"Hei, kenapa lagi kamu, Son? Suka ya sama Putri?" tanya Tono meledeknya.
"Ah, kamu, Ton. Ayo kita pulang," kata Sono tertawa gembira.
Malam semakin larut dan dingin. Kerlap-kerlip cahaya bintang menghiasi langit di atas Kota Jogja. Dan rembulan menjelang purnama bertengger di langit sebelah timur memamerkan cahayanya. Tetapi Pasar Malam Sekaten ini masih terlihat meriah. Alun-Alun Utara masih menunjukkan geliat aktivitas di dalamnya. Pengunjung masih hilir mudik dari stand ke stand. Mereka melihat-lihat barang yang dipajang di sana dan sesekali terjadi tawar menawar diantara mereka.
Terlihat Sono dan Tono berjalan keluar dan menyusuri tepi Alun-Alun Utara. Mereka melewati ibu-ibu paruh baya yang sedang menjajakan dagangan 'endhog abang'. Endhog abang berupa telur ayam matang dengan kulit yang diberi warna merah dan ditusuk dengan bilah bambu serta dihiasi kertas berwarna-warni.
Bilah-bilah bambu itu ditancapkan dan disusun rapi pada sepotong batang pisang (gedebog, bahasa Jawa) yang diletakkan di dalam 'tenggok', sebuah wadah dari anyaman bambu. Jajanan ini merupakan makanan khas dari tradisi Sekaten.
Mereka berhenti sejenak untuk membeli beberapa tusuk endhog abang. Kemudian menuju tempat parkir sepeda dan segera mengayuh sepedanya meninggalkan arena Sekaten menuju utara menyusuri Jalan Malioboro di waktu malam.
Jalan itu masih saja ramai dan padat oleh pedagang kaki lima. Dan ketika malam semakin larut tempat itu  akan berubah menjadi warung-warung lesehan dengan berbagai macam menu kuliner tersaji di sana. Warung lesehan merupakan sebuah tempat nongkrong bagi para pengunjung dan wisatawan luar kota dan manca negara yang ingin menikmati suasana malam di Kota Jogja. Keramaian malam itu tidak mempengaruhi angan-angan Sono dan Tono. Sepanjang perjalanan pulang mereka lebih banyak diam memikirkan kejadian tadi.
"Putri ... siapakah dia? Ada perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini ketika aku bertemu dengan seorang cewek. Dan rasa itu juga tidak bisa aku ungkapkan padanya. Apakah aku ... menyukainya?" kata Sono dalam hati.
"Hmm ... rupanya sahabatku mulai mengenal cinta. Cinta monyet ... cinta pada pandangan pertama," gumam Tono sambil melirik ke arah sahabatnya.
Kotak-kotak lampu hias berwarna hijau tua dan tergantung pada tiang-tiang  lampu menghiasi kanan-kiri Jalan Malioboro. Gemerlap lampu-lampu jalanan yang menjadi ciri khas kota Jogja itu menerangi perjalanan mereka melintasi Stasiun Tugu dan perempatan Tugu Pal Putih sampai di pinggiran Kota Jogja bagian utara.
Mereka berdua masih terdiam larut dalam angannya masing-masing ketika melewati sebuah selokan panjang yang membelah Kota Jogja di bagian utara. Roda-roda sepeda mereka terus berputar pelan menyusuri jalan beraspal itu dan melewati jalan lingkar utara. Mereka kemudian berbelok masuk ke sebuah jalan kampung hingga tiba di sebuah persimpangan. Mereka saling melambaikan tangan dan berpisah untuk sementara waktu. Tono berhenti sebentar memperhatikan Sono mengayuh sepedanya hingga menghilang di kegelapan malam.