Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Jogja 1990 | Perkenalan Singkat

1 Desember 2018   09:10 Diperbarui: 9 April 2019   00:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan perasaan lega Sono dan Tono memperhatikan ke dua anak Genk Butterfly itu dibawa petugas keamanan Sekaten menuju ke pos penjagaan. Sebuah pos yang terletak di dekat loket masuk bagian depan Alun-Alun Utara Jogja. Para pengunjung Sekaten pun bubar karena perkelahian telah berhenti dan masalahnya dapat diselesaikan oleh petugas keamanan Sekaten. Seorang ibu yang menjadi korban pencopetan bersama anak gadisnya datang mendekati ke dua sahabat.


"Terima kasih, telah menangkap mereka. Kamu terluka, Nak?" tanya Sang Ibu.


"Ndak apa-apa, Bu. Hanya sedikit memar di sini," kata Sono sambil memegang lengan kirinya.


"Dompet Ibu sudah kembali?"


"Sudah, Nak," jawab Sang Ibu dengan tersenyum sambil memperhatikan ke dua sahabat.


"Lain kali lebih berhati-hati, Bu," kata  Sono mengingatkan.


"Dik, jaga ibumu, ya ...." kata Tono  pada anak gadis itu.


"Iya, Kak. Terima kasih."


Anak gadis itu tersenyum manis sambil melirik ke arah Tono dan Sono. Tetapi pandangan mata gadis itu segera berhenti pada Sono. Dia memperhatikan Sono yang baru saja mengambil sesuatu yang tercecer di tanah, diikat, dan dimasukkan kembali dalam tas kresek hitamnya.


"Ee ... itu apa, Kak?" tanya Sang Gadis.


"Ini ...? Ini gangsingan bambu," jawab Sono.


"Oo ... Kakak suka gangsingan? Sama ... aku juga suka," kata sang gadis.


Dia mencoba mendekati Sono untuk melihat gangsingan itu. Tetapi tangannya segera ditarik dan ditahan oleh ibunya. Langkah sang gadis pun terhenti.


Sono hanya tersenyum simpul sambil menggaruk-garuk kepalanya mendengar penjelasan dan kelakuan anak gadis itu.


"Kok beli dua, Kak? Pasti buat oleh-oleh pacarnya, ya?" tanya si gadis menggodanya.


"Eh ... anu, anu ... tadi itu, ee ...." kata Sono kelabakan mendengar pertanyaan itu.


"Hmm ... rupanya selain jagoan Kakak juga romantis dan sayang sama ceweknya."


"Ee, ee ... bukan, bukan begitu ... tadi itu ...." kata Sono tersipu malu.


"Namaku Putri. Kakak siapa?" tanya Putri sambil tersenyum manis.


Sono yang pendiam dan jarang bergaul dengan teman-teman perempuan di sekolahnya dibuat gelagepan di hadapan Putri. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaan Putri. Dia hanya membisu menatap ke arah Putri, seolah-olah terpesona oleh wajah manisnya.


"Sudah, Putri. Ayo kita pulang. Jangan menggoda mereka terus," ajak Sang Ibu kepada anak gadisnya.


"Yah, Ibu ... aku belum tahu namanya," kata Putri sedikit kecewa.


Tetapi Sang Ibu tetap memaksanya untuk segera pulang. Dengan wajah cemberut akhirnya Putri menuruti keinginan ibunya. Mereka kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Tono hanya bisa tertawa melihat tingkah sahabatnya yang baru saja di goda oleh seorang anak gadis.


"Hai, Ton, kenapa kamu tertawa?"


"Kamu itu ... benar apa yang dikatakan Putri tadi. Kamu beli dua gangsingan, satunya untuk siapa coba?"


"Oo ... ini. Aku kasihan sama penjualnya. Katanya dari kemarin belum ada yang beli. Jadi aku beli dua."


"Untung kamu tidak beli lima atau sepuluh gangsingan bambu, Son. Bisa dikira punya banyak pacar," kata Tono sambil tertawa lagi.


"Dasar itu, Putri ...." kata Sono sambil memperhatikan Putri dan ibunya yang belum pergi jauh meninggalkan mereka.


Tiba-tiba Putri menoleh ke arahnya. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Sono tertegun sejenak, seperti ada sesuatu yang meluncur cepat dari mata Putri dan menghujani lubuk hatinya. Hatinya menjadi gundah gulana melihat kepergian Putri. Dia tidak menyangka pertemuan singkatnya memberikan kesan mendalam di hatinya.


Sepertinya Sono tidak mau merelakan kepergian Putri. Sono merasakan ada suatu perasaan yang baru pertama kali dia rasakan selama ini. Rasa penasaran dan tak ingin berpisah dengan Putri merasuk ke dalam palung hatinya. Sifat Putri yang periang telah mengusik hati remaja kelas tiga sekolah lanjutan tingkat pertama itu. Tanpa menghiraukan Tono dia pun berlari mengejar Putri dan berusaha untuk menghentikan langkahnya. Sekali lagi Tono dibuat heran oleh tingkah sahabatnya itu.


"Putri ... tunggu!" teriak Sono


"Ada apa, Kak?" tanya Putri terkejut dan menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Putri menghentikan langkahnya dan dilihatnya Sono sudah berdiri tak jauh dari tempatnya.


"Ibu, tunggu sebentar. Sepertinya Kakak itu akan menyampaikan sesuatu."


"Baiklah, tapi jangan lama-lama," kata Ibunya menyelidik, "ibu masih takut sama anak-anak pencopet tadi. Ibu tunggu di stand pakaian itu."


Putri mengangguk dan segera berjalan mendekati Sono. Entah kenapa hatinya merasa berdebar-debar. Dipandanginya cowok yang berdiri di hadapannya. Samar-samar dia melihat wajah cowok ganteng itu tersenyum.


"Gangsingan ini ... satu untukmu, simpan baik-baik ...." kata Sono.


Sono memberikan salah satu gangsingannya pada Putri. Dia sendiri tidak menyangka bisa berbuat senekat itu pada seorang gadis yang baru dikenalnya. Ada getar-getar aneh dalam denyut nadinya. Dadanya serasa bergemuruh.


"Aduh, kenapa ini? Kenapa kuberikan gangsingan ini. Perasaanku ... apakah aku menyukainya?" tanya Sono dalam hati.


Sono menatap wajah Putri. Tetapi rupanya Putri berdiri membelakangi cahaya lampu merkuri yang ada di tengah Alun-Alun. Sehingga hanya samar-samar saja Sono melihat wajah manis Putri di balik bayangan siluet wajahnya.
Di bawah temaramnya cahaya lampu merkuri itu sepasang remaja belum genap lima belas tahun usianya sejenak saling beradu pandang seolah tidak ingin melepaskannya. Ingin rasanya Sono mengungkapkan isi hatinya. Tapi apa daya mulutnya terkunci, tak sepatah kata pun terucap. Mereka hanya bisa berkata-kata dalam hati.


"Kakak ... kenapa kamu berikan gangsingan ini padaku? Aku tidak bermaksud mengganggu hubunganmu dengan pacarmu," kata Putri dalam hati. Dia juga merasakan perasaan yang sama dengan Sono.


"Putri ... aku belum mempunyai pacar. Kuharap kamu pun begitu. Simpan gangsingan ini dalam hatimu. Suatu saat kita akan bertemu kembali," kata hati Sono dengan dada berdebar keras, berharap-harap cemas agar Putri tidak menolak pemberiannya.


Tanpa menunggu reaksi Putri, Sono segera berbalik arah dan berlari meninggalkan Putri. Putri hanya terdiam melihat kepergian Sono kemudian tersenyum sendiri seolah-olah mengerti mengapa Sono melakukan semua ini.


"Kakak ... semoga kita dapat bertemu kembali," kata Putri lirih sambil memandang Sono yang berlari menjauh.


Dengan nafas memburu dan jantung berdegup kencang Sono tiba kembali ke tempat Tono.


"Hei, kenapa lagi kamu, Son? Suka ya sama Putri?" tanya Tono meledeknya.


"Ah, kamu, Ton. Ayo kita pulang," kata Sono tertawa gembira.


Malam semakin larut dan dingin. Kerlap-kerlip cahaya bintang menghiasi langit di atas Kota Jogja. Dan rembulan menjelang purnama bertengger di langit sebelah timur memamerkan cahayanya. Tetapi Pasar Malam Sekaten ini masih terlihat meriah. Alun-Alun Utara masih menunjukkan geliat aktivitas di dalamnya. Pengunjung masih hilir mudik dari stand ke stand. Mereka melihat-lihat barang yang dipajang di sana dan sesekali terjadi tawar menawar diantara mereka.


Terlihat Sono dan Tono berjalan keluar dan menyusuri tepi Alun-Alun Utara. Mereka melewati ibu-ibu paruh baya yang sedang menjajakan dagangan 'endhog abang'. Endhog abang berupa telur ayam matang dengan kulit yang diberi warna merah dan ditusuk dengan bilah bambu serta dihiasi kertas berwarna-warni.


Bilah-bilah bambu itu ditancapkan dan disusun rapi pada sepotong batang pisang (gedebog, bahasa Jawa) yang diletakkan di dalam 'tenggok', sebuah wadah dari anyaman bambu. Jajanan ini merupakan makanan khas dari tradisi Sekaten.


Mereka berhenti sejenak untuk membeli beberapa tusuk endhog abang. Kemudian menuju tempat parkir sepeda dan segera mengayuh sepedanya meninggalkan arena Sekaten menuju utara menyusuri Jalan Malioboro di waktu malam.


Jalan itu masih saja ramai dan padat oleh pedagang kaki lima. Dan ketika malam semakin larut tempat itu  akan berubah menjadi warung-warung lesehan dengan berbagai macam menu kuliner tersaji di sana. Warung lesehan merupakan sebuah tempat nongkrong bagi para pengunjung dan wisatawan luar kota dan manca negara yang ingin menikmati suasana malam di Kota Jogja. Keramaian malam itu tidak mempengaruhi angan-angan Sono dan Tono. Sepanjang perjalanan pulang mereka lebih banyak diam memikirkan kejadian tadi.


"Putri ... siapakah dia? Ada perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini ketika aku bertemu dengan seorang cewek. Dan rasa itu juga tidak bisa aku ungkapkan padanya. Apakah aku ... menyukainya?" kata Sono dalam hati.


"Hmm ... rupanya sahabatku mulai mengenal cinta. Cinta monyet ... cinta pada pandangan pertama," gumam Tono sambil melirik ke arah sahabatnya.


Kotak-kotak lampu hias berwarna hijau tua dan tergantung pada tiang-tiang  lampu menghiasi kanan-kiri Jalan Malioboro. Gemerlap lampu-lampu jalanan yang menjadi ciri khas kota Jogja itu menerangi perjalanan mereka melintasi Stasiun Tugu dan perempatan Tugu Pal Putih sampai di pinggiran Kota Jogja bagian utara.


Mereka berdua masih terdiam larut dalam angannya masing-masing ketika melewati sebuah selokan panjang yang membelah Kota Jogja di bagian utara. Roda-roda sepeda mereka terus berputar pelan menyusuri jalan beraspal itu dan melewati jalan lingkar utara. Mereka kemudian berbelok masuk ke sebuah jalan kampung hingga tiba di sebuah persimpangan. Mereka saling melambaikan tangan dan berpisah untuk sementara waktu. Tono berhenti sebentar memperhatikan Sono mengayuh sepedanya hingga menghilang di kegelapan malam.


"Anak genk tadi, semoga urusan ini tidak menjadi panjang," kata Tono dalam hati sambil mengayuh sepeda sendirian menyusuri jalanan sepi menuju rumahnya.

Solo.01.12.2018
~Bomowica~

*) kisah Sono 'Sepasang Gangsingan' ini selesai untuk episode Jogja 1990

Kisah Jogja 1990 sebelumnya :

1. Dua Sahabat

2. Remaja Bertatto

3. Sekaten

4. Awal Mula Perselisihan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun