keduanya meskipun sebagian telah hangus terbakar.
Ran berbalik arah bermaksud mencari bantuan ke kota tempat tinggal Mbah Kakung. Tetapi langkahnya terhenti ketika pandangan matanya menatap sesosok tubuh gadis berkimono tergeletak di tepi hutan. Dia berjalan mendekat dan betapa terkejutnya Ran saat memperhatikan sesosok tubuh itu. Wajah itu seperti wajahnya. Kimono itu seperti yang dia pakai sekarang ini. Tapi kimono gadis itu terkoyak di bagian punggungnya karena beberapa butir peluru telah menerjangnya. Dan tubuh itu bersimbah darah!
Dengan gemetar Ran menjulurkan tangannya ingin menyentuh tubuh gadis itu. Betapa terkejutnya Ran saat tangannya tidak bisa menyentuhnya. Tubuh Ran bagaikan hologram sehingga tangannya menembus sesosok tubuh yang tergeletak di depannya. Lama Ran tertegun memandangi tubuhnya sendiri.
"Do shita no? (apa yang telah terjadi) Kenapa aku ... tidak bisa ... kembali ... ke tubuhku?"
Akhirnya dia pun menyadari bahwa dirinya sekarang adalah arwah yang telah terpisah dari raganya. Sesaat kemudian arwah Ran melayang dan melesat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke kota untuk menemui Mbah Kakung.
Beberapa hari kemudian berita tewasnya rombongan pembesar Jepang sampai juga ke telinga Mbah Kakung. Tetapi dia tidak mempercayai berita itu hingga datang arwah Ran menemuinya. Saat itu dia sedang berada di bekas rumah pembesar Jepang. Sepeninggal keluarga itu rumah tersebut dipakai untuk tempat berkumpul para anggota tentara PETA. Setiap hari ada yang berjaga dan membersihkannya. Foto Ran pun masih terpajang di sana. Mbah Kakung selalu merawat dan membersihkannya. Di bawah foto tersebut terdapat sebuah meja kecil tempat meletakkan boneka gadis Jepang pemberian Ran.