Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen Jogja 1990] Remaja Bertatto

12 Oktober 2018   07:59 Diperbarui: 9 April 2019   00:10 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sono berdiri termangu di sisi selatan Tugu Pal Putih. Pandangannya lurus ke depan seolah ingin menyibak tabir garis imajiner yang menghubungkan Tugu Pal Putih dengan pantai laut selatan. Dia membayangkan pandangan matanya menyusuri Jalan Malioboro, Alun-Alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil, Alun-Alun Selatan, Panggung Krapyak, Jalan Parangtritis, hingga Pantai Selatan Parangkusumo. Samar-samar dia mendapatkan bayangan semua itu. Begitu berat latihan yang telah diberikan Kakeknya untuk mempertajam mata batinnya tetapi belum bisa sempurna. Karena hal ini berhubungan dengan pengendalian diri. Sedangkan Sono mempunyai sifat tidak sabaran dan sulit mengendalikan emosi. Suatu sifat yang bertolak belakang dengan sahabatnya, Tono.

"Sepertinya aku harus banyak belajar darimu ...." kata Sono sambil menoleh ke arah Tono.

"Kita perlu latihan lebih mendalam, Son. Dan sepertinya Kakekmu tidak mau tergesa-gesa, agar kamu lebih memahami tentang mata batin itu," kata Tono.

"Iya, Ton, kita harus lebih giat berlatih."

Dua sahabat ... Sono dan Tono, mengambil sepedanya dan melanjutkan perjalanannya kembali. Dari Tugu Pal Putih mereka terus mengayuh sepedanya ke arah selatan menyusuri jalan beraspal melintasi rel kereta api Stasiun Tugu dan masuk ke Jalan Malioboro. Sebuah ruas jalan yang telah melegenda, menghubungkan Stasiun Tugu ke selatan menuju Alun-alun Utara dengan Bangsal Pagelaran.

Jalan Malioboro waktu itu cukup lebar sehingga diperuntukan jalur dua arah. Berbagai jenis alat transportasi dapat melewati jalan itu. Sepeda, becak, andong, sepeda motor, mobil pribadi, dan angkutan umum silih berganti melewati ruas jalan itu. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima membuka lapak-lapak dagangan mereka ditrotoar di depan toko-toko sepanjang jalan.

Perlahan-lahan Sono dan Tono mengayuh sepedanya. Roda berputar pelan seolah-olah enggan meninggalkan ruas jalan legenda tersebut. Mereka menikmati keramaiannya, suasananya, dan keramahan pengunjung di Malioboro. Mereka bercanda ria dan bertukar cerita di sepanjang perjalanan. Pedagang kaki lima tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Tawar-menawar pun menjadi suatu keasyikan dan membutuhkan cara tersendiri agar mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga yang lebih murah.

Sementara sang mentari berjalan pelan menuju peraduannya. Langit merah di ufuk barat membuat pemandangan yang indah di cakrawala Kota Jogja. Dengan dihiasi serombongan burung bangau yang terbang pulang ke kandangnya. Ruas Jalan Malioboro pun menjadi teduh dan angin bertiup sepoi-sepoi memanjakan para pejalan kaki menikmati suasana senja di sana. Tak terasa perjalanan mereka hampir sampai.

Sebuah perempatan dengan bundaran air mancur di tengah-tengahnya menjadi penghujung Jalan Malioboro. Sejenak mereka berputar-putar di bundaran air mancur tersebut. Dengan santai mereka mengayuh sepedanya menikmati keramaian di bundaran air mancur. Semilir angin berhembus pelan menerbangkan butiran-butiran air menerpa wajah mereka. Tetapi mereka tidak peduli, sama seperti seorang bocah dalam gendongan ibunya yang berdiri di tepi bundaran menikmati percikan-percikan air yang menerpa wajah dan tubuhnya. Sejenak Sono dan Tono menghentikan sepedanya dan turun menuju bundaran air mancur. Mereka berdiri saling membelakangi di sisi utara bundaran. Sono menghadap ke Jalan Malioboro.

"Ton, kita buktikan garis imajiner itu dari sini."

"Baik, aku dibelakangmu menghadap ke selatan. Apa yang kamu lihat, Son?"

"Aku melihat puncak Tugu Pal Putih di ujung utara jalan ini, Son. Terus terlihat Gunung Merapi di latar belakangnya. Puncak tugu tepat dibawah puncak Merapi," kata Sono dengan pandangan mata penuh konsentrasi, "benar-benar satu garis lurus. Sekarang apa yang kamu lihat, Ton?"

"Aku seolah-olah berada di antara dua Pohon Beringin Kembar di tengah Alun-Alun Utara itu, Son. Kemudian aku lewat di tengah Bangsal Pagelaran," jawab Tono.

"Berarti satu garis lurus juga ke selatan. Bagaimana dengan Panggung Krapyak, Ton?"

"Samar-samar bayangan Panggung Krapyak sekilas muncul di tengah Bangsal Pagelaran, Son. Benar-benar mistis di sana."

"Ya iyalah, Ton. Namanya juga garis imajiner ...."

Mereka kemudian berbaur dengan orang-orang menikmati suasana senja di bundaran. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi bundaran air mancur di tengah perempatan tersebut. Warga Kota Jogja pun menyebut perempatan itu dengan nama Perempatan Kantor Pos Besar karena di pojok tenggara perempatan itu terdapat bangunan tersebut. Di pojok timur laut perempatan ada Monumen Serangan Umum 1 Maret, di pojok barat laut terdapat Gedung Negara tempat menginap Presiden dan Wakilnya jika sedang berkunjung ke Jogja. Sedangkan di pojok barat daya terdapat gedung Bank Negara Indonesia (BNI 46). Dan sekarang perempatan tersebut lebih dikenal dengan nama Jogja Titik Nol Kilometer.

Dari bundaran air mancur tersebut sudah terasa suasana Pasar Malam dan Perayaan Sekaten. Terlihat para pedagang kaki lima musiman sudah menggelar lapak-lapak untuk dagangan mereka di sepanjang jalan menuju Alun-Alun Utara. Jalanan menjadi terasa sempit dan padat karena aktivitas para pedagang dan pejalan kaki.

Tak ketinggalan pula alat transportasi tradisional khas Jogja ... becak dan andong berderet di sana menunggu calon penumpang. Sepeda dan motor pun hilir mudik hingga membuat jalanan terkesan semrawut. Belum lagi banyak kotoran kuda dan sampah yang tercecer di jalanan. Begitulah suasana jalan menuju Alun-Alun Utara Kota Jogja pada saat itu. Meskipun begitu Jogja tetap menjadi magnet bagi para pelajar maupun wisatawan dalam dan manca negara.

Hari pun semakin sore dan lalu-lintas di bundaran air mancur semakin ramai. Suasana gelap sebentar lagi akan menggantikan terang. Burung-burung Sriti terbang rendah bersahutan. Sebagian dari mereka bertengger pada kawat-kawat baja yang melintang di jalanan. Dan sebagian yang lain terlihat terbang berbondong-bondong memasuki bangunan Gedung Bank Negara Indonesia 46. Lampu-lampu kota pun mulai menyala mempertontonkan keindahan sinarnya. Sebentar lagi Jalan Malioboro, bundaran air mancur, dan sepanjang jalan menuju Alun-Alun Utara akan bermandikan cahaya.

Sono dan Tono yang masih asyik di tepi bundaran segera mengambil sepedanya dan berputar-putar kembali di bundaran air mancur. Sebentar kemudian mereka membelokkan sepedanya ke arah selatan meninggalkan bundaran air mancur. Sejenak mereka terlibat dalam pembicaraan.

"Ton, aku tadi dimarahi Bu Wiwik, guru matematikaku."

"Kenapa, Son? Tidak mengerjakan tugas?"

"Bukan, Ton. Aku tadi ..." belum selesai Sono menjawab pertanyaan Tono, tiba-tiba ....

Wheerr ....

Terlihat seorang anak remaja sebaya bersepeda motor ngebut dari arah timur dan bertindak ugal-ugalan di jalan. Anak itu memotong jalan sepeda Sono ketika hendak menyeberang ke selatan dan menyerempet roda depan sepedanya.

Braakkk ....

Terdengar bunyi benturan benda keras. Sono berusaha menahan sepedanya yang oleng agar tidak jatuh. Dia berhenti dan dlihatnya tidak ada yang rusak pada sepedanya. Dengan menahan amarah Sono menatap anak remaja tersebut yang juga berhenti tidak jauh darinya.

"Hei, kamu, kesini ...!" teriak Sono.

Remaja itu menoleh sebentar dan tersenyum sinis pada Sono. Kemudian dia menyingsingkan lengan bajunya seolah-olah ingin menantang Sono. Tampak sebuah gambar tatto di lengan kirinya. Sebentar kemudian pergi memacu sepeda motornya ke arah barat. Karena terbakar emosi Sono langsung mengejarnya. Tono pun mengikutinya dari belakang.

"Mengapa anak itu memperlihatkan gambar tattonya? Sepertinya Sono tidak memperhatikan tatto itu. Siapa remaja bertatto itu?" kata Tono dalam hati.

Remaja itu memacu motornya di jalanan yang ramai dengan bunyi knalpot nyaring memekakkan telinga. Sepeda motornya berjalan zig-zag menghindari pemakai jalan yang lain dan melanggar lampu merah. Sono memacu sepedanya berusaha mengejar remaja itu. Tapi dia kehilangan jejaknya ketika remaja itu tiba-tiba membelokkan motornya ke sebuah gang kecil masuk ke dalam perkampungan.

"Sudahlah Son, sabar, tidak usah dikejar. Kita hampir sampai," Tono mengingatkan sahabatnya.

"Huuhh ... sialan tuh anak! Belum pernah aku gampar dia!" kata Sono tak bisa menahan emosinya.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan!" kata Tono sambil memutar arah sepedanya.

Sono pun mengikuti Tono dari belakang. Sebentar kemudian mereka telah sampai di Alun-Alun Utara dan memarkir sepedanya.

"Cari minuman dulu, Ton. Haus nih gara-gara mengejar anak tadi," ajak Sono.

"Kamu sih, tidak sabaran. Tahan sedikit emosimu, kenapa Son?"

"Habis dia ...." jawab Sono masih dengan nada kesal.

"Ingat pesan kakekmu, Son. Kau harus belajar mengendalikan emosimu."

Sono hanya bisa menghela nafas panjang untuk meredam gejolak emosinya. Benar apa yang telah dikatakan oleh sahabatnya itu. Kemudian mereka menuju ke sebuah 'angkringan' di depan tempat parkir sepeda untuk membeli minuman. Angkringan adalah sebutan untuk sebuah gerobak tempat makanan dan minuman yang biasa mangkal di pinggir jalan, di tempat keramaian, atau tempat-tempat teduh untuk melepas lelah. Dan sekarang angkringan menjadi ciri khas kuliner di Kota Jogja dan sekitarnya.

(bersambung)

Solo.12.10.18

~Bomowica~

Cerita sebelumnya [Jogja 1990] :

1. Dua Sahabat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun