Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Kemarin

6 Oktober 2018   07:19 Diperbarui: 13 Oktober 2018   21:18 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Detik.net.id (foto: thinkstock)

Pelan tapi pasti bus meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mataku padanya yang semakin menjauh. Aku telah meninggalkannya. Apakah Aku sudah tidak menghiraukan dia lagi? Benarkah hati ini telah terbagi? Aku tidak kuasa melawan keadaan ini.

Chat WA-ku bergetar ....

"Kamu sampai di mana?"

"Aku ada di dalam bus di depan haltemu."

"Kenapa bus tidak berhenti?"

"Harus putar arah ...."

Chat tidak berbalas. Apakah dia juga akan meninggalkan Aku? Aku semakin gelisah. Bukankah kesetiaan harus diuji? Dan di persimpangan jalan ini Aku harus memilih. Gadis yang selalu menemaniku di kafe atau dia yang selalu menjemput impiannya di halte itu.

Tanah telah membuktikan kesetiaannya pada hujan meskipun porak-poranda tempatnya. Aku segera turun dari bus tanpa menghiraukan tiupan angin kencang dan rintik hujan yang menerpa dan membasahi sekujur tubuhku. Sampai di sana halte itu telah kosong ... berat perjalananku dan sia-sia perjuanganku. Seandainya Aku masih di sana dan mendengarkan lagu Stinky itu ....

Aku tertunduk lesu. Apakah dia akan tergantikan? Aku berdiri mematung di depan halte yang telah terkoyak atapnya dan masih berharap dia akan kembali. Kuangkat wajah dan kutatap langit yang masih menyisakan mendung. Aku akan seperti hujan yang menuntaskan rindunya pada tanah.

Butir-butir air hujan kembali menetes dari langit dan beterbangan ditiup angin. Basah dan terasa dingin ketika menerpa sebagian wajahku. Sedingin hatiku yang masih merindukan sapaan lembut darinya. Hampa ... dan Aku pun tak mau berpaling darinya ....

Semilir angin yang berhembus pelan memberikan kesejukan ketika pandangan mataku tertuju pada seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Benarkah dia masih menungguku? Dia berdiri di bawah pohon dengan menundukkan kepalanya. Dengan rambut panjangnya yang terurai dan sebagian menutupi wajahnya. Sesekali tiupan angin membelai lembut dan menyibakkan rambutnya. Ke dua tangannya mendekap di depan dada sambil memegang sebuah payung. Dia masih menungguku seperti tanah yang selalu merindukan hujan. Aku mendekat dan menyapanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun