"Besok aja, ya, kalau kamu sudah besar," bujuk Ibunya.
Sang Ibu mengembalikan lagi gangsingannya. Meledaklah tangis balita itu. Samar-samar Sono mendengar tangisan balita itu dalam gendongan ibunya. Mereka kemudian terlihat pergi meninggalkan Pak Tua dan gangsingannya. Keberuntungan pun belum mau berpihak padanya.
Sono merasa kasihan pada Pak Tua dan bergegas melangkahkan kakinya keluar dari stand pakaian tersebut. Tono memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.
"Son, kamu ndak jadi beli kaos itu?"
Sono tidak menjawab pertanyaan Tono. Perhatiannya benar-benar sedang terfokus pada penjual mainan gangsingan itu.
"Son, kamu mau ke mana?"
Lagi-lagi Sono tidak menjawabnya. Dia menghampiri Pak Tua penjual gangsingan dan berjongkok di depannya. Ada yang menarik perhatiannya pada alat permainan tradisional itu.
"Ayo, Nak, tukunen gangsingane bapak iki. Kawit wingi durung payu ...."
Sono mengamati setumpuk gangsingan itu dengan sungguh-sungguh. Pak Tua mengambil salah satu gangsingan dan memainkannya. Dipasangnya tali pada sumbu gangsingan dengan cara melilitkan secara melingkar. Kemudian dengan memegang bilah bambu pendek pada tali, ditariknya tali tersebut kuat-kuat. Gangsingan pun terlontar berputar cepat dan mengeluarkan bunyi berdengung.
"Hmm ... kasihan Bapak ini," kata Sono dalam hati.
Sono mengambil salah satu gangsingan dan diperhatikan secara baik-baik. Dia seperti teringat sesuatu ....
~Gangsingan adalah keseimbangan dan kualitas hidup~
Terngiang salah satu wejangan dari kakeknya tentang filosofi sebuah gangsingan ketika dia dan Tono sedang latihan rutin. Sono memperhatikan gangsingan yang berputar cepat dan dapat berdiri tegak pada sumbunya di atas tanah. Lama-kelamaan putaran gangsingan pun melambat. Gangsingan kehilangan keseimbangannya dan roboh ke tanah.